Profil Pondok Pesantren Surya Buana Magelang
Pondok Pesantren Surya Buana Magelang
BAB II
GAMBARAN UMUM
PONDOK PESANTREN SURYA BUANA
A.
Letak Geografis Dan kondisi sosial masyarakat
Balak merupakan sebuah Dusun
terpencil yang jauh dari kebisingan dan
hiruk pikuk kota. Dusun ini terletak di lereng Gunung Balak, sebuah Bukit kecil yang berada di desa Losari, kecamatan
Pakis, Kabupaten Magelang, berketinggian 1500
M dari permukaan laut dengan suhu udara 33 derajat celcius, 15 KM arah timur
dari kota Magelang.
Dusun ini tidak jauh berbeda dengan dusun-dusun lain
disekitarnya yang berkomoditi jagung dan ketela pohon, mayoritas penduduknya
petani, buruh dan pedagang kecil-kecilan di pasar lokal.
Untuk masuk dusun ini dari jalan raya Magelang- Kopeng
kurang lebih satu kilo meter, melalui
jalan yang berbelok-belok naik turun di atas tatanan batu tradisional yang jauh
dari sempurna. Begitu sampai dan melihat kanan kiri sekitar dusun, hutan kecil
dan persawahan akan terlihat nyata.
Sungguh merupakan suatu dusun yang menurut ukuran
orang-orang kota merupakan dusun yang sangat terpencil dan terbelakang dalam
segala hal, namun demikian dusun ini menyimpan sebuah misteri dan sejarah yang
layak diungkapkan.[1] Di
sinilah lokasi berdirinya Pondok Pesantren Surya Buana.
B. Sekilas Biografi Ahmad Sirrulloh : Sesepuh Dan Pendiri Pondok Pesantren Surya Buana
Ahmad
Sirrulloh adalah orang yang dikehendaki Alloh SWT menjadi bukti bahwa Alloh
masih mencintai dan mengasihi masyarakat Balak. Beliaulah yang diberi kekuatan
oleh Alloh untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat dalam memegang teguh
dan mengamalkan serta menghayati agama Islam. Beliau pula yang menjadi pelopor
dan motifator munculnya Surya Buana.
Sangat panjang
perjalanan sejarah untuk diungkapkan, sampai akhirnya muncul Pondok Pesantren
Surya Buana. Sejarah yang tidak akan terlepas dari kehidupan Ahmad Sirrulloh.
Ahmad
Sirrulloh yang sebelum dirubah namanya oleh Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul
‘Arifin, Guru Mursyid-nya, bernama Fauzun ( Fauzan Mahzun ) lahir di Magelang
tanggal 29 Desember 1968- adalah satu dari sekian masyarakat Balak yang dianugrahi
kesempatan untuk mengenyam pendidikan umum sampai jenjang yang cukup. Tingkat dasar
pendidikannya, Beliau selesaikan di Balak, yaitu MI Losari I, tingkat menengah
beliau tamat dari SMP Negeri I Pakis, SMA Negeri 2 Magelang Beliau tamatkan
pada jenjang SLTA, dan akhirnya menyelesaikan program sarjana ( S I ) pada IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama.
Untuk
pendidikan keagamaan, tak banyak pendidikan formal yang Beliau jalani.
Sebagaimana anak-anak yang lain, Beliau hanya mengenyam pendidikan yang
sederhana. Setiap habis sholat Maghrib, Beliau belajar baca tulis Al Qur’an dan
pasolatan ( tata cara sholat ) dari bapaknya sendiri Said bin Mukhtar dan dari
guru yang lain.
Tak banyak
keanahan-keanehan yang tampak pada diri Ahmad Sirrulloh oleh orang lain sewaktu
anak-anak. Hanya saja menurut yang benar-benar Ahmad Sirrulloh alami sendiri di
kala masih balita, setiap malamnya tidak akan bisa tidur sebelum ruhnya naik ke
langit satu sampai tujuh dan ‘arsy hingga suatu ruang (kondisi) yang mana
Beliau tidak menyaksikan sesuatu selain Alloh. Menginjak usia sekolah tingkat
dasar ( masa anak-anak ) Beliau pun hampir setiap malam ruhnya naik ke langit,
dan tidak akan bisa tidur sebelum memakan awan putih besar bergulung-gulung di
angkasa raya. Jika sesekali makan yang
agak kelam dan kasar Beliau langsung memuntahkannya.
Menginjak
usia tingkat lanjutan pertama tidak banyak terjadi keanehan pada dirinya baik
dari sisi bathin maupun lahir. Hanya saja ditakdirkan Alloh senang mujahadah
sendiri sehabis Maghrib sampai waktu isya tanpa diketahui dan diarahkan oleh
siapapun. Mengenai situasi bathin, selama hampir tiga tahun ( dari kelas satu
sampai kelas tiga SMP ) setiap saat jiwa Ahmad Sirrulloh seakan-akan menjadi
rebutan untuk dipaksa masuk agama apapun ( selain Islam ) oleh nafsu jahat
dalam jiwanya. Namun seketika itu pula dada Ahmad Sirrulloh merasa sesak dan
menjerit sekuat tenaga; “ Yang paling benar Islam, yang paling benar Islam !”
dan seketika itu pula Ahmad Sirrulloh menjadi tenang.
