Makalah Larangan Kawin Ngalor Ngulon dalam Pandangan Islam
Kenapa menikah ngalor ngulon tidak boleh? Kenapa nikah ngalor ngulon tidak boleh?
Praktek Kawin “ngalor-ngulon”
di Desa Tulas kec. Karangdowo Kab. Klaten.
1.
Pengertian kawin “ngalor-ngulon”
Praktek adalah menjalankan pekerjaan atau cara
melakukan apa yang tersebut dalam teori.[1]
Sedangkan kawin adalah perjanjian laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri
(secara resmi).[2]
Adapun pengertian “ngalor-ngulon” adalah
arah yang mengacu antara arah barat laut dengan timur tenggara. Lebih jelasnya
penyusun gambarkan arah mata angin dengan komposisi sebagai berikut :
Jadi yang dimaksud praktek kawin “ngalor-ngulon”
adalah pelaksanaan perjanjian laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri
secara resmi yang mana rumah pengantin laki-laki berada pada sudut timur
tenggara (kidul etan) dan pengantin perempuan bertempat tinggal di sudut
barat laut. Sebagai contoh adalah Bapak Syamsudin yang bertempat tinggal di
sudut timur tenggara telah melangsungkan perkawinan dengan Ibu Tugini yang
bertempat tinggal di sudut barat laut. Bahwa orang tuanya calon suami telah
meninggal menjelang dilangsungkan perkawinannya.[3]
Pengertian lain yang sampai sekarang masih
menjadi larangan adat masyarakat Desa Tulas yang identik dengan kawin
“ngalor-ngulon” adalah :
a) Kawin “Siji Telu”
“Siji Telu” adalah merupakan istilah
orang-orang Jawa terdahulu yaitu para sesepuh masyarakat Tulas yang berarti
suatu larangan untuk melakukan perkawinan antara anak “mbarep” (anak
pertama) dengan anak “ketelu” (anak ketiga), baik calon suami atau calon
istri yang “mbarep” atau yang nomer “telu”. Hal ini juga tidak
diperbolehkan karena akan terjadi kehancuran yang akan diterima dari perkawinan
tersebut.
b) Kawin “ksatrian wirang”
“Ksatrian “ berarti ksatria dan “wirang”
berarti malu atau aib. Jadi kain “ksatrian wirang” adalah seorang
ksatria yang mendapat aib karena melakukan perkawinan yang mana tempat
tinggalnya mempunyai arah “ngidul ngulon” (barat daya).[4]
Kawin “ksatrian wirang” ini merupakan
pantangan bagi masyarakat Tulas. Bukan larangan karena implikasi dari kawin “ksatrian
wirang” ini bukan mendatangkan musibah akan tetapi hanya sekedar aib yang
menimpa pelaku. Aib ini bisa datang cepat maupun lambat. Akan tetapi biasanya
aib menimpa pelaku menjelang akan dilangsungkannya perkawinan.
c) Kawin “Tulas Soko”
“Tulas” adalah desa dimana dijadikan
obyek penelitian penyusun. Sedangkan “Soko” adalah desa yang juga masih
satu kecamatan dan terletak di arah timur tenggara arah desa Tulas.
Kawin “Tulas Soko” ini dilarang karena
pada jaman dahulu terjadi peperangan antara masyarakat Tulas dan masyarakat
Soko dimana kedua belah pihak banyak yang mati dan setelah peperangan berakhir
para sesepuh Tulas memberi petuah kepada generasi muda untuk tidak menikah
dengan masyarakat Soko. Sedangkan para sesepuh Tulas pada jaman dahulu
kebanyakan seorang pertapa dan petuah para pertapa dianggap sakral oleh para
masyarakat Tulas. Sehingga masyarakat segan untuk mencari kekasih dengan
masyarakat Soko.[5]
2.
Sejarah Timbulnya Larangan Adat Kawin
“Ngalor-Ngulon”
Sebelum membahas tata cara terhadap pelaksanaan
kawin “ngalor- ngulon” terlebih dahulu penulis mengemukakan tentang
sejarah singkat awal mula datangnya agama Islam di Desa Tulas Kecamatan
Karangdowo Kabupaten Klaten.
Islam masuk pertama kali di Desa Tulas adalah
melalui para wali seperti halnya Islam masuk wilayah Jawa. Para wali tersebut
pertama kalinya menginjakkan kakinya di Dukuh Tulas (wilayah Tulas bagian
tengah), kurang lebih tahun 1923 M.[6]
Hal ini ditandai dengan adanya masjid “Tiban”[7]
yang sudah sangat kuno. Masjid Tiban ini di depannya terdapat batu besar yang
tinggal separo yang seolah-olah dijadikan keset, kubahnya sangat antik yaitu
terbuat dari tanah dan berbentuk “klenteng”,[8]
akan tetapi sekitar 15 tahun terakhir masjid Tiban ini tidak digunakan untuk
ibadah.
Masjid Tiban inilah satu-satunya masjid yang
ada di Tulas dan merupakan pusat dakwah agama Islam pada saat itu. Masyarakat
saat itu masih berpegang teguh pada adat atau tradisi. Pengaruh Islam yang
datang kemudian sudah barang tentu tidak begitu saja diterima oleh masyarakat
Tulas. Akan tetapi Islam disebarkan secara perlahan-lahan namun pasti dan Islam
tidak menjadi asing lagi bagi masyarakat Tulas. Hingga pada pertengahan tahun
1946 selepas kemerdekaan bangsa Indonesia Islam semakin kuat diyakini dan
ditaati sebagai agama yang benar di dalam masyarakat Tulas.[9]
Metode yang diterapkan para wali saat itu
adalah memasukkan hukum Islam tanpa menafikan tatanan adat yang sudah berlaku
sebelumnya. Adat jawa yang sudah mendarah daging tidak mudah hilang begitu
saja. Yang bisa menerima ajaran Islam sepenuhnya hanya beberapa orang saja,
yaitu orang- orang yang mempunyai kedekatan dengan wali saat itu.[10]
Baru menjelang tahun 60-an Islam dirasakan
berkembang dengan pesat dan ditaati oleh masyarakat Tulas. Semua ini berkat
kegigihan para ulama menanamkan syariat Islam dalam kehidupan sehari hari yang
pada akhirnya nanti mempengaruhi praktek kawin “ngalor-ngulon”.
Masyarakat dulunya meyakini bahwasannya ada
rintangan dan menganggap “angker” terhadap arah “ngalor-ngulon”.
Pada arah tersebut menurut orang-orang dahulu (sesepuh) adalah angker dan bisa
diketahui keangkerannya hanya oleh orang-orang tertentu.[11]
Alasan yang diketahui secara mendasