Pengertian Zakat, Pembagian dan Hikmahnya
Pengertian Zakat, Pembagian dan Hikmah Zakat
Istilah zakat yang secara
makrifah disebutkan sebanyak 30 kali dalam al-Qur’an. secara harfiah berasal
dari kata zakah yang berarti nama’ atau kesuburan, barakah atau keberkatan dan
tazkiyah, tahir berarti mensucikan.
Jumhur ulama sepakat atas
pengertian tersebut yang pada hakekatnya berfungsi sebagai pembersih harta yang
dimiliki.[1]
Dari Wahbah az-Zuhaili
memaparkan bahwa zakat secara etimologi bisa berarti taharah (suci) sebagaimana
yang tersurat dalam firmanNya
Zakat juga berarti al-madh
(sanjungan) dengan mensarahkan firman Allah
Kata zakat disebutkan sebanyak 30
kali dalam al-Qur’an.[5]
Dan yang bergandeng dengan kata shalat sebanyak 82 kali,[6]
namun pendapat tersebut dibantah oleh Hasbi as-Shiddiqy, yang menurutnya kata
zakat yang jatuh sesudah kata shalat berjumlah 28.[7]
Dalam al-Qur’an zakat mempunyai
beberapa nama atau terminologi:
1. Zakat
2. Sadaqah
ألم
يعلموا أن الله يقبل التوبة عن عباده ويأخذوا الصدقات والله تواب الرحيم[9]
3. Haq
وهو الذى أنشأ جنات
معروشات وغير معروشات والنحل والزرع محتلفا أكله والزيتزن الرمان متشابها وغير
متشابه. كلوا من ثمره إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده ولا تسرفواج إنه لا
يحب المسرفين.[10]
4.
Nafkah
والذين يكنزون الذهب
والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم[11]
5.
ِ’Afw
C. Penerima (Mustahiq) Zakat
Ketentuan-ketentuan Allah tentang zakat tidaklah secara secara terperinci
dan luas, melainkan secara global dan sangat ringkas, namun secara husus
al-Qur’an telah memberikan batasan kepada siapa saja zakat itu diberikan, al- as}na>f ats-|sama>niyah, mereka yaitu:
1. Faqir, yaitu orang yang
tidak berharta dan tidak mempunyai pekerjaan atau usaha tetap guna mencukupi
kebutuhan hidupnya, sedang orang yang menanggungnya tidak ada.
2. Miskin,
yaitu orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, meskipun ia
mempunyai pekerjaan atau usaha tetap, tetapi hasil usahanya itu belum mencukupi
kebutuhannya.[13] Menurut
Masdar F Mas’udi[14],
meskipun dalam penggunaannya telah dianggap satu kata yang menunjuk pada orang
yang tidak mampu secara ekonomi. Perbedaannya memang tidak prinsipial, melainkan
lebih bersifat gradual. Yang pertama, fakir, menunjuk pada orang yang secara ekonomi
berada pada garis yang paling bawah. Sementara yang kedua, miskin,
menunjuk pada orang yang secara ekonomi lebih beruntung dari pada sifakir, akan
tetapi secara keseluruhan ia tergolong orang-orang yang masih kerepotan dalam
memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. lebih lanjut Masdar menilai bahwa
pentasarufan dana zakat untuk sector fakir miskin ini bisa mencakup:
a.
Pembangunan sarana dan prasarana
pertanian sebagai tumpuan kesejahteraan ekonomi rakyat, dalam pengertiannya
yang luas;
b.
Pembangunan sector industri yang
secara langsung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;
c.
Penyelenggaraan sentra-sentra
pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mengatasi pengangguran;
d.
Pembangunan pemukiman rakyat tuna
wisma atau gelandangan;
e.
Jaminan hidup untuk orang-orang
invalid, jompo, yatim piatu dan orang-orang yang tidak punya pekerjaan;
f.
Pengadaan sarana dan prasarana
pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga atau rakyat yang memerlukan;
g.
Pengadaan sarana dan prasarana
kesehatan bagi setiap warga atau rakyat yang membutuhkan;
h.