Menginjak
usia remaja Beliau sangat badung di sekolahnya
( SMA N-2 Magelang), suka membolos dan sering terlambat masuk sekolah.
Barulah setelah kelas dua, Beliau ditakdirkan Alloh mulai mengisi malam harinya
untuk berdialog dengan Alloh dan mencari makna dan tujuan hidup yang
sebenarnya. Di saat itu pula Beliau menyusul remaja yang lain, ikut
bersama-sama mempelajari ilmu fiqih dan tata bahasa Arab ( nahwu shorf ) kepada
Kyai Ahmad yang kini manjadi mertuanya. Ini dilakukan setelah sholat Maghrib
sampai sholat Isya ( selain malam Jum’at dan Ahad ). Namun sudah takdir, belum
lagi Ahmad Sirrulloh benar-benar paham akan ilmu tersebut, Beliah harus sudah
pindah ke Yogyakarta ( mengikuti perintah orang tuanya ) melanjutkan studinya
di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada yang
istimewa pada diri Ahmad Sirrulloh dibanding anak-anak yang lain, hanya saja
saat remaja Beliau telah memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap keadan
masyarakat dalam mengamalkan dan menghayati agama Islam. Beliau sangat prihatin
jika saatnya nanti Mbah Mangli dan Mbah Samudi telah dipanggil oleh Alloh,
sementara di saat itu jiwa-jiwa remaja khususnya sudah dirasuki budaya-budaya
barat dan sekuler. Juga sangat prihatin menyaksikan perkembangan kondisi masyarakat,
yang semakin hari dirasa semakin jauh dari harapan para perintis agama di dusun
Balak. Kepedulian dan keprihatinan tersebut sempat beliau tuangkan dalam suatu
karya berupa tulisan tangan dalam sebuah buku kecil ( ditulis sewaktu duduk
dibangku kelas tiga SMA, tahun 1987 ) dengan bahasa yang sangat sederhana
tetapi memuat dasar-dasar pemikiran yang sangat luas dan wawasan jauh ke depan.
Sebagai wujud dari keprihatinannya, Beliau memohon, munajat kepada Alloh SWT,
bermujahadah dengan tekun. Secara intens kegiatan mujahadah dan riyadloh ini
beliau lakukan di akhir-akhir studinya di bangku SMA. Hampir-hampir Beliau
mengisolasi diri dan sangat kurang dalam bergaul, berinteraksi dengan
masyarakat. Keadaan yang demikian ini bahkan sempat menimbulkan prasangka buruk
dari mereka yang tidak mengetahui duduk persoalan, dan hanya memandang dari
sisi pengamatan mereka saja. Bahkan ayahnya sendiri, Said bin Mukhtar sempat
cemas melihat anaknya sering merenung dan melamun seorang diri tanpa mengetahui
apa yang ada dalam pemikirannya. Lebih-lebih setelah melihat di sisa waktu
sekolahnya sering dipakai untuk menyendiri di Gunung Balak setiap habis solat
Ashar dan mengisolasi diri setiap malamnya di kamar atau musholla keluarganya (
yang dikemudian hari, musholla ini menjadi tempat pertama munculnya kegiatan
TQN di Magelang khususnya di Balak ). Ayahnya sangat cemas jika saatnya nanti
tidak bisa bergaul dengan orang lain sebagai layaknya orang-orang hidup
bermasyarakat. Bahkan sampai-sampai ayahnya sempat minta pertolongan kepada
saudara-saudaranya dan juga teman dekatnya supaya mengajak dan mendorong A.
Sirrullah untuk bisa bergaul (bermasyarakat), walaupun pada akhirnya mereka
semua gagal, memenuhi permintaan ayahnya. Begitulah keprihatinan seorang ayah
kepada anaknya
Prasangka dan
pandangan lain sebagian masyarakat itu dapat difahami, karena memang A
Sirrullah tidak pernah mengutarakan apa yang ada dalam kandungan batinnya
kepada siapapun. Di sisi lain beliau belum mempunyai kemampuan untuk
mengeluarkan isi hatinya dengan argument
yang bisa diterima masyarakat umum karena minimnya kadar dan kondisi mental A
Sirrullah ( sering grogi dan gagu dalam berbicara ). Andaipun mengutarakannya
kepada orang lain hanya menimbulkan cemoahan belaka.
Masih
terngiang dalam ingatan A Sirrullah, hanya kepada dua sahabat terdekatnya
lah beliau sering mengungkapkan isi hati
( berupa ilmu-ilmu hikmah seputar hakikat hidup ) yang masih asing bagi
kebanyakan orang. Entah kedua temannya ( Asmuni dan Fahrurrozi ) itu faham atau
tidak, yang jelas Ahmad Sirrulloh menjadi lega. Untuk mengutarakan isi hati (
kepada keduanya) pun sering di lakukan tengah malam sambil jalan-jalan ke
sawah, sungai atau tempat-tempat di sekitar lokasi yang kini menjadi area Surya
Buana. Beliau sangat geli jika ingat waktu itu, yang setiap malam harinya
keluar masuk kamar Ahmad Sirrulloh melalui jendela, takut kedengaran dan
ketahuan orang tuanya jika keluar malam hari.
Mengisi waktu
yang masih tersisa sepulang sekolah ( sehabis sholat ashar) sering Beliau
gunakan naik Gunung Balak menyaksikan dan merenungi keagungan Alloh, dengan
mengajak anak kecil ( kadang-kadang Nurfaudin, kadang-kadang Norrohman ) yang
waktu itu belum faham akan maksud dari Ahmad Sirrulloh naik ke gunung tersebut.
Setelah Ahmad
Sirrulloh melanjutkan studi di Yogyakarta, jiwanya terasa sangat gersang. Tidak
ditemui lagi suasana alam seperti ketika di desa dahulu, juga tidak ada tempat
yang nikmat untuk munajat kepada Alloh, tidak ada teman bicara ( hal-hal
ketuhanan), melihat kanan kiri hanya bangunan semata, siang dan malam hampir
sama ramainya. Kurang lebih enam tahun lamanya, Ahmad Sirrulloh menahan pahit.
Inilah sekilas
kejiwaan Ahmad Sirrulloh dari kecil hingga lulus kuliah, tetap saja terpaku
dengan renungannya sendiri dan lebih banyak diam dalam hal-hal yang sifatnya
Ilahiyyah. Jika mau bicara Beliau justru lebih banyak sambil kelakar dalam
hal-hal yang sifatnya omong kosong. Sekali lagi sampai Beliau lulus kuliah pun
jika disuruh untuk bicara secara serius dihadapan masyarakat tetap saja grogi
dan gagu alias tidak mampu. Apalagi hal-hal yang sangat berbobot seperti hal
ketuhanan seakan mulut Ahmad Sirrulloh terkunci hingga orang lain tak mampu
memahami maksud kandungan jiwanya.
Dari kecil
sampai lulus kuliah, yang Beliau dapatkan
hanyalah pelajaran-pelajaran umum. Meskipun kuliahnya di IAIN yang
notabene merupakan perguruan tinggi Islam, namun ilmu-ilmu tentang hakikat Islam dan hakekat hidup tidak
beliau temukan di situ. Namun berkat kasih sayang dan bimbingan Alloh, Beliau
mendapatkan ilmu-ilmu yang dimaksud di saat-saat mengisolasikan diri baik di
kamar maupun di tempat-tempat sepi yang lain bersamaan dengan atau setelah
munajat dengan kekasih Nya, yaitu Alloh SWT. Buku-buku tasawwuf di luar
kurikulum sekolah maupun kuliah amat digemari semenjak Beliau di bangku kelas
dua SLTA walaupun buku-buku tasawwuf tersebut sekedar kitab terjemahan (
mengingat Ahmad Sirrulloh tidak begitu mampu menguasai sumber aslinya, kitab kuning ), maklum Beliau belum
pernah mondok di pesantren. Karya-karya Imam Ghozali lah yang pertama-tama
dipelajari oleh Ahmad Sirrulloh sebelum kitab-kitab besar karya sufi agung yang
lain. Sampai-sampai Ahmad Sirrulloh yakin bahwa ( secara batin ) Imam Ghozali
itulah guru Ahmad Sirrulloh yang selalu membimbing perjalanan rohani nya sebelum
mendapatkan Wali Mursyid formal ( yang masih hidup ).
Setelah Ahmad
Sirrulloh lulus dari IAIN tahun 1993 dan menyandang gelar sarjana ( S1 ),
Beliau ditawari oleh fakultasnya (
Ushuluddin ) untuk mengikuti penyaringan / seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (
CPNS ) yang nantinya akan di tempatkan pada Kantor Departemen Agama, kantor
wilayah Yogyakarta, bersama-sama dengan beberapa teman seangkatan nya. Beliau
diterima dan resmi menjadi pegawai negeri.
Secara umum,
dari usia kecil sampai lulus SLTP, Ahmad Sirrulloh sebagaimana teman-teman yang
lain, menghabiskan sebagian besar waktu nya untuk bermain-main, olah raga,
jalan-jalan dsb. Barulah setelah masuk SLTA, walaupun secara lahiri tidak jauh
berbeda dengan teman-teman yang lain namun secara tersembunyi Ahmad Sirrulloh
sudah mulai mencermati keadaan diri seperti siapa
sebenarnya ‘aku’, mau kemana ‘aku’, apa
yang harus ‘aku’, lakukan, juga apa
maksud Alloh mewujudkan ‘aku’, dan
lain-lain. Bersama dengan itu pula Ahmad Sirrulloh sudah mulai mencermati perilaku
masyarakat, baik sekup dusun Balak maupun sekup yang lebih luas. Wawasan pun
mulai berkembang, dicermati pula tentang perilaku dan tujuan hidup setiap
masyarakat dan setiap zaman dari zaman Nabi Adam as sampai zaman sekarang dan
mendatang. “ apa sih sebenarnya yang
mereka cari, apa tujuan hidup mereka, mau kemana mereka setelah matinya, dll. ?
