Makalah Filsafat Rasionalisme dan Empirisme Rene Descartes dan John Locke
"RASIONALISME DAN EMPIRISME"
(Pengetahuan Didapat Melalui Pemikiran
dan Pengalaman Inderawi)
"RENE DESCARTES DAN JOHN
LOCKE"
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua
macam obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah
sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan. Sedangkan secara formal adlah cara
pandang tertentun tentang obyek material tersebut, seperti pendekatan empirisme
dan rasionalisme.
Sebagian filosof membagi obyek material
filsafat atas tiga bagian yaitu: yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam
pikiran dan yang ada dalam kenyataan berdasarkan obyek material dalam filsafat
tersebut.
Makalah ini sedikit akan mengupas
tentang apa rasionalisme dan empirisme itu.
Apabila kita hendak bekerja maka kita
harus tahu apa yang akan kita kerjakan. Karena tanpa adanya pengertian tentang
apa yang kan
ia kerjakan maka seseorang tidak akan tahu apa yang akan dikerjakannya.
Begitu juga dengan filsafat sebelum
kita mengetahui lebih jauh apa Rasionalisme dan Empirisme, terlebih dahulu kita
mengetahui apa itui filsafat.
Poedja Wijatna (1974: 1) menyatakan
bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan erat dengan kata
Yunani. Kata Yunaninya adalah Philosphia. Dalam kata Yunani Philosphia adalah
kata majemuk dari Philo yan artinya cinta dalam arti yang luar, yaitu ingin dan
karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu. Shopia artinya
kebijaksanaan yang artiny pandai. Menurut namanya filsafat boleh diartikan
ingin mencapi pandai/cinta pada kebijakan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Rasionalisme
merupakan paham filsafat yang munculnya pada zaman filsafat modern. Tidaklah
mudh membuat definisi tentang rasionalisme sebagai suatu metode memperoleh
pengetahuan, akan tetapi secara umum Rasionalisme dapat didefinisikan dengan
pahm filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.[1]
Jika empirisme
mengatakawn bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami obyek, maka rasionalisme mengajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir.
Dalam bidangnya
rasionalisme terbagai memnjadi dua macm yaitu: dalam bidang agama dan dalam
bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme digunakan untuk mengkritik
ajaran agama, sedawngkan dalam filsafat berguna sebagai teori pengetahuan.
Tokoh yang paling
populer dengan aliran rasionalisme adalah Rene Descartes (1596 – 1650).
Ealaupun diantaranya masih ada tokoh-tokoh yang lain seperti Spinoza (1632 –
1677) dan Leinbniz (1646 – 1716).
Rene Descartes sangat
terkenal dengan teorinya Discours de la mothode (1637) dan meditations (1642).
Di dalam bukunya inilah tertuang metode yang terkenal dengan metode keraguan.
Yakni populer dengan semboyannya Cogito ergo sam (saya ragu maka saya
ada).[2]
Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada, dan kebenaran tersebut dikenal
dengan cahaya yang terang dari akal dan budi. Dengan demikian kebenaran itu
bisa dipahami lewat sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat
dikenal dengan kebenaran teknik deduktif. Dengan memakai teknik tersebut dpat
ditemukan kebenaran.[3]
B.
Permasalahan
Descartes merasa
benar-benar ketegangan dan ketidakpastian yang merajalela ketika itu dalam
kalangan filsafat, Scholastik tak dapat memberi keterangan yang memuaskan
kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerap kali bertentangan
satusama lainnya. Filsfat menjadi kacau, demikian menurut Descartes. Adapun
tidak adanya kepastian itu karena menurut dia tak ada pangkal yang sama dan tak
ada metodos
Maka dari itu
Descartes mencari metode baru yakni metode keragu-raguan. Descartes meragukan
semua yang dapat diindera sehingga dia meragukan adanya badannya sendiri.
Keraguan ini menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi
dan pengalaman pada roh-roh halus. Descartes menyumpulkan bahwa jika ia
ragu-ragu trerhadap sesuatu maka nampaklah kepadanya sendiri bahwa ia berpikir.[4]
Keragua-raguan
Descartes ini hanya metode saja, bukanlah ia ragu-ragu sesungguhnya, melainkan
untuk mencapai kepastian-kepastian yang terdapat pada kesadaran inilah yang
dipakai menjadi pangkal pikiran filsafatnya, karena kesadaran ini nampaklah
tindakah budi (ratio). Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kebenran
dan dapat memberi pimpinan dalam segala jalan pikiran.
Descartes juga
mengemukanan gagasan yang mepunyai hakikat obyektif, sementara gagasan tuhan
adalah gagasan tentang suatu maujud yang sepenuhnya sempurna dan tidak memiliki
keterbatasan. Descartes membuktikan bahwa setiap pikiran fitri di dalam alam
manusia adalah pikiran-pikiran tentang materi menjadi dua bagian:
1.
Pikiran-pikiran fitri
(Unnase Idea) seperti gagasan tentang pertentangan (extasion).