Pengadaan sarana dan prasarana
lain yang erat hubungannya dengan usaha mensejahterakan rakyat lapisan bawah.
3. Amilin atau 'amil zakat yang dimaksud ialah mereka yang
bertugas melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul
sampai kepada bendahara dan penjaganya, juga mulai dari pencatat sampai
penghitung yang mencatat keluar masuk zakat dan membagi kepada para mustahiknya.[15]
4. Muallaf.
Dalam konsep fiqh konvensional, muallaf selalu didefinisikan sebagai
“orang yang tengah dibujuk untuk masuk lebih mantap ke dalam komunitas Islam”.
Memegangi definisi yang formalistic ini, dalam praktek pentasarufan zakat akan
berarti penggunaan dana zakat untuk mempengaruhi orang-orang tertentu, agar
tetap mau bergabung atau sekedar melanjutkan keberadaannya dalam kelompok
keyakinan ‘kita. Akan tetapi penafsiran tersebut agak kurang tepat menurut
Masdar karena pada dasarnya Rasulullah menafsiri “muallaf” sebagai orang
yang perlu disadarkan hatinya untuk kembali pada jalan fitrah kemanusiaanya.
Sebagai individu, misalnya. Ia jujur dan mengedepankan akal sehatnya ketimbang
nafsu kebinatangannya. Sebagai anggota
masyarakat, ia bersedia menghormati hak orang lain, seperti halnya orang
lain juga harus menghormati haknya; sedia hidup berdampingan secara damai
dengan orang lain; tidak membikin kerusakan, kalau bisa malah berbuat kebaikan
buat sesama; menghormati tertib sosial yang di sepakati bersama dan lain
sebagainya. Dengan kata lain “muallaf qulubuhum” adalah orang yang
tengah dijinakkan (disadarkan) hatinya untuk meninggalkan sikap jahiliyahnya
dan kembali pada fitrah kemanusiaannya yang hanif (condong pada kebenaran atau
kebaikan). Karena pada dasarnya fitrah kemanusiaan yang hanif adalah esensi
yang sebenarnya dari Islam.
Dalam pengertian ini, dana “muallaf”
untuk konteks kemasyarakatan kita sekarang sasarannya adalah untuk:[16]
- Usaha penyadaran kembali orang-orang yang
terperosok ke dalam tindak asusila dan atau kejahatan, kriminal;
- Biaya rehabilitasi mental atas orang-orang atau
anak-anak yang diakibatkan oleh, misalnya, penyalahgunaan narkotika dan
yang sejenisnya;
- Pengembangan masyarakat atau suku-suku terasing;
- Usaha-usaha rehabilitasi nkemanusiaan yang lain.
5. Riqab. Secara harfiah riqab artinya adalah orang yang berstatus
budak. Untuk masa sekarang, manusia dengan status budak belian seperti ini,
sudah tidak banyak lagi diketemukan, atau bahkan sudah tidak ada. Akan tetapi,
jika menengok pada maknanya yang lebih
dalam, arti riqab secara jelas menunjuk pada gugusan manusia yang tertindas dan
dieksploitasi oleh manusia l;ain, baik secara personal maupun structural.
Dengan kata lain, berbeda dengan istilah “fakir miskin” yang lebih merujuk pada
manusia yang menderita secara social ekonomis, maka “riqab” merujuk pada orang
atau masyarakat yang menderita secara budaya, dan terutama politis.
Dalam pengertian ini, dana zakat
untuk katagori riqab akan berarti dana untuk usaha pemerdekaan orang
atau kelompok orang yang sedang dalam keadaan tertindas dan kehilangan haknya
untuk menentukan arah hidupnya sendiri.dalam konteks individual, dana itu bias
ditasarufkan untuk, misalnya:[17]
- Mengentaskan buruh-buruh rendahan dan buruh-buruh
kasar dari belenggu pihak majikan yang menjeratnya.
- Pengusahakan pembebasan orang-orang tertentu yang
dihukum atau dipenjara hanya karena menggunakan hak dasarnya untuk
perpenapat atau memilih.
