Image1

Biografi Lengkap Muhammad Rasyid Ridha dan Pemikirannya

                                       BIOGRAFI MUHAMMAD RASYID RIDHA                                      
DAN PEMIKIRANNYA 

A. Riwayat Hidup Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qolmun, suatu kampung[1] sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Djumada Ula 1282 H, dengan nama lengkapnya as-Sayyid Muhammad Rasyid ibn as-Sayyid ‘Aly Ridha ibn as-Sayyid Manla ‘aly> Khalifah al-Bag}da>di. Gelar Sayyid di depan namanya menunjukkan posisi sebagai keturunan bangsawan Arab yang silsilahnya memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Hussain, putra ‘Aly bin Abi Talib dan Fatimah putri Rasulullah Saw.[2]
Dalam silsilah yang ditulis oleh al-Mu’tasim anaknya. Ridha merupakan nama keluarga Ridha yang sampai pada silsilah nama kakeknya, yaitu as-Sayyid ‘Aly Ridha al- Maridiny>, yang membangun perkampungan di Lebanon, tepi laut putih, ketika selesai hijrah dari Maridiny di Irak.[3]
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat dalam beragama dan beribadah serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan syaikh”. Sayyid Syaikh Ahmad merupakan salah seorang kakek Ridha yang begitu patuh dan Wara’. Dia menggunakan hampir seluruh waktunya untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali bagi sahabat-sahabat terdekat dan ulama yang itupun dalam waktu-waktu tertentu, yakni waktu antara asar dan magrib. Hal itu sebagaimana dikutip oleh Ibra>hi>m Ah{mad al-Adawi> dari buku harian Ridha tentang figur ayahandanya yang juga mewaisi kedudukan , wibawa, serta ilmu kakeknya.
Sehingga ketika beranjak dewasa, Ridha banyak terpengaruh dan belajar dari pemikiran serta perilaku ayahandanya. Ia mengatakan dalam buku harian yang disadur oleh Ah{mad al-Adawy> sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab:
“Ketika saya mencapai umur remaja, saya melihat di rumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Lebanon. Bahkan saya melihat ayahku rahimahumullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan pemuka-pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak di depan mereka. Ini adalah salah satu kondisi mengapa saya menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dalam kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan, kebaikan yang dibenarkan oleh agama demi kemajuan negara."[4]

Dalam aspek pendidikan, di samping belajar kepada orang tuanya sendiri, Ridha juga belajar dari banyak gurunya. Walaupun agak terlambat masuk dalam pendidikan formal sampai hampir berumur duapuluh , namun Ridha merupakan sosok anak yang tekun membaca. Pada masa kecilnya ia belajar disuatu taman kanak-kanak yang dulu dinamai al-Kutta>b”. Di sana ia belajar membaca, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat, oleh orang tuanya Ridha disekolahkan di suatu madrasah ibtidaiyyah di Tripoli (Lebanon) yang memiliki konsentrasi dalam ilmu nahwu, sharaf, aqidah, berhitung, dan ilmu bumi. Di sekolah ini bahasa yang digunakan dalam pengantarnya adalah bahasa Turki, karena Lebanon saat itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Usmaniyah dan lulusannya dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1299 H/ 1822, setelah Ridha merasa tidak tertarik belajar di madrasah tersebut, dia kemudian pindah ke sekolah Islam negeri , sebagai sekolah terbaik saat itu dengan bahasa pengantarnya bahasa Arab di samping bahasa Turki dan Perancis. Sekolah ini didirikan sekaligus dipimpin langsung oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syakh H{usain al-Jirs. Syaikh inilah yang memberikan andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha. Karena kedekatan hubungan emosional di antara keduanya, keterikatan hubungan mereka bahkan sampai sekolah tersebut ditutup oleh pemerintah Turki.
Syaikh H{usain al-Jisr memberikan kesempatan Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, dan dari pengalaman inilah dia dipercaya untuk memimpin majalah al-Mana>r.[5] Tepatnya pada tahun 1314 H/ 1897 M Syaikh al-Jisr memberikan ijazah dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat kepada Ridha.
