Makalah Biografi Imam Abu Hanifah dan Pemikirannya
Makalah Biografi Imam Abu Hanifah|
Para ahli hukum
di Kuffah (Irak) merumuskan ketentuan hukum mereka dari pendapat dan
pertimbangan sahabat, seperti: Ali Abdullah Ibnu Mas'ud dan para tabi'in
seperti: al-Qomah, al-Aswad, Ibrahim an- Nakha'I dan lain-lain. Pemikiran para
tokoh Irak inilah diwarisi oleh Imam Abu Hanifah dengan mempelajari ketentuan
hukum yang terdahulu dari mereka dan melakukan perbincangan dengan pakar-pakar
hukum sezamanya dalam mengambil keputusan-keputusan.
PEMIKIRAN ABU HANIFAH TENTANG ZINA DAN HAD ZINA
A.
Biografi dan Latar Belakang Imam Abu Hanifah
Imam Abu
Hanifah nama aslinya adalah Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin Zauth at-Yaimy
bin Mah. Beliau lahir di Kufah pada masa bani Umayah yang pada waktu itu
pemerintahan bani Umayah ditangan Abd Malik bin Marwan yaitu kholifah kelima
dari bani Umayah. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H. Beliau selanjutnya
menghabiskan masa kecil dan sampai dewasa di Kufah.[1]
Ayah beliau
keturunan dari bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di Kufah.
Beliau belajar fiqh dari Imam Hammad bin Abi Sulaiman pada awal abad kedua
hijriah, dan juga banyak memperoleh ilmu dari para ulama tabi'in seperti 'Ata
bin Abi Riban dan Nafi' Maula Ibn Umar.[2]
Dan menurut
suatu riwayat beliau di panggil dengan sebutan Abu Hanifah karena beliau
mempunyai seorang putra yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan nama anak
menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah),
sehingga beliau dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.Tetapi, menurut Yusuf Musa,
beliau di sebut Abu Hanifah, karena ia selalu berteman dengan
"tinta", dan kata hanifah dari bahasa Irak yang berarti
"tinta". Imam Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan
mencatat ilmu pengetahuan yang di peroleh dari teman-temanya. Adalagi yang
mengatakan bahwa gelar tersebut karena menurut bahasa Arab kata Hanif bermakna
cenderung kepada yang benar.[3]
Dan menurut teman- teman Imam Abu Hanifah cenderung berbuat kebenaran.
Imam Abu
Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang terkenal dengan sebutan "al-Imam
al-A'zham" yang berarti imam terbesar.[4]
dan masih ada hubungan darah dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan
pernah berdoa kepada Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunanya.[5]
Maka tidaklah heran jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul ulama besar
seperti Imam Abu Hanifah.
Sejak masa
kanak-kanak beliau gemar belajar qira'at
dan menghafal al- Quran. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang
bacaanya, sehingga ayat-ayat suci tersebut terjaga dengan baik dalam ingatanya
sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami terhadap makna yang dikandung dalam
ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam pengetahuanya tentang al- Quran
beliau sempat berguru pada Imam Asim, seorang ulama yang terkenal pada masa
itu.[6]
Selain al- Quran, beliau juga gemar belajar
hadist, nahwu, sastra, sya'ir, teologi dan ilmu-ilmulainya yang berkembang pada
masa itu. Diantara ilmu-ilmu yang diminati adalah teologi, sehingga beliau
menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman
pemikiranya, beliau sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin
ajaranya sangat ekstrim.[7]
Selanjutnya
Imam Abu Hanifah memperdalam ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu merupakan
pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat
Madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah ibnu Mas'ud (Wafat 63 H/682 M).
Kepemimpinan Madrasah kemudian pindah kepada Ibrahim an-Nah'I, lalu Hammad ibnu
Sulaiman al- Asy'ari (Wafat 120 H). Hammad ibnu Sulaiman adalah ulama terkenal
pada masa itu. Beliau adalah murid 'Alqomah ibnu Qois dan Alqodhisyuriah,
keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari golongan
tabi'in. Dari Hammad ibnu Sulaiman itulah Imam Abu Hanifah belajar fiqih dan
hadist. Dalam hal ini kalangan sahabat rosul diantaranya kepada Anas bin Malik,
Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya juga pernah
mendalami hadist.