”. Ahmad Sirrulloh tak perlu pergi mengadakan penelitian melintasi ruang dan
waktu, tetapi mencukupkan diri mengintai itu semua dengan cermin diri. Mereka adalah manusia. Ahmad Sirrulloh juga manusia.
Jadi cukuplah Ahmad Sirrulloh bertanya kepada dirinya sendiri untuk mencari
jawaban. Penelitian di kembangkan pula, mengapa
di setiap zaman ada kebaikan dan ada kerusakan, mengapa ada Nabi-nabi dan
pembangkang, mengapa ada kehidupan, kematian , dan kiamat,dll. ?
Waluaupun
Ahmad Sirrulloh hanyalah hamba biasa (bukan Nabi) serta masih jauh dari
sempurna (sebagaimana dikehendaki oleh Alloh dan Rasul), namun hatinya lebih
tercurah memikirkan cara mengatasi bagaimana agar manusia benar-benar menjadi
seperti apa yang dikehendaki oleh Sang Tunggal ( kaitannya dengan tujuan
penciptaan ). Niatan ini dimotifasi oleh kenyataan bahwa zaman yang sekarang
ini sedang terjadi , menurut pengamatan Ahmad Sirrulloh sudah sangat menyimpang,
sudah rusak, sudah banyak orang lupa tujuan hidup, dll. Inilah yang lebih
banyak membuat Ahmad Sirrulloh menghabiskan masa remajanya untuk prihatin dan
merenung diri. Sampai kapankah zaman ini benar-benar menjadi pulih kembali,
seperti paling tidak mirip dengan zaman Wali Songo ?, lebih-lebih seperti zaman
para Sahabat Nabi Saw ? kapan lagi para Kyai mulai bangkit (tidak terus menerus
merasa paling ‘alim hingga mau mencari kesempurnaan lebih lanjut) demi
keselamatan dan kebangkitan umatnya ?. Ahmad Sirrulloh hanya bisa pasrah, tak
berdaya. Akhirnya, Ahmad Sirrulloh akhir-akhir ini ( setelah bertemu dengan
guru mursyidnya ) lebih banyak bertanya pada dirinya sendiri ; “ apa yang anda bisa lakukan untuk keselamatan
umum dan keselamatan serta kebangkitan umat Muhammad SAW ? “ Apa yang anda bisa
lakukan demi menjadi “ apa yang dikehendaki Alloh dan Rosul-Nya ? “.[2]
C. Masa-Masa Awal Kegiatan Tatrekat
Qodiriyyah Naqsabandiyyah Di Magelang
Jauh sebelum
Pondok Pesantren Suryalaya Perwakilan Kabupaten Magelang dibuka secara resmi,
kegiatan mujahadah dzikir telah dirintis oleh Ahmad Sirrulloh, baik secara
pribadi maupun bersama-sama dengan teman dekatnya. Setelah Ahmad Sirrulloh mengambil talqin
dzikir dan mengenalkannya kepada beberapa remaja, kegiatan mujahadah --yang
konsentrasinya adalah mengamalkan dzikir-- tersebut dipusatkan di salah satu
ruangan yang dijadikan tempat sholat untuk keluarga. Satu ruangan dengan ukuran
kurang lebih 3X3 M2 di pojok rumah orang tuanya, mula-mula yang mengikuti hanya
satu dua ( dari remaja ) saja.
Seiring
perjalanan waktu dan perkembangan keadaan, masyarakat yang mengikuti kegiatan
pendekatan diri kepada Alloh tersebut semakin hari semakin bertambah banyak.
Maka untuk kelancaran kegiatan tersebut, dibangunlah sebuah Musholla di sebelah ruangan tempat sholat
keluarga. Musholla ini dinamakan Musholla
Al Akbar. Dan selanjutnya
menjadi tempat kegiatan mereka yang telah mengambil talqin dzikir dari Pangersa
Abah Anom.
Beragam
mujahadah pernah dilakukan di musholla Al Akbar, di antaranya adalah sholat
lima waktu diteruskan dzikir sebagai sebagai wirid, khataman 40 hari
berturut-turut sebelum subuh, dan pengajian umum untuk orang dewasa, dan
kegiatan yang lain untuk beberapa waktu.
Terdorong
untuk menyebar luaskan thoriqot di dusun Balak dan upaya membangkitkan kembali
amaliyah thoriqot yang telah dirintis oleh Kyai Samudi, dan mengajak masyarakat
yang kurang peduli dengan kondisi keagamaan untuk bersama-sama bergabung
mengharumkan agama Islam, Ahmad Sirrulloh mencoba mengadakan sosialisasi
thoriqot dengan sarana pengajian umum di masjid Al Falah, yang merupakan masjid
kampung tempat Mbah Mangli menyelenggarakan pengajian tiap Kamis Kliwon dan
Kyai Samudi pernah membina masyarakat dengan amaliyah Thoriqot Qodiriyyah
Naqsyabandiyyah dari Berjan Purworejo. Tercatat beberapa kali pengajian umum
pernah dilakukan di masjid tersebut. Namun sepertinya prakarsa dan ajakan
Beliau hanya didengar oleh mereka yang memang ditakdirkan oleh Alloh untuk
menjadi tentara-tentara Nya.