Guru-guru Ridha selain Syaikh al-Jisr yang telah memberikan pengaruh bagi perkembangan pemikirannya adalah Syaikh Mahmud Nasyabah, sosok ulama yang ahli dalam bidang hadits, beliau mengajarinya sampai selesai dan memperoleh ijazah bahkan oleh karena jasanyalah Ridha diberi gelar oleh teman-temannya sebagai “voltaire”-nya kaum muslimin.[6] Di samping itu Ridha juga berguru kepada Syaikh Muh{ammad al-Qaqwijy>, seorang ahli hadits yang mengajarkan salah satu kitab karangannya dalam bidang hadits. Begitupun Syaikh Abdul Gha>ni ar- Rafi, yang mengajarkan sebagian dari kitab hadits Nail al-Autar. Dan di antara gurunya yang lain adalah Syaikh Muh{ammad Ka>mil ar-Rafi’ serta ustaz Muh{ammad Husaini.[7]
Selama dalam masa pendidikannya, Ridha selalu mengefektifkan waktunya untuk ilmu dan ibadah. Masjid tempat berkhalwat dan membaca. Kakeknya (Syaikh Sayyid Ahmad ), merupakan salah satu tempat bagi pengembangan ilmu dan peningkatan ibadahnya.
Di samping situasi keluarga yang sarat dengan pengembangan nilai toleransi, Ridha dilahirkan dan dibesarkan di dalam lingkungan masyarakat yang akrab dengan aliran-aliran tarikat. gerakan-gerakan maupun isu-isu sosial yang berkembang membentuk tatanan hukum masyarakat saat itu penuh dengan amalan-amalan “ritual sufistik”. Kondisi semacam ini membuat Ridha menyesuaikan diri.
Dalam buku hariannya, Ridha menuliskan satu ungkapan:
“Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat Ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala penetahuan yang dituangkan kedalamnya”.[8]
Ridha selalu menghindari  masakan yang lezat-lezat, atau tidur di atas kasur dan selalu mengikuti tata cara yang dilakukan oleh para sufi.
Ridha pun masuk dalam salah satu aliran tarekat dan sempat menjadi anggota tarikat Naqsabandiyyah. Kemudian beralih ke aliran tarekat Syaziliyyah dan menambah wirid dengan bacaan kitab Wird Al-Sah{r dan Dala’il al-Khairat. Karena kesufian Ridha yang begitu mendalam ia merasakan mampu mukasyafah dan memiliki kemampuan supranatural, menyembuhkan orang sakit, melindungi ternak dari wabah dan kemampuan gaib lainnya.[9]
Ia pernah merasakan seakan-akan mampu berjalan di atas air atau terbang di udara. Ridha juga pernah menceritakan peristiwa pencurian di rumahnya. Keesokan harinya, ia langsung ke Tripoli menuju sebuah toko yang menjual perabot barang-barang. Dan dia meminta pemiliknya untuk memperlihatkan barang-barang yang dibelinya hari itu, dan ternyata ditemukanlah barang-barang miliknya di toko tersebut.[10]
Ridha dalam perjalanan sufistiknya keluar dari aliran tarekat karena praktek-prakteknya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Walaupun demikian perilaku sufistik Ridha tetap terjaga dan tidak membuatnya meninggalkan tugas-tugas sosial. Ia tetap mengajar ibu-ibu di rumahnaya, memberikan khutbah di masjid desa al-Qalmun.[11] Ridha saat itu terkenal sebagai pemuda yang alim, sikap ini terjaga berkat bimbingan kitab Ih{ya’ ‘Ulu>m ad-Din karya al-Ghaza>ly sebagai guru pertamanya yang dibaca berulang-ulang sehingga iapun benar-benar merasa terbimbing jiwa dan perilaku kesehariannya.[12]
Pada waktu Ridha sedang semangat dalam perjuangannya di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian maupun melalui tulisan-tulisan di media massa untuk masyarakat sekitar, Jamaluddin al-Afghany> dan Muh{ammad Abduh{ sedang memimpin gerakan pembaharuan di Paris. Majalah al-‘Urwah al-Wust{a [13]yang diterbitkan di Paris saat itu merupakan wadah gagasan kolaborasi Jamaluddin al-Afgany dan Abduh yang tersebar di seluruh dunia Islam. Gagasan ini memiliki orientasi pendirian Pan-Islam dan penentangan terhadap imperialisme terutama Inggris, dan majalah ini sempat dibaca juga oleh Ridha.
Karena pengaruh majalah al-‘Urwah al-Wust{o yang begitu besarnya, sampai dianggapnya sebagai guru kedua bagi Ridha.[14] Pengaruh dari majalah ini mampu mengubah jiwa pemuda yang berjiwa sufi – Ridha – menjadi seorang pemuda yang penuh semangat dengan usaha-usahanya dalam membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan agama secara utuh serta membela dan membangun negara melalui ilmu pengetahuan dan industri.