Imam Abu
Hanifah belajar kepada Hammad ibnu Sulaiman tidak kurang dari18 tahun lamanya,
Setelah wafat gurunya yakni pada tahun 130 H, Imam Abu Hanifah kemudian mulai
mengajar di berbagai majlis di Kufah dan majlis Madrasah Kufah sepakat untuk
mengangkat Imam Abu Hanifah sebagai Kepala madrasah. Selama itu beliau mengabdi
dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwa itu merupakan
dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Imam Abu
Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasty Umayyah dan 18 tahun pada masa
dinasty Abbasiyah. Bahkan menurut sejarawan pada masa pemerintahan dinasty
Umayyah beliau ditawari beberapa jabatan resmi seperti di Kufah yang ditawarkan
oleh Yazid bin Umar (pembesar kerajaan), akan tetapi Imam Abu Hanifah
menolaknya dan pada masa dinasti Abbasiyyah Abu Ja'far al-Mansur pernah pula
meminta kedatanganya ke Baghdad
untuk di beri jabatan sebagai seorang hakim, namun beliau menolaknya juga.
Akibat penolakanya itu hingga beliau dipenjarakan sampai beliau meninggal
dunia.
Imam Abu
Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di
pekuburan Khizra. Pada tahun 450 H/ 1066 M, keudian didirikanlah sebuah sekolah
yang diberi nama Jami' Abu Hanifah.[8]
Sepeninggal
Imam Abu Hanifah, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang
cukup banyak. Adapun murid-murid beliau yang berjasa di Madrsah Kufah dan
membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal didunia Islam adalah:
1.
Abu Yusuf Ya'kubibnu Ibrahim
al-Anshory(133-182)
2.
Muhammad ibnu Hasan al-
Syaibani (132-189)
3.
Zufar ibnu Huzail ibnu
al-Kufi (110-158)
4.
Al-Hasan ibnu Ziyad
al-Lu'lu'iy (133-204).
Dari
keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah fikiran Imam Abu Hanifah
adalah Muhammad ibnu Syaibani yang terkenal dengan kitabnya yang berjudul
al-Kutub al-Sittah (enam kitab), diantaranya:
1.
Kitab al- Mabsuth.
2.
Kitab al- Ziyadat.
3.
Kitab al-Jami' al-Shoghir.
4.
Kitab al-Jamik al-Kabir.
5.
Kitab al- Syair al- Shagir.
6.
Kitab al-Syair al-Kabir.[9]
Disamping
itu muridnya yang bernama Abu Yusuf yang menjadi al-Qadhy al-Qudhat di zaman
khilafah Harun al-Rusyid menulis kitab "al-Kharaj" yang membahas
tentang hukum yang berhubungan dengan tanah.
Dengan
karya-karya tersebut Imam Aabu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh besar dalam
dunia Islam, khususnya umat Islam yang beralirkan sunny. Para
pengikutnya tersebar diperbagai dunia Iislam, seperti di Irak, Turki, Asia Tengah ,
Pakistan , Tunisia , Turkistan , Syiria, Mesir dan Libanon. Mazhab Hanafi pada
masa khilafah Bani Abbasiyah merupakan mazhab yang banyak dianut oleh orang
Islam dan pada pemerintahan Usmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi negara.
Sekarang mazhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di samping mazhab Syafi'i.
[10]
Dalam persoalan karya-karya Imam Abu Hanifah,
para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan Imam Abu Hanifah semasa
hidupnya tidak menghasilkan satu karya kitab apapun, namun yang ada adalah
merupakan hasil penukilan murid-muridnya yang dibentuk dalam sebuah buku, juga
ada yang mengatakan telah menghasilkan karya-karya kitab.
Namun yang
jelas, penyusun tidak menemukan satu kitabpun dalam bidang fiqih yang telah di
terbitkan bab-babnya oleh Imam Abu Hanifah sendiri. Hal ini adalah wajar karena
dimasa Imam Abu Hanifah belum berkembang usaha pembukuan. Diwaktu usaha
pembukuan telah berkembang, Imam Abu Hanifah telah berumur lanjut, ada riwayat
yang mengatakan, bahwa murid-murid Imam Abu Hanifah yang membukukan
fatwa-fatwanya . Dan kadang-kadang catatan- catatan itu diteliti kembali oleh
Imam Abu Hanifah untuk diadakan perbaikan mana yang dianggap perlu.
Apabila
dikatakan Imam Abu Hanifah adalah permulaan orang yang menulis kitab, maka
maknanya adalah: murid-murid Imam Abu Hanifah membukukan fatwa-fatwa Imam Abu
Hanifah di bawah penelitian Abu Hanifah sendiri.
Akan tetapi
walaupun Imam Abu Hanifah tidak
mempunyai kitab yang dapat kita katakan hasil karyanya sendiri, namun para ulama sepakat mengatakan Imam Abu Hanifah mempunyai
kitab musnad yang mengandung hadist yang diriwayatkan kepadanya.
Namun Jamil
Ahmad dalam bukunya Hundred Great Moslim's mengemukakan, bahwa Imam Abu Hanifah
meninggalkan tiga karya besar yaitu fiqih akbar al-'Alim wa al-Muta'alim dan
Musnad Fiqh Akbar.[11]
Disamping itu Imam Abu Hanifah membentuk badan yang terdiri dari tokoh-tokoh
cendikiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan
dan menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulisan dan mengalihkan syari'at Islam
kedalam undang-undang.