2. Pikiran-pikiran yang maujud
(kemudian) yang megekpresikan reaksi-reaksi tertentu juga karena
pengaruh-pengaruh luar, seperti gagasan tentang suara, rasa, panas dan warna.
Empirisme
Jika
kita berbicara tentang rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap empirisme.
Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperleh lewat kekuatan
argumentasi rasio manusia. Kontras dengan kebenaran substantif dalam visi
empirisme yang diperoleh lewat pengalaman empirik.
Empirisme
berasal dari kata Yunani yaitu Empeirikos dari kata Empeiria
artinya pengalaman. Pengalaman dimaksud adalah pengalaman inderawi. Contohnya
manusia tahu bahwa es itu dingin karena menyentuhnya dan merasakan hal itu.
Dalam penryantaan tersebut ada tiga unsur yang perlu yaitu: yang mengetahui
(subyek), yang diketahui (obyek) dan cara ia mengetahui es itu dingin. Dengan
kata lain seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat
pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[5]
John
Locke adalah salah satu tokoh yang populer dalam aliran empirisme yang dikenal
dengan bapak empirisme Britamia, megatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan
akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong atau seperti kerta putih yang
belum ternoda yagn terkenal dengan teori (Tabula rasa), dan di dalam
buku catatan itulah ditulis pengalaman-pengalaman inderawi. Ibarat kertas putih
tadi lingkungannyalah yang mencoret-coretnya.[6]
Dia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan, yang secara pasit
menerima hasil-hasil penginderaan.
Kemudian
John Locke melanjutkan gagasannya bahwa menurutnya manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya, akan tetapi pengetahuan di dapat dari pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal yakni kesan-kesan (impressions) dan
pengertian-pengertian atau idea-idea (Ideas). Yang dimaksud denga
kesan-kesan dalah pengalaman langsung yang diterima dari pengalaman baik
lahiriah maupun batiniah. Sedangakn yang dimaksud dengan idea adalah gambaran
tentang pengamatan yang redup, yang dihasilkan dengan merenungkannya kembali.
Idea kurang jelas jika dibandung dengan kesan-kesan.[7]
Setelah
itu John Locke membagi pengetahuan ke dalam beberapa macam teori yaitu:
1. Pengetahuan intuituf (al-Ma'rifah
al-Widjdaniyyah) yaitu: pengetahuan yang dapat dicapai pikiran tanpa perlu
mengakui sesuatu yang lain, seperti pengetahuan kita bahwa satu adalah separuh
dua: pengetahuan ini hakiki dan mempunyai nilai filosofis yang sempurna.
2. Pengetahuan reflektif (al-Ma'rifah
al-Ta'ammuliyah), yaitu pengetahuan yang tidak mungkin didapat tanpa
bantuan informasi sebelumnya, seperti pengetahuan kita bahwa jumlah sudut
sebuah segitiga adalah sama dengan sudut siku-siku.
3. Pengetahuan yang merupakan
hasil dari pengetahuan empirikal atas suatu obyek yang sudah dieketahui.
Pengetahuan empirikal tidak mempunyai nilai filosofis.
Oleh
karena itu ternyata Jhon Locke tidak percaya kepada obyetivitas semua kualitas
materi yang dikenal oleh inderewi. Semua itu bagian yang lain dianggapnya
sebagai reaksi-reaksi subyektif, seperti warna, rasa, bau, dan sifat-sifat lain
begitu j uga dengan Descartes.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari
makalah ini adalah: bahwa ilmu filsafat memiliki semua sumber dawn unsur-unsur
dari segala ilmu yang ada. Khususnya Rasionalisme dan Empirisme yang tadinya
adalah pendapat yang bertentangan menjadi bersatu karena adanya pemikiran dan
pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shahar,
Muhammad Baqir, Filsafatuna, Bandung :
Mizan, 1993.
Bakhtiar,
Amsal, M.A., Filsafat Agama, Bukit Pemulang Indah: Lolos Wacana Ilmu,
1997.
Fredereck
Mayer, A History of Modern Philosophy, New York , American Book Conpany, 1951.
Kattsoff,
O Louis, Pengantar Dilsafat, Jogjakarta :
Tiara Wacana, 2004.
Moh
Noor Syam, Filasafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Muhadjir,
Noeng, Filsafat Ilmu, Yogyakarta :
Rake Surasin, 2001.
Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 127.
[2] Drs. Amsal
Bakhtiar, M.A., Filsafat Agama, (Bukit Pemulang Indah: Lolos Wacana
Ilmu, 1997), hlm. 45.
[3] Ibid,
hlm. 140.
[4] Prof. Ir.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 100.
[5] Louis O
Kattsoff, Pengantar Dilsafat, (Jogjakarta :
Tiara Wacana, 2004), hlm. 137.
[6] Moh Noor Syam, Filasafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
[7] Fredereck
Mayer, A History of Modern Philosophy, (New York, American Book Conpany,
1951), hlm. 216.
0 Response to "Makalah Filsafat Rasionalisme dan Empirisme Rene Descartes dan John Locke"
Post a Comment