Hal ini sebagaimana ia nyatakan :
“Dengan membacanya ( al-'Urwah al-Wust{{a), aku berpindah ke suatu jalan baru dalam memahami Islam, yakni bahwa Islam bukan hanya ruhani-ukhrawi semata-mata, tapi dia adalah agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan duniawi, yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasai dengan sungguh-sungguh".[15]

Dari perjalanan hidupnya kemudian Ridha bertemu dengan salah satu tokoh pembaharu Islam, 'Abdu>h. Bila pemikiran 'Abdu>h banyak dipengaruhi oleh Jamaluddi>n al-Afghany> sebagai gurunya, maka pemikiran Ridha juga sangat dipengaruhi oleh ‘Abdu>h guru dekatnya.[16] Dari pengaruh pemikiran kedua tokoh inilah Ridha berperan besar dalam menngulirkan gerakan reformasi untuk memperbaiki kondisi umat Islam dari pengaruh negatif tasawuf dan membersihkan Islam dari berbagai praktik yang menyimpang. Pendirian ini semakin kuat apalagi setelah pertemuanya dengan ‘Abdu>h. [17]
Kekaguman Ridha terhadap ‘Abdu>h semakin bertambah mendalam semenjak Abdu>h kembali ke Beirut untuk kedua kalinya, yakni pada tahun 1885 ketika bertugas untuk mengajar sambil mengarang. Pertemuan yang kedua terjadi di antara keduanya ketika ‘Abdu>h berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya yang mengajar di sekolah al-Kha>nutiyah.
Pada saat pertemuannya yang pertama, Ridha telah menanyakan kepada 'Abduh tentang kitab tafsir yang terbaik menurut penilaiannya. Oleh 'Abduh dijawab, bahwa tafsif tersebut adalah Tafsir al-Ka>sya>f  karya az-Za>makhsyary>. Keunggulannya adalah pada ketelitian redaksi serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikanya. Walaupun 'Abdu>h mengakui kritik-kritik Ridha tentang paham Mu’tazialah yang terkandung dalam tafsir tersebut, namun 'Abdu>h menyatakan bahwa hal itu sangat berkaitan erat dengan perhatian para pembaca kitab-kitab yang memahaminya dari aliran Sunnah.
Pertemuan Ridha dengan 'Abdu>h untuk kedua kalinya adalah pada tahun 1312 H/1894 M yang tejadi di Tripoli dan baru ketemu kembali setelah berpisah selama lima tahun, yakni pada 23 Rajab 1315 H/18 januari 1898 M di Kairo, Mesir. Pada pertemuan ketiga inilah Ridha mengemukakan keinginan kuatnya untuk menerbitkan suatu majalah yang mengolah masalah-masalah sosial, politik, budaya, dan agama.
Walaupun pada awalnya 'Abdu>h tidak menyetujui gagasan Ridha, karena dinilai telah banyaknya media massa yang bertebaran di Mesir, apalagi masalah yang ingin dikemukakan tampak kurang menarik, namun setelah 'Abdu>h melihat tekat yang begitu kuat dari Ridha, akhirnya Abduh mengabulkan dan majalah itupun tercetak untuk pertama kalinya pada 22 Syawal 1315 H/ 17 Maret 1898 M, dengan nama al-Manar berupa majalah mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat di Mesir dan negara-negara Arab sampai ke Eropa, bahkan sampai ke Indonesia. Keseluruhan majalah ini diterbitkan dalam satu kesatuan 35 volume (jilid) dengan 34 jilid dan satu bagian pertama jilid ke-35 merupakan hasil kinerja Ridha sendiri. Majalah ini mampu bertahan sampai tahun 1935, yakni pada wafatnya Ridha yang masih dengan mempertahankan tradisi majalah al-'Urwah al-Wust{a.[18]     
Dari hubungan melalui surat-menyurat antara pemimpin surat kabar dengan pembacanaya di singapura yang sering berkunjung ke Indonesia, menebabkan kembalinya cita-cita Ridha untuk mendirikan lembaga pendidikan untuk kalangan pemuda-pemuda menjadi da’I. Akhirnya dia mampu merealisasikan dengan nama madrasah da>r al-Da’wa>h wa al-Irsya>d. Madrasah ini bertujuan untuk mengirimkan tamatan-tamatannya ke Jawa (Indonesia) serta China bahkan penerimaan pelajarnya diutamakan yang dari Jawa (Indonesia), china dan daerah selain Afrika Utara.[19]
Ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah, antara lain adalah sebagai berikut: al-H|ikmah| asy-Syar’iyyah fi> Muh|a>kamat al-Dardi>riyyah wa ar-Rifa>'iyyah. Buku ini adalah karya pertamanya di waktu masih belajar, yang menguraikan tentang bantahannya terhadap 'Abdu>l Ha>d{i as-Sayya>d yang mengucilkan tokoh sufi besar 'Abdu>l Qa>di>r al-Jaila>ni>. Ridha menjelaskan kekeliruan yang dilakukan oleh para sufi tentang busana muslim, sikap meniru kaum non muslim, Imam Mahdi. Masalah –masalah dakwah dan keramat.