Mengenai
kitab fiqih akbar dan Alim al-Muta'lim telah di syarahkan oleh beberapa ahli
ilmu diantaranya, Mula Ali al-Kari. Akan tetapi para ulama tidak sependapat
dalam menetapkan apakah benar kedua kitab tersebut adalah ciptaan dan karya Imam
Abu Hanifah sendiri atau karya murid-muridnya.
Sedangkan
dalam Islam buku fiqih imam mazhab disebutkan diantara kitab-kitab Imam Abu
Hanifah: Al-Musuan (kitab hadist dikumpulkan oleh muridnya), al- Makharij (Buku
ini dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan Fiqh
Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Namun yang
jelas Imam Abu Hanifah adalah seorang pakar ilmu, terutama dibidang ilmu fiqh
yang banyak mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam teori-teori fiqh dan
penetapan hukum fiqhiyah yang diikuti oleh banyak orang untuk dijadikan panutan
mazhab.
Imam Abu
Hanifah hidup pada dua masa yaitu pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti
Abbasiyah. Alih kekuasaan dari Umayah ke Abbassiyah yang naik tahta terjadi di
Kuffah sebagai ibukota Abbassiyah sebelum pindah ke Baghdad . Kemudian Baghdad dibangun oleh
khalifah kedua dari Dinasti Abbassiyah yaitu Abu Ja'far al-Mansur (754-775),
sebagai ibukota kerajaan tahun 762 M.
Kota
Bashrah dan Kuffah di Irak banyak menghasilkan ilmuan dalam berbagai bidang:
seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, fiqh, hadits, dan tasawuf. Kedua kota
bersejaran ini mewarnai intelektual pemikiran Imam Abu Hanifah di tengah berlangsungnya
proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional antara
Arab Utara, Arab Selatan dan Persi.
Imam Abu
Hanifah dikenal sebagai ulama ahli ra'yii. Dalam menetapkan hukum Islam,
baik yang diistimbatkan al-Qur'an maupun al-Hadits, beliau banyak menggunakan
nalar. Beliau mengutamakan ra'yi dari khobar ahad. Apabila terdapat hadits yang
bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qias dan istihsan.
B.
Pola Pemikiran dan Metode Istimbat Imam Abu Hanifah
Refleksi
dari kehidupan dan pengaruh masyarakat adalah faktor yang pada ahirnya
membentuk pemikiran dan madzhabnya Imam Abu Hanifah.[12]
Imam Abu
Hanifah belum ada penjelasan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara
terinci tetapi metode istimbat hukumnya Imam Abu Hanifah bisa di baca dari
pernyataan beliau da bawah ini.
أ نّىآ خذ بكتا ب ا لله تعا لى إ
ذ ا و جد ته، فما لم أ جد فبلسّنة ر سو ل ا لله صلىّ ا لله عليه و سلّم و ا لآ ثا
ر ا لصحّا ح فى أ يد ى ا لثقا ت،فإ ن لم أ جد فى كتا ب ا لله تعا لى و لا سنة
ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلّم ا خذ
ت بقول ا صحا به:آخذ بقو ل من شئت منهم و
ا د ع قو ل من شئت منهم و لا ا خر ج من قو لهم إنى قو ل غير هم فأ مّا إ ذاا نتهى
ا لأ مر، أو جأ إلى إبر ا هيم ا لنخعى ، و ا شعبى و ا بن سير ين ، و ا لحسن و ا
لعطا ء و سعيد بن ا لمسيّب ~ و عد د ر جا لا ~ فقو م ا جتهد و ا كما ا جتهد و ا فلى ا ن أ جتهد كما ا جتهد و ا[13]
"Sesungguhnya
saya mengambil kitab suci al-Qur'an dalam menetapkan hukum, apabila tidak
didapatkan dalam al-Qur'an maka saya mengambil sunah Rasul yang shahih dan
tersiar dikalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari
keduanya, maka saya mengambil pendapat para sahabat terpercaya yang saya
kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan
tersebut sampai pada Ibrahim as-Sya'bi, Hasan Ibnu Sina dan said Ibnu Musayyad,
maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka."