Sementara mereka yang telah terlalu hanyut dalam kepentingan pribadi hanya
memberikan tanggapan yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang berani menyalahkan
methode yang dikembangkan oleh Ahmad Sirrulloh.
Melihat
kurangnya antusias mereka yang belum bisa menerima kehadiran thoriqot dari
Suryalaya ini, maka kegiatan pengajian umum dialihkan kembali ke musholla Al
Akbar. Di tempat itu pula acara manaqib yang pertama kali dari Ikhwan Thoriqot
Qodiriyyah Naqsyabandiyyah dapat dilaksanakan dengan sangat sederhana, namun
penuh makna.
Di sela-sela
kegiatan yang dilakukan di musholla Al Akbar, Ahmad Sirrulloh juga mengajak
para jamaah untuk bermujahadah di Baitul Akhfa, satu ruangan yang
dibangun di bagian belakang dari rumah yang akhirnya menjadi tempat mukimnya
sampai saat ini. Tercatat beberapa macam kegiatan dilakukan di tempat ini, dan
yang paling menonjol adalah dzikir jahar
4000 kali setiap malam dan mujahadah ini berlangsung beberapa hari.
Alloh
menghendaki ikhwan yang ikut kegiatan amaliyah thoriqot ini semakin hari
semakin banyak, bahkan dari dusun-dusun sekitar mulai banyak yang ikut
bergabung dan pada akhirnya ikut pula mengambil talqin dzikir. Terlebih setelah
diresmikannya Pondok Pesantren Suryalaya Perwakilan Kabupaten Magelang, semakin
banyak ikhwan yang memerlukan pembinaan. Dan untuk bisa menampung jamaah yang
banyak dalam acara bulanan yaitu manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani, acara yang
semula dilaksanakan di musholla Al Akbar tersebut dipindahkan tempatnya ke
musholla Al Husain, musholla mana tempat Kyai Ahmad membina masyarakat dengan
amaliyah keagamaan sehari-hari. Tercatat beberapa kali acara manaqib
dilaksanakan di musholla Al Husain ini.
Sementara
kegiatan para ikhwan ini semakin berkembang, muncul tantangan yang memerlukan
pemecahan. Ada beberapa orang yang mempertanyakan dan mempersoalkan kegiatan
para ikhwan ini. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Ahmad Sirrulloh telah terlalu
jauh membawa masyarakat dusun Balak ke jalan yang tidak karuan . Tanggapan
semacam ini datang dari mereka yang memang sama sekali belum pernah menerima
pengetahuan akan ilmu yang berhubungan
dengan bathin, atau datang dari mereka yang belum mengerti akan seluk-beluk
thoriqot, atau muncul dari orang-orang yang iri dan dengki ( walaupun
sebenarnya mereka juga berthoriqot dan anak orang yang berthoriqot juga ).
Yang sangat
disayangkan adalah adanya usaha sebagian orang untuk membendung laju
perkembangan kegiatan para ikhwan ini dengan alasan yang tidak masuk akal,
misalnya adanya sentimen pribadi terhadap Ahmad Sirrulloh sebagai pengasuh. Bahkan
ada yang tidak setuju dengan kegiatan ini karena takut kehilangan pamor,
kehilangan wibawa, pengaruh, bahkan takut kehilangan pengikut.
Namun apapun
yang terjadi dan direncanakan oleh orang yang tidak menyukai kegiatan thoriqot
ini, Alloh dengan sifat kuasa Nya menentukan hal lain. Thoriqot ini terus
berkembang karena memang dapat dirasakan manfaatnya dan diperlukan untuk
kemajuan pendekatan diri kepada Alloh, menggapai ridlo Nya
Perkembangan
ini menjadikan musholla al Husain tidak lagi mampu menampung jamaah acara
manaqib dan memberikan inspirasi kepada Ahmad Sirrulloh untuk membuka satu
tempat baru di ujung barat laut dusun Balak untuk dijadikan pusat pembinaan dan
pengembangan Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah. Maka dengan memohon kekuatan
kepada Alloh SWT, yakin akan pertolongan dan kuasa Nya dibukalah areal baru
tersebut dengan nama “ SURYA BUANA“.[3]
D. Makna,
Status Lokasi, Sumber Dana, Sarana Dan Prasarana
Pada bagian terdahulu telah disinggung
bahwa “penamaan“ Surya Buana oleh Ahmad Sirrulloh adalah tanpa
berkonsultasi lebih dulu pada Guru Mursyidnya (Pangersa Abah Anom). Bukan
berarti mengabaikan peran guru, akan tetapi situasi ketika itu betul-betul
mendadak dan spontanitas. Namun Alhamdu lillah bahwa semua ini memang telah ada
dalam skenario Sang Kuasa.
Setelah kurang
lebih 3 tahun berjalan, kata “SURYA BUANA“ ini ternyata diperhatikan oleh
Pangersa Abah Anom, bahkan penamaan tersebut sebetulnya telah diketahui juga
oleh Beliau bahwa akan muncul SURYA BUANA di Magelang.