Karya Ridha yang lain adalah kitab al-Azhar dan al-Mana>r, yakni berisi sejarah al- Azhar pada perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama al-Azhar yang menentang pendapat-pendapatnya. Kitab tarikh al-Usta>z al-Ima>m, adalah karya Ridha yang berisi uraian sejarah riwayat hidup Muh{ammad 'Abdu>h dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya. Kitabnya juga Nida>’ li al- Jins al-Lati>f, berisi uraian tentang hak dan kewajiban-kewajiban wanita. Kitab berikutnya adalah Zikra> al-Mauli>d an-Nabawi>. Kitab Risa>lat al-Hujjah al-Islam al-Ghaza>ly>,, al-sunnah wa al Syi’ah, al-Wahdah al-Isla>miyyah, Haqi>qah al-Riba>, majalah al-Mana>r yang telah terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354.[20]
Rasyi>d Ridha meninggal dalam perjalanan pulang dari Suez di Mesir, setelah dia mengantarkan Pangeran Su'ad al-Faisa>l (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia). Mobil yang dia kendarai mengalami kecelakaan dan dia megalami gagar otak. Dalam perjalannnya dia hanya membaca al-Qur'an walaupun sudah mntah beberapa kali. Dan setelah dia memperbaiki posisinya, dia meniggal dengan senyum yang cerah pada tanggal 23 Juma>dal U>>la> 1354 bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. [21]
           
B. Karakteristik Penafsiran Rasyid Rida
Al-Mana>r sebagai akselerasi karya ‘Abduh dan Rida dalam kajian ilmu tafsir memiliki corak yang biasa disebut dengan al-a>dabi al-ijtima>’I (sosio-kultural). Corak penafsiran ini adalah Penafsiran yang selalu peduli dengan konteks dan kondisi zaman serta berupaya menggali petunjuk al-Qur’an tentang persoalan–persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam saat kitab tafsir tersebut disusun.[22]
Corak penafsiran ini lebih menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dari sudut ketelitian redaksinya. Kemudian kandungan maknanya disusun dalam redaksi yang indah dengan mengutamakan aspek petunjuk al-Qur’an bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Tafsir ini tentu lebih memudahkan dalam memahami teks al-Qur’an karena pengarang kitab senantiasa menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan sunnatulla>h yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali pada batasan-batasan yang dibutuhkan.
Jenis tafsir ini sangat terbuka bagi kalangan ilmuwan tafsir untuk mendiskusikan isu-isu social budaya ataupun politik yang tengah dihadapi dengan tetap dalam kerangka petunjuk al-Qur’an. Tafsir yang dipelopori oleh ‘Abdu>h yang kemudian ditransformasikan kepada Ridha sebagai murid terdekatnaya memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam nilai keagamaan dan spiritual. Sehingga al-Qur’an bukanlah sumber hokum ataupun dogma Islam belaka, tetapi secara subtansial al-Qur’an merupakan kitab dari zaman ke zaman yang seharusnya oleh umat Islam dapat terumuskan jawaban-jawaban dan pemikirannya mengenai dunia kini dan dunia di masa mendatang.[23]
Karakteristik penafsiran semacam ini bermaksud untuk memahami pernyataan-pernyataan dalam surah-surah al-Qur’an. Harapannya adalah akan dapat membawa kepada perbuatan dan perolehan hidayah yang tersembunyi dibalik symbol bahasa al-Qur’an tersebut dalam rangka membumikan misinya, yaitu hudan wa rahmah. Abduh maupun Ridha banyak mengesampingkan dan bahkan secara paradikmatik membuang pengetahuan maupun kaidah-kaidah tafsir klasik yang selalu membebani dalam penafsiran. Pengisian ruang ini adalah dengan memberiakan terapi nasehat-nasehat yang lebih praktis pada problem solving atas permasalahan-permasalahan kontemporer yang sedang dihadapi umat Islam sesuai zamannya.[24]
Secara global sebenarnya metode yang diterapkan dalam penyusunan kitab tafsir al-Mana>r tidak jauh dari kitab tafsir lainnya, yaitu dengan mengunakan metode tahli>li> pada aplikasi sitematika tertib mushafi. namun karena penekanannaya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur'an dalam kehidupan umat Islam secara nyata inilah yang nampaknya membuat beda tafsir al-Mana>r dengan tafsir-tafsir sebelumnya.[25]
Ciri khas yang cukup membedakan antara Ridha denagn mufasir lain bahkan Abduh sendiri adalah: pertama Ridha menganggap satu surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi. misalnaya ketika ia menafsirkan ayat:
فنتقبلها بقبول حسن وأنبتها نباتا حسنا وكفلها زكريا كلما دخل عليها زكريا المحراب وجد عندها رزقا قال يا مريم أنى لك هذا قالت هذا من عند الله إن الله يرزق من يشاء بغير حساب. [26]
Ridha mengatakan bahwa:
"Tuhan tidak menyatakan, nabipun tidak, sebagaimana dalam sejarahpun tidak dinyatakan bahwa yang dimaksud denagn (rizki) di sini adaalh buah-buahan di musim panas (tidak harus dikaitkan dengan sesuatu yang luar biasa), sedangkan pada riwayat-riwayat dari para mufasir terdahulu justru saling bertentangan.[27]
Dalam permasalahan ini Ridha menegaskan bahwa tujuan utama dari diturunkannya al-Qur'an adalah menjelaskan aqidah ketuhanan, kebangkitan, dan pembalasan, serta wahyu dan kenabian. sedangkan di awal surah Alu> Imran telah dijelaskan masalah ketuhanan dan hari kebangkitan, maka rangkaian ayat-ayat yang ditafsirkan adalah menyangkut kenabian. dari sini menjadi jelas, bahwa kisah ini dan kisah-kisah yang sesudahnya harus dihubungkan dengan ayat lain yaitu:
إن الله اصطفى آدم ونوحا وآل إبراهيم على العالمين[28]
Dalam tafsir ayat ini dijelaskan bahwa penetapan nabi-nabi bani Israil adalah kehendak Allah yang tidak harus selalu lazim, sebagaimana kebiasaan dengan tidak wajarnya seorang wanita berkhidmad di Baitul Maqdis (ayat 35-37) atau seorang tua mandul yang dapat melahirkan (ayat 38-39). demikian pula rizki yang diperoleh Maryam dalam ayat ini adalah banyaknay rizki yang diperoleh dimusim paceklik, bukannya rizki tersebut adalah buah-buahan musim panas di musim dingin atau sebaliknya.[29]
Kedua: ayat-ayat al-Qur'an bersifat umum. misalnya pada ayat al-Qur'an
ما كان للمشركين أن يعمروا مساجد الله شاهدين على أنفسهم بالكفر أولئك حبطت أعمالهم وفى النار هم فيها خالدون[30]
Ayat ini ditafsirkan Rida pada frase yang diartikan dengan "memakmurkan masjid" sebagai ibadah kepada Allah apapun bentuknya, baik iktikaf, membangun, memugar masjid dan bentuk usaha lain yang memiliki visi untuk syi'ar kemakmuran masjid sebagai rumah Allah SWT.
Hal ini sebagaimana pendapat Syafi'i dan ibn Jarir. Ridha tidak sependapat dengan para mufasir yang mendefinisikan memakmurkan dengan ibadah murni "umrah ke Masjid al-Haram", dengan menafikan pemaknaan lain yang lebih luas.[31]
Ketiga, al-Qur'an merupakan sumber aqidah dan hukum. misalnya pendapat Ridha tentang riba yaitu penafsirannya pada ayat:
الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس لك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون[32]

Ridha mengecam kebanyakan mufasir ahli sunnah yang mengatakan bahwa makna kekalan di api neraka hanya terbatas bagi mereka yang berkeyakinan halalnya sesuatu yang diharamkan Tuhan, yakni mereka yang berkeyakinan tentang kehalalan riba.