Sementara dalam bentuknya yang structural, dana riqab ini bias berarti
dana untuk proses penyadaran dan pembebasan masyarakat tertindas berkaita
dengan hak-hak dasar mereka sebagai manusia baik dalam dimensi individual
maupun sosialnya.
6. Gharimin, secara harfiah “gharimin” berarti orang-orang yang
tertindih hutang. Kitab-kitab fiqh selama ini mendefinisikannya terbatas pada
pengertian perorangan. Yaitu orang-orang yang, misalnya, karena suatu hal
usahanya menjadi bangrut, padahal modalnya pinjaman. Untuk itu dana zakat
dibeikan kepada mereka buat membayar kembali utangnya. Untuk konteks
kemasyarakatan kita sekarang, definisi itu tentu masih relevan. Lebih-lebih
usaha dengan modal pinjaman sekarang ini semakin menjadi kelaziman. Dan modal
pinjaman selalu dibebani bunga yang memberatkan.
Akan tetapi untuk dhuruf sekarang
ini, di samping menggunakan dana zakat untuk membayarkan utang orang-orang yang
jatuh pailit, ada alasan juga untuk mentasarufkannya bagi usaha peningkatan
kemampuan manajemen orang-orang yang melakukan usaha dengan modal pinjaman.
Jadi selain selain ditasarufkan untuk keperluan represif, membayarkan utang
seseorang yang jatuh pailit, dana zakat juga bias di tasarufkan untuk keperluan
yang bersifat preventif, menyiapkan atau melatih orang agar tidak mudah jatuh
pailit.[18]
7. Sabi>lila>h,
banyak penafsiran dengan kata ini, ada yang menafsirkan secara umum dan husus,
namun serara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga pengertian sabi>lila>h,
yaitu:[19]
- Mempunyai arti perang, pertahanan dan kecaman
Islam;
- Mempunyai arti kepentingan keagamaan Islam pada
umumnya;
- Mempunyai arti kemaslahatan atau kepentingan umum,
meliputi pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat pada umumnya. Jalan
menuju ridha Allah, meliputi semua sarana kemaslahatan agama dan
masyarakat. Bidang dan sector pembangunan.nasional.
Pengertian pertama didukung oleh ulama mazhab empat yang menyatakan bahwa
bagian sabi>lila>h
tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum, sedangkan pengertian kedua
mengartikan sabi>lila>h
tidak semata peperangan di medan
perang namun lebih luas mengartikan sabi>lila>h
meliputi ghazw, tarbawi, siasy, dan lain sebagainya.[20]
Pengertian ketiga adalah penafsiran yang dikemukakan oleh ulama kontemporer dan
mereka diwakili oleh Mahmud Syaltut dan Rasyid Rida, yang berpendapat bahwa
segala yang mendekatkan diri kepada Allah adalah jalan menuju keridaan Allah
atau jihad fi sabi>lila>h,
yang dengannya tegak urusan agama dan pemerintah, dan bukan untuk
kepentingan pribadi. Ibadah haji tidak termasuk kemaslahatan bersama, karena ia
wajib bagi orang yang mampu dan tidak wajib kepada yang tidak mampu; ibadah ini
termasuk fardhu ‘ain yang mempunyai syarat-syarat tertentu seperti salat dan
puasa, bukan termasuk kemaslahatan agama yang bersifat umum. Akan tetapi untuk
kepentingan syiar ibadah haji dan kepentingan umuat seperti mengamankan jalan-jalan
yang akan dilaluinya, memenuhi kebutuhan air dan makanan serta mengurus
kesehatan jamaah boleh diambilkan dari bagian sabilillah.[21]
8. Ibnu Sabil atau orang yang sedang dalam perjalanan dan
kehabisan bekal, namun untuk konteks sekarang pengertian ini belum mencakup
seluruhnya, kini ketika keadaan masyarakat sudah semakin kompleks,
kebutuhan flasback pengertian
awal sebelum dibatasi dengan pengertian-pengertian tertentu, menjadi sangat
perlu. Karena sebagian ulama sepakat bahwa ibnu sabil sekarang sudah tidak ada
lagi, karena semakin majunya teknologi, yang dengan cepat kita sudah dapat
menjangkau dunia.[22]
Namun menurut Yusuf Qardawi, Ibnu
sabi>l itu senantiasa ada, seperti anak buangan, tunawisma, orang
yang diusir dan sebagainya. Masdar menambahkan bahwa pentasarufan dana zakat
untuk golongan ini tidak hanya untuk keperluan musafir yang kehabisan bekal,
tapi juga untuk keperluan: para pengungsi baik karena alas an polotik maupun
karena alasan lingkungan atau alam seperti
banjir, tanah longsor, gunung meletus, angin topan, kebakaran dan sebagainya.