Setelah kurang
lebih tiga tahun Ahmad Sirrulloh mendeklarasikan SURYA BUANA, ketika rombongan
ikhwan Magelang bersilaturrahmi kepada Pangersa Abah, Pangersa Abah bertanya
pada sebagian ikhwan Magelang yang kemudian dijawabnya sendiri oleh Beliau
mengenai SURYA BUANA ini.
“ Tahukah
Anda, siapa yang menuntun Ahmad Sirrulloh menamakan Surya Buana ?”.
Kemudian
Pangersa Abah menjawabnya sendiri, “Sebagaimana dahulu ketika Abah Sepuh
dituntun oleh Syekh Tolchah Cirebon saat menamakan ‘SURYALAYA’, demikian pula Abah lah yang menuntun Ahmad Sirrulloh
menamakan SURYA BUANA “.
Dari
penjelasan Pangersa Abah ini sadarlah Ahmad Sirrulloh bahwa Guru Sejati memang
selalu membimbing muridnya dengan cara yang di luar dugaan dan selalu mengenai
sasaran. Dari keterangan Pangersa Abah ini pula Ahmad Sirrulloh merasa lega dan
tidak merasa khawatir jika sewaktu-waktu ada sebagian murid Pangersa Abah
sendiri yang hendak menghujat Surya Buana dan menganggap aliran sempalan (
menyimpang dari ajaran TQN Suryalaya dan ingin memisahkan diri ).
Secara harfiyah
Surya
Buana terdiri dari dua kata dari bahasa Jawa, yaitu Surya yang berarti sinar atau matahari
dan buana yang berarti bumi atau
dunia. Surya Buana, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sinar
yang menerangi dunia. Memang ada pepatah yang mengatakan “ apalah arti sebuah
nama “, namun dengan nama Surya Buana tersebut Ahmad Sirrulloh menaruh harapan
yang sangat tinggi dari keseluruhan kegiatan pembangunan dan pembinaan yang
dilakukan di lokasi tersebut. Di antara harapan yang senantiasa dimohonkan
kepada Alloh SWT adalah terangnya keadaan rohani semua orang yang pernah
mengunjungi Surya Buana, bersinar, dengan pancaran nur ma’rifat ilahy sehingga
mampu memberikan penerangan kepada jalan hidupnya sendiri, untuk senantiasa
dalam jalan yang diridloi Alloh. Juga mampu memberikan penerangan kepada jalan
hidup keluarganya dan masyarakat luas, untuk senantiasa hidup penuh
keharmonisan, penuh ridlo Alloh. Bahkan mampu memberikan penerangan kepada
mereka yang hidup dalam kegelapan untuk bisa kembali pada jalan hidayah Ilahi.
Tentunya
maksud yang terkandung dalam pemberian nama Surya Buana sangat banyak dan hanya
Ahmad Sirrulloh dan Pangersa Abah yang lebih mengetahui hakekatnya secara
rinci.
Secara umum
kami sampaikan bahwa Surya Buana merupakan satu paket rencana pembangunan sarana dan prasarana yang akan dijadikan
basis atau pusat pembinaan dan pengembangan agama Islam yang lebih sempurna
melalui pengamalan Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah di Kabupaten Magelang,
tepatnya di Dusun Balak. Adapun prioritas utama dan pertama dari pembangunan
adalah pembangunan masjid serta menara.
Lokasi yang di
situ dibangun masjid, semula merupakan beberapa petak sawah peninggalan ayah
kandung Ahmad Sirrulloh yaitu Said bin Mukhtar alm. Yang meninggal dunia pada tahun
1997 M, dua tahun setelah Beliau mengambil talqin dzikir dari Pangersa Abah
Anom. Kemudian atas kesepakatan ahli waris, dengan pengarahan Ahmad Sirrulloh
sebagai anak tertua dari empat bersaudara, semua peninggalan Said bin Mukhtar
alm, yang berupa persawahan dan perkebunan di ’hadiah’ kan kepada
Rosululloh dan keturunannya untuk kepentingan dan keperluan menegakkan dan
membangkitkan kembali nilai-nilai laa ilaaha illalloh, mengharumkan
dan meluhurkan agama Islam yang dibawa Rosuluuloh Muhammad SAW.
Pernyataan dihadiahkannya beberapa petak sawah dan
perkebunan warisan Said bin Mukhtar kepada Rosululloh dan keturunannya tersebut
dilakukan Ahmad Sirrulloh, bersamaan dengan diumumkannya pemberian nama Masjid
Surya Mustika Rahmat. Dengan pernyataan itu, para ikhwan TQN Kabupaten Magelang
menjadi sadar dan tahu betapa tanah yang kemudian didirikan masjid serta sarana
penunjang lainnya tersebut, benar-benar merupakan tanah suci milik
Rosululloh. Mereka begitu bersyukur bahwa di desa mereka ada tanah yang mendapatkan
keberkahan yang luar biasa ( tanah
Rosululloh ) yang diatasnya terbangun Masjid Agung.