Ridha mengemukakan argumennya: "yang hak dan benar adalah menjadikan petunjuk al-Qur'an di segala lini kehidupan, tidak sebagaimana yang diungkapkan oleh mayoritas mutakallimun dan fuqaha. sehingga segala pendapat menyangkut agama harus dikembalikan kepada al-Qur'an dan tidak boleh mentakwilkan suatu lafal al-Qur'an untuk disesuaikan dengan pendapat seseorang[33]
Keempat, penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an. Ciri khasnya ini sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab melalui pemahaman pendapat-pendapat Ridha pada permasalahan:
1. Kisah kejadian Adam. Berdasarkan pada firman Allah:
فالمدبرات أمرا[34]
Ridha memahami ayat ini dengan kandungan makna "bahwa manusia memiliki potensi yang dianugrahkan Tuhan berupa kehendak dan pilihan yang menjadikannya mampu untuk meningkat kederajat malaikat atau meluncur ke jurang setan, terserah dengan pilihannya.[35]
2. Sihir, Abduh maupun Ridha menolak adanya sihir, karena sihir tiada lain hanyalah tipu daya yang tidak berkepemilikan hakiki ataupun wujud secara independen.[36] tentang hadits yang menceritakan disihirnaya nabi, hadits tersebut ditolak oleh sebagian ulama oleh karena yang meriwayatkan adalah "Hisyam" dari ayahnya dari Aisyah. Imam Hasyim diklasifikasiakn sebagai ulama dalam kategori al-Jarh wa al-Ta'dil. sehingga penolakan hadits ini jelas denagn menerapkan tolak ukur ilmu hadits.[37]
3. Jin. Ridha menolak pendapat ulama' yang menyatakan firman Allah tentang adanya jin, yaitu ayat al-Qur'an:
يا بني آدم لا يفتننك الشيطان كما أخرج أبويك من الجنة ينزع عنهما لباسهما ليريهما سوآتهما إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم إنا جعلنا الشياطين أولياء للذين لايؤمنون[38]
Ia juga menolak yang mengecualikan beberapa keistimewaan, sehingga memungkinkan manusia tertentu dapat melihat jin dan bisa berkomunikasi secara baik dengan makhluk jin. Ridha menanggapi pendapat ulama yang mendasarkan pada hadits tentang manusia yang bisa melihat jin, karena menurutnya tidak ada satupun hadits sahaih yang menjelaskan bahwa manusia bisa melihat jin tersebut.[39]
4. Mu'jizat-mu'jizat Nabi Saw. Ridha berpendapat bahwa mu'jizat Rasulullah tiada lain kecuali al-Qur'an al-Karim dengan segala muatan nilai dan susunan redaksinya.[40]
Kelima, Ridha sangat berhati-hati terhadap Hadits dan pendapat para sahabat. rida sanagt selektif dalam menerima semua hadits-hadits nabi, walaupun hadits tersebut ditemukan dalam S}ahi>h Bukha>ri atau S}ah>ih Muslim. penolakan ini dengan menggunakan alasan disiplin ilmu hadits secara baik. begitupun terhadap para riwayat-riwayat sahabat, Ridha sangat berhati-hati terhadap para perawi sahabat yang dinulai jauh dari predikat sahih, khususnya yang mengatasnamakan Ali> bin abi> T{Ali dan Abbas.[41]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perkembangan psikologis pada diri Ridha banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh ataupun lingkungan sosial perkembangan pemikirannya. kesamaan ini secara tidak langsung memberikan kesimpulan bahwa proses pengajaran Abduh mampu mempengaruhi diri Ridha begitu luar biasa. kekhasan Tafsi>r al-Man>ar ini juga sangat terlihat sebagai hasil karya kedua tokoh besar, yakni Abduh dan Ridha dari analisisa teks dan hukumnya yang komprehensif dan kontekstual dengan memandang adanya korelasi antara satu ayat dengan ayat lain dalam kerangka logika rasionalitas. hal ini terbukti denagn contoh-contoh eksplanasi corak penafsiran Rid{ di atas.[42]
Mengenai keperbedaan di antara keduanya, lebih pada metode penafsiran, yakni pada perhatian aspek bahasa dan redaksional, Ridha banyak menekankan  penggunaan hadi>s\; perhatian terhadap susunan redaksi dan kosakata yang oleh Ridha tambahkan  terhadap penafsiran gurunya; serta penerapan ilmu pengetahuan dalam penafsiran lebih banyak oleh Abduh.
Ridha sendiri mengutarakan perbedaan metodologi penafsirannya dengan Abduh di awal Tafsi>r Al-Mana>r sebagaimana dikutip oleh Hamim Ilyas:
"Setelah Syaikh Muhammad Abduh meninggal dan saya menafsirkan al-Qur'an sendirian, maka saya berbeda dengannyadalam menngunakan metode tafsir. perbedaannya adalah pada penerapan sunnah sebagai subyek yang dibicarakannya; penelusuran arti dan kata-katanya, frasa dan masalah-masalah yang diperselisihklan di antara para ulama, memperbanyak dalil-dalil penguat dari ayat-ayat al-Qur'an yang terdapat dalam berbagai surat, uraian panjang lebar untuk menuntaskan pembicaraan mengenai masalah-masalah yang bagi kaum muslimin mendesak untuk dituntaskan, sehingga bisa memberi keyakinan akan petunjuk agama mereka di masa sekarang, memperkuat argumentasi mereka menghadapi orang-orang kafir dan pengikut ajaran sesat atau memberi pemecahan yang memuaskan terhadap beberapa problem yang sangat pelik untuk diatasi dengan memberikan alternatif yang menentramkan hati dan jiwa".