D. Tujuan dan Hikmah Zakat
- Mengangkat derajat faqir miskin dan membantunya
keluar dari kesulitan hidup dan penderitaan;
- Membantu pemesahan permasalahan yang dihadapi oleh
para g}a>rimi>n,
ibnu sabi>l dan mustahiq lainnya;
- Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesame
umat Islam dan manusia pada umumnya;
- Menghilangkan sifat kikir atau loba pada pemilik
harta kekayaan;
- Membersihkan sifat dengki dan isi (kecemburuan
social) dari hati orang- orang miskin;
- Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dan
yang miskin dalam suatu masyarakat;
- Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri
seseorang, terutama Pada mereka yang mempunyai harta;
- Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan
kewajiban dan menyerahkan hak orang lain;
- Sarana pemerataan pendapatan atau rizki untuk
mencapai keadilan social.[23]
Selain itu zakat mengandung hikmah (makna yang dalam, manfaat) yang
bersifat rohani dan filosofis, firman Allah surat al- Raqarah (2) 261
Diantara hikmah
itu yaitu:
- Mensyukuri karunia Ilahi, menumbuhkan harta dan
pahala serta membersihkan diri dari sifat-sifat kikir dan loba, dengki iri
serta dosa
- Melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan
akibat kemelaratan
- Mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang antara
sesame manusia
- Manifestasi kegotong-royongan dan tolong menolong
dalam kebaikan dan taqwa
- Mengurangi kefakirmiskinan yang merupakan masalah
social
- Membina dan mengembangkan stabilitas social
- Salah satu jalan mewujudkan keadilan social[24]
Dengan demikian zakat tidak hanya mempunai dimensi ibadah saja, namun ia
mmpunyai dimensi yang lebih luas, yaitu dimensi social yang mencakup semua
masalah keumatan.
[3] QS. An-An'am (53): 32
[4] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), VI: 234
[5]
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh, cet 1, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1995) hlm, 214
[7]
Hasbi as-Shiddiqy, Pedoman Zakat, hlm 21.
[8] QS. Asy-Syam (91): 9
[9] QS. At-Taubah (9): 104
[11] QS. At-TAubah (9): 34
[14] Masdar.
F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah
Zakat ( Pajak) Dalam Islam cet I (Pustaka Firdaus: Jakarta 1991),
hlm 148.
[15]
Yusuf Qardawi, Fiqh az-Zakat,
hlm,.545.
[16] M
asdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, hlm 155.
[17]
Masdar F. Mas’udi , Agama Keadilan, hlm, 156
[18] Ibid,
hlm. 157
[19].
Syaichul Hadi Permono, Pembagian Zakat Mal Kepada Delapan Asnaf,
disampaikan pada seminar pengembangan manajemen zakat mal pada tanggal 31
Januari-1 Februari 1990 di IAIN Raden
Intan Lampung.
[20]
Yusuf Qardawi, Fiqh az--Zakat , hlm,. 605
[21]
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, X: 585.
[22]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 28. beliau telah
menerangkan pendapatnya ini dalam tafsiran ayat keenam surat al-Hasyr.
[23]
K.N Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf ( Surabaya: al-Ikhlas,
1995) hlm 26
[24] Ibid,
hlm 27
0 Response to "Pengertian Zakat, Pembagian dan Hikmahnya"
Post a Comment