Kemudian untuk
pengembangan dan pembangunan sarana dan pra sarana penunjang yang lain, para
ikhwan yang memiliki tanah sawah di sekitar lokasi masjid di area Surya Buana
menyatakan kerelaan terhadap sebagian petak sawahnya, atau bahkan ada yang
keseluruhan petak sawahnya untuk dipergunakan dalam rangka pembangunan dengan
status tanah wakaf.
Secara
keseluruhan area yang telah tersedia dan siap untuk pengembangan proyek Surya
Buana lebih dari 5000 M2, dan kemungkinan akan bertambah luas di waktu yang
akan datang, seiring pertambahan jamaah, Insya
Alloh.
Sebagaimana
kami sampaikan terdahulu bahwa pembukaan Surya Buana dan pembangunan Masjid
Surya Mustika Rahmat dimulai tanpa modal finansial yang memadai. Namun berkat
doa restu Pangersa Abah Anom, kebutuhan finansial dapat tercukupi sesuai dengan
beban pembangunan yang sedang berlangsung. Memang suatu saat semua ikhwan
merasa perih hati terutama Ahmad Sirrulloh. Bagaimana tidak?. Masyarakat dusun
Balak khususnya, dan para ikhwan pada umumnya, dengan tingkat pendapatan yang
relatif kecil, harus mampu meneruskan pembangunan proyek Surya Buana yang
begitu besar dan berkelanjutan.
Pada permulaan
pembangunan dan pengembangan proyek Surya Buana, Pangersa Abah Anom pernah
menyampaikan satu pesan kepada ikhwan TQN Kabupaten Magelang, bahwa untuk
mendukung kelancaran pembangunan tidak boleh menggunakan uang ataupun modal
dari hasil berhutang. Pernah juga dilakukan satu usaha mencari dana dengan
membuat proposal pembangunan, namun dari 100 eksemplar proposal yang pernah
dikirim kepada orang-orang yang dianggap akan bersedia memberikan bantuan,
ternyata tak satupun yang berhasil dan tak serupiah pun yang didapatkan.
Pesan Pangersa
Abah Anom dan kenyataan yang terjadi dalam masalah proposal tersebut tidak
membuat surut keinginan untuk meneruskan perjuangan, bahkan satu hikmah besar
dapat dirasakan bersama yaitu, ternyata semua itu merupakan kasih sayang Alloh
agar semua ikhwan punya rasa ketergantungan dan semakin tebal ketergantungannya
hanya kepada Alloh SWT.
Sejak awal
pembangunan, anggaran untuk keperluan material dan bahan bangunan dipikul oleh
ikhwan TQN Kabupaten Magelang dan mereka yang bergabung dengan ikhwan TQN dalam
kegiatan di Surya Buana. Bersama-sama saling menyumbangkan daya dan kemampuan
untuk kelancaran dan terlaksananya proyek Surya Buana ini.
Ada sekelompok
jamaah yang dengan tangan mereka sendiri membuat batu bata, mengolah, membakar,
dan setelah siap, mereka antarkan ke Surya Buana untuk keperluan pembangunan.
Ada pula sebagian yang lain, mengumpulkan batu dari sungai kemudian diangkut ke
Surya Buana.
Pengorbanan
para ikhwan dalam menyokong finansial proyek Surya Buana ini sangat luar biasa.
Ada yang secara periodik tiap Kamis malam menyisihkan sebagian rizki, ada yang
tiap bulan bersamaan dengan acara manaqib, bahkan belakangan, Drs. Soewartono yang seorang mantan
Bupati Kabupaten Pemalang dengan gigih memperjuangkan pengajuan proposal
pembangunan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tk.l Jawa Tengah.
Ada pula yang
membantu mencukupi kebutuhan makanan di dapur umum. Ada yang mendarmakan
kemampuan pemikirannya dan ada pula yang mendarmakan tenaganya. Semua dilakukan
untuk terlaksananya proyek agung Surya Buana.
Sejak awal
pembukaan dan pembangunan, Surya Buana digarap oleh ikhwan TQN sendiri
khususnya masyarakat dusun Balak dan anak-anak pondok. Mereka bekerja tanpa
upah. Bahkan karena minimnya dana, para tukang hanya mendapatkan sedikit hadiah
( bukan upah ) dari panitia pembangunan sekedar keperluan hidup keluarganya.
Namun sudah hampir lima tahun berjalan justru semakin getol saja mereka
bekerja. Hal ini tidak lepas dari bimbingan Ahmad Sirrulloh tentang makna hidup
sejati. Pemahaman dan keyakinan inilah tiang utama kegigihan mereka.
Kegigihan para
pekerja yang tiada lain adalah para ikhwan ini terlihat dalam bagaimana mereka
secara suka rela membagi waktu, sehari bekerja untuk keperluannya sendiri dan
sehari bekerja untuk pembangunan Surya Buana. Bahkan terkadang mereka rela
bekerja sampai larut malam sementara esok harinya mereka terus bekerja.