Sehingga secara terperinci keperbedaan yang cukup mendasar pengembangan metodologi Ridha dari metodologi yang diterapkan oleh gurunya Abduh dan keperbedaan ini yang menjadi karateristik tersendiri baginya adalah sebagai berikut:
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan dikuatkan dengan dasar hadits nabi. misalnya penafsiran Ridha pada ayat:
يأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود[43]
Ridha mengutip pendapat para tabi'in tentang arti al-uqu>d serta macam-macamnya secara umum dan mutlak, sehingga semua bentuk perjanjian memiliki hukum. pendapat ini ia kuatkan dengan dasar hadis:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا أحل حراما أو حرم حلالا والمسلمون على شروطهم[44]
2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat-ayat yang lain secara koherensif.
3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yamg luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya dengan tawaran problem solving atas persoalan kontemporer.[45]
4. Keluasan pembahasan tentang mufradat (kosakata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat ulama dalam bidangnya.
Salah satu kekhasan penafsiran Ridha dalam Tafsi>r al-Mana>r adalah penjelasan pengertian yang terkandung dalam satu kata dan rahasia makna dibaliknya, apalagi terdapat keperbedaan redaksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. dalam kajian tafsir kontemporerbarangkali inilah bentuk ­tafsi>r muqa>ran. sebagai contoh misalnya ketika Ridha menafsirkan surah:
وما الحياة الدنيا إلا لهو ولعب[46]
Kata  لهو (permainan) ditafsirkan oleh Ridha sebagai perbuatan yang dilakukan secara tidak wajar, yakni perbuatan itu berakibat pada kemanfaatan ataupaun mencegah kemadharatan. Sedangkan pada kemanfatan ataupun mencegah kemadharatan. Sedangkan kata ولعب merupakan perbuatan yang mengakibatkan kelengahan dari perbuatan yang bermanfaat dan penting.[47]
Pengertian dari dua kata dalam surah al-An'a>m (6) : 32 ini oleh Ridha dikuatkan dengan makna kata yang terdapat pada surah al-An'a>m (6) : 29* dan dikomparasikan dengan ayat-ayat surah Muhammad (47), al-Hadi>d (57) : 20 dan al-Ankabu>t (29) : 64.[48] Menurutnya penyebutan kata al-Lahwu  terlebih dahulu daripada kata al-La'bu pada ayat al-Ankabut, sedangkan pada ayat-ayat yang lain tidak, berarti ada rahasia dibalik sistematika urutan tersebut.[49]
Di samping itu ada beberapa prasyarat lain yang menjadi keharusan yang digariskan oleh Abduh maupun Ridha, yakni; kemampuan ilmu bahasa untuk memahami hakikat lafazd al-Qur'an. kemampuan dalam bidang ilmu balagah, ilmu humaniora, ilmu sejarah transformasi hidayah umat Islam dalam al-Qur'an Ilmu sejarah kehidupan Nabi Muhammad.[50]




[1] Desa tersebut dalam buku sensus Kerajaan Turki Usmani disebut dengan sayyidah al-Qurra' wa al-wazari
[2] Imad ad-Din sanin, Rasyid Rida, dalam John L. Esposito, (d), The Exford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (Oxford: Exford univercity Press, 1995), III: 410
[3] A. Asy-Sarbasy, Rayid Rida: Sahib Al-Manar, (Kaoro: lajnah at-ta'rif bi al-Islam, 1970), hlm. 104
[4] Dikutip dari M. Quraisy Syihab, Studi Kritis Tafsi>r Al-Mana>r, (Bandung: Pustaka hidayah, 1994), hlm. 60
[5] Ibid, hlm. 61
[6] Gelar ini diberikan kepada Rasyid Rida yang mampu membedakan, menilai hadis-hadis yang da'if  dan maudu', serta kemampuannya mengoyahkan segala apa yag tak benar menurut agama. Nama Voltaire (1694-1778) sebenarnya merupakan seorang filosof Perancis yang mengkritik secara pedas para pemuka-pemuka agama dan masyarakat Perancis yang pada masanya dianggap sebagai pencetus revolusi Perancis (1789 m).