Dari
keterangan di atas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau
menetapkan hukum syara' yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qot'i dalam
al-Qur'an atau Hadits yang diragukan kesohihannya, maka menggunakan ro'yi. Perkataan
para sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Imam Abu Hanifah,
karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rosul serta
generasinya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan tentang agamanya akan
lebih falit, karena lebih tahu tentang keadaan di masa Rosul. Oleh karena itu
menurut Imam Abu Hanifah pernyataan mereka dapat di kutip guna kehidupan
masyarakat. Imam Abu Hanifah berpegang pada qiyas, apabila dalam al-Qur'an
maupun as-Sunah belum beliau temukan. Dan apabila tidak bisa ditetapkan
berdasarkan qiyas, maka beliau berepegang kepada istihsan selama itu dapat
dilakukan. Ia sangat selektif dalam menerima hadits. Imam Abu Hanifah
memperhatikan muamalat manusia, adat istiadat serta kebiasaan mereka.[14]
Hal inilah
yang menyebabkan perbedaan perkembangan pemikiran hukum di Kuffah (Irak) dengan
di Madinah (Hijjas). Ulama di Madinah banyak menggunakan sunah dalam
menyelesaiakan problema-problema yang muncul dalam masyarakat. Sedangkan di
Kuffah sunahnya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan
hadits, sehingga Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits, dan
karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan
ro'yi.
Menurut
Subhy Mahmasany, pengetahuan Imam Abu Hanifah yang mendalam dalam ilmu hukum (fiqih)
dan profesinya sebagai saudagar, memberi peluang untuk memperlihatkan
hubungan-hubunga hukum cara praktis. Kedua faktor inilah yang menyababkan
keahlianya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam penerapan
hukum syari'ah dengan qiyas dan istihsan. Karena itulah mazhab Hanafi terkenal
dengan sebutan ahli ra'yi.[15]
Dari
keterangan diatas dapat diambil pemahaman bahwa dasar Imam Abu Hanifah dalam
mengistimbatkan hukum adalah:
1.
Kitabullah (al-Qur'an)
2.Sunnah
Rasulullah dan atsar-atsaryang shahih serta telah masyhur (tersiar) diantara
ulam ahli.
3. Fatwa
para sahabat.
4. Qiyas.
5.
Istihsan.
6. Adat
yang berlaku di masyarakat.[16]
C.
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Zina dan Had Zina
Menurut Imam Abu Hanifah zina adalah
hubungan kelamin antara laki- laki dan perempuan secara sadar dan disertai
nafsu seksual dan di antara keduanya belum atau tidak ada ikatan perkawinan.[17] .
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa had
bagi pelaku zina adalah seratus kali dera dengan syarat adanya empat orang
saksi.
[1].
Al-Hudari Bik, Tarkh at-Tasyri' al-Islam, (Surabaya : al-Hidayah, tt), hlm230. Lihat juga
: M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm. 184-185. Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar, (Jakarta:
Darul Ulum. 1993). Hlm. 131. Bandingkan dengan Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Mazhab, cet.1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 95.
[2].
Al-Hudari Bik, Tarkh at-Tasyri' al-Islam, (Surabaya : al-Hidayah, tt), hlm230. Lihat juga
: M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm. 184-185. Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar,
(Jakarta: Darul Ulum. 1993). Hlm. 129.
[3]. M.Ali
Hasan, Perbandingan….hlm. 184.lihat juga. Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar,
(Jakarta: Darul Ulum. 1993). Hlm. 127.
[4] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet.1. (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), hlm. 95.
[5] Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. Afif M.Idrus
al-Kaff, ( Jakarta: Lentera Basritama, 1996), hlm. 24.
[6] Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. Afif M.Idrus
al-Kaff, ( Jakarta: Lentera Basritama, 1996), hlm. 25.
[7] Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. Afif M.Idrus
al-Kaff, ( Jakarta: Lentera Basritama, 1996), hlm. 25.
[8]
Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar, (Jakarta: Darul Ulum. 1993).
Hlm. 132.
[9]
Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar, (Jakarta: Darul Ulum. 1993).
Hlm. 130.
[10] 'Abdul
Qadir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzab. Diterj. Zeid Husein Al- Hamid dan
M. Hasanudin,(Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa. 1994), hlm. 4 . Lihat
juga di Subhi Mahmasany, al-Tasyri Fi al-Islam,alih bahasa.Ahmad
Sudjono, (Bandung: al-Ma'arif, 1976), hlm. 6.
[11]
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet.1. (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 104.
[12]
Farouk Abu Zaid, Hukum Islam :Antara Tradisionalis dan Modernis, Terj.
Husein Muhammad. Cet. 1, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 10.
[13] Al-
Khotib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, di kutib dari Muhammad Musa , al-
Ijtihad Wa Mada Hajatuna Ilaihi Fi Haza al- Asr,(Mmesir: Dar al-Kutub al-
Hadist,1972). Hlm.60.
[14] M. Ali
Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 188-194.
[15]
Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar, (Jakarta: Darul Ulum. 1993).
Hlm. 127.
[16] Hasbi
Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam Membina Hukum
Islam.Jjilid.1.(Jakarta :
Bulan Bintang,tt,).hlm 137.
[17] Topo
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung : Asy-Syamil Press dan
Grafika, 2001), hlm. 197.
0 Response to "Makalah Biografi Imam Abu Hanifah dan Pemikirannya"
Post a Comment