Wujud dari
kegigihan mereka yang lain, para tukang yang semestinya sudah pensiun dari
pekerjaan berat karena dimakan usia ( 60 an tahun ), masih saja ikut ikut serta
berpartisipasi. Mereka bersyukur masih bisa menikmati awal zaman kemunculan
Surya Buana. Seakan mereka ingin dipanjangkan umurnya untuk terus berkarya
untuk Alloh dan Rosul Nya melalui Surya Buana ini.
Para wanita
pun tak mau kalah, mereka yang lazimnya hanya mengurusi kebutuhan konsumsi di
dapur, tetapi sering juga ikut memeras keringat mengusung dan mempersiapkan material, bahkan terkadang
ikut serta dalam pekerjaan yang dilakukan pada malam hari yang seharusnya hanya
pantas dilakukan oleh orang laki-laki, seperti misalnya mengumpulkan dan
mengusung batu-batu sungai untuk dibawa ke masjid. Bahkan anak-anak usia SD dan
SMP pun sudah mulai terlibat dalam kerja bakti tersebut di saat-saat mereka
libur atau sepulang sekolah.
Pernah
berlangsung beberapa malam, sehabis sholat Isya’, seluruh jamaah sholat di
masjid Surya Mustika Rahmat bersama-sama mengusung material ke lokasi calon
pondok pesantren, pernah juga sehabis acara pengajian umum pada acara manaqib,
seluruh ikhwan peserta acara manaqib bersama-sama mengusung material ke lokasi
tersebut sampai larut malam dengan penuh semangat.
Ahmad
Sirrulloh sering memberikan pembinaan yang sangat fundamental terhadap para
ikhwan sehingga mereka all out dalam bekerja, dan pekerjaan mereka bernilai
tinggi di hadapan Alloh SWT. Nilai yang tinggi tersebut tak lepas dari niat
dalam dada mereka.
Dalam hal ini
Ahmad Sirrulloh sangat menaruh perhatian. Di momen-momen kegiatan yang penting
Beliau sering menuntun cara berniat sebelum memulai pekerjaan sebagai berikut ;
“ Ya Alloh, niyat ingsun makaryo kangge Surya Buana
puniko atas nami Rosul kekasih Paduko, tangan kulo, samparan kulo, sedanten
kerjo atas nami Rosululloh, kulo aturaken sedanten dateng Rosululloh “, atau dalam bahasa Indonesia “ Ya
Alloh, saya niat bekerja untuk Surya Buana ini atas nama Rosul kekasih Mu,
tangan saya, kaki saya, semua atas nama Rosululloh, saya berikan semua untuk
Rosululloh “.
Dengan tuntunan niat seperti ini diharapkan
ikhwan yang bekerja untuk proyek Surya Buana mengerti akan maksud Ahmad
Sirrulloh bahwa pada hakekatnya kita ini merupakan “ kepanjangan tangan “ Rosululloh.
Dengan maksud supaya nilai dari yang dikerjakan berkwalitas puncak yaitu bahwa
sebenarnya Rosululloh sendirilah yang bekerja di Surya Buana, melalui tangan-tangan
kita.
Di kesempatan
yang lain Beliau menuntun niat para ikhwan sebagai berikut ;
“Niat ingsun
makaryo kangge Surya Buana minongko wayangan Asmane Gusti, minongko wayangan
Sifate Gusti,lan minongko wayangan Af’ale Gusti”.
Dengan
tuntunan niat yang demikian para ikhwan menjadi semakin dekat dengan keikhlasan
yang sangat tinggi nilainya di hadapan Alloh dan memberikan kefahaman yang
sangat mendalam bahwa sebenarnya Alloh lah Maha segalanya sangat jelas Sifat
Batin dan Dzahirnya, Awal dan Akhirya. Dari sini Ahmad Sirulloh perlahan lahan
memberikan kefahaman dan penghayatan akan konsep Insan Kamil ataupun “Khalifatulloh” bagi para ikhwan.
Pangersa Abah
Anom pernah sekali waktu menyampaikan wasiat kepada ikhwan TQN Kabupaten
Magelang ;
“ Lihatlah
bangunan kanan kiri Suryalaya ini, sekarang seperti apa, Anda lihat sendiri kan
?, padahal dulunya adalah jurang . Jika ikhwan Magelang tetap istiqomah dalam
mengamalkan thoriqot, situasi Magelang akan lebih bagus dari Suryalaya”.
Wasiat ini
merupakan doa sekaligus amanat bagi seluruh ikhwan TQN Magelang. Satu sisi
merupakan rangsangan dan tantangan untuk dapat mengamalkan Thoriqot Qodiriyyah
Naqsabandiyyah dengan sebaik- baiknya, di sisi lain merupakan wawasan
pengarahan bahwa manfaat dari thoriqot itu tidak hanya dipetik di akhirat saja,
tetapi harus dapat dirasakan secara bersama-sama di kehidupan ini, dalam
kondisi Baldatun Thoyyibatun Warobbun
Ghofur.[4]
Pertanyaan nya kapan Ketemu.Abah.anom dan kapan mulai kenal.Dengan Suryalaya karena Menurut Sumber di purworejo Mas Syirulloh Telah mengaku Sebagai Mursyid ke 39 TQN SURYALAYA
ReplyDelete