[7] Abdul Aziz dahlan dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2001), IV: 1486
[8] M. Quraisy Syihab, Studi Kritis, hlm. 56
[9] Albert Haoroni, Pemikiran Liberal Dunia Arab, Alih bahasa Supano dkk, (Bandung: Mizan, 2004), hlm 360
[10] Asy-Syarbasyi, Rasyi>d Rid{a, hlm. 12
[11] Khalid Ali Hamzah, Muhammad Rasyi>d Rid{a: taut wa al-Islam, (ttp: Mu'assasah Qurtubah, tt), hlm. 14
[12] Albert Haoroni, Pemikiran Liberal Dunia Arab, hlm 360
[13] M. Quraisy Syihab, Studi Kritis, hlm. 15
[14] Rasyi>d Rid{a"Mulakhkhas Ustad al-Imam", dalam Tafsi>r Al-Manara, III: 456
[15] M. Quraisy Syihab, Studi Kritis, hlm. 63
[16] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 70
[17] Fakhruddin Faiz, Hermenetika Al-Qur'an: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, (Yoqyakarta: Al-Qolam, 2002), hlm. 62
[18] M. Rasyi>d Rid{a, "Al-Jami'ah al-Islamiyah", dalam al-Mana>r, II: 340   
[19] Ibid
[20] Khalid 'Ali Hamzah, Muhammad Rasyi>d Rid{a , hlm. 14
[21] M. Quraisy Syihab, Studi Kritis, hlm. 66
[22] Fahruddin Faiz, Hermenetika Al-Qur'an, hlm. 69
[23] . M. Husain Az-Zahabi, At-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, II: 213
[24] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaak Panjimas, 1984), I: 41
[25] Fahruddin Faiz, Hermenetika Al-Qur'an, hlm. 71
[26] QS. A>lu> Imra>n (3): 37
[27] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r : III: 293
[28] QS. A>lu> Imra>n (3): 33. lihat penjelasan M. Quraisy Syihab dalam Studi Kritis, hlm. 71
[29] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, III: hlm. 293  
[30] QS. At-Taubah (9): 17
[31] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, X: hlm. 209 
[32] QS. Al-Baqarah (2): 275
[33] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, III: hlm. 98
[34] QS. An-Na>zi'a>t (79): 5
[35] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, VIII: hlm. 332
                [36] Ibid, VII: hlm. 311-312
[37] Az-Zahabi, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, III: 250
[38] QS. Al-A'ra>f (7): 27
[39] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, VIII: hlm. 361
[40] Rasyi>d Rid{a  memberikan pendapatnya diatas berdasaran frima Allah dalam Al-Qur'an أو يكون له بيت من زحرف أو ترى فى الأرض ولن ترى لرقيك حتى تتنزل علينا كتابا نقرأه قال سبان ربي هل كنت إلا بشرا  رسولا.
Rida menguatkan enjelasan ayat tersebut dengan sebuah hadis Nabi SAW
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من الأنبياء نبي إلا أوتي من الىيات ما مثل آمن عليه البشر وإنما كان الذى أوتيته وحيا أوحي الله فارجوا أن يكون اكثرهم تابعا يوم القيامة (رواه الشيخان).
Lihat dalam Sahih Bukhari, VI: 224. lihat pula Sahih Muslim "Kitab al-Iman"  hadis ke-239 dan Musnad Ahma, II: 341
[41] As-Suyuti dalam Al-Itqan menyatakan bahwa daalm kitab Fada'il al-Imam asy-Syafi'i karangan Abu Abdillah Mubhammd bin Ahmad bin Syakir al-Qattan terdapat riwyat Abdil hakam yang menyatakan:
سمعت الشافعى يقول لم يثبت عن ابن عباس ف التفسير التسبيه بمائة حديث
Bahwa tak ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas tentang keutamaan amal ang sahih kecuai hnya seratus hadi. As-Suyuti,  al-Itqa>n fi> al-U>lu>m al-Qur'a>n, Mesir: Maktabah al-halabi, 1318 H), hlm. 189
                [42] Keterangan lebih lengkap lihat M. Husain Az-Zahabi, At-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, hlm. 215
[43] QS. Al-Ma>'idah (5): 1
[44] Hadis ini menurut Rasyi>d Rid{a diriwayatkan oleh Abu Daud ad-daruqutni melalui Ibnu Katsir bin Zaid  dn diriwayatkan pul oleh al-Bazzar dengan tambahan redaksi pada hadis itu  إلا شروطا حرم حلال واحل حراما  oleh at-Tirmizi hadis ini dianggap sebagai hadis hasan namu oleh Rida ddinilai sebagai hadis yang daif. Alasannya rangkainya perawinya terdapat katsir Bin Abdillah Bin Amr yang disepakai oleh ulama' akan kelemahan riwayatnya. Lihat Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, VI: hlm. 121-124
[45] sebagai contoh pemaknaan sabilillah yang lebih diorientasikan untuk kepentingan umum dalam distribusi zakat. Lihat Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, X: hlm. 121-124
[46] QS. Al-An'am (6): 32
[47] Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, II: hlm. 121-124

[48] وقالوا إن هي إلا حياتنا الدنيا وما نحن بمبعوثين
[49] Penjelasan lebih lanjut lihat Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r, I: hlm. 362 lihat juga M. Quraisy syihab, Studi Kritis, hlm. 111
[50] Ibid, hlm. 23-24

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Biografi Lengkap Muhammad Rasyid Ridha dan Pemikirannya"

Post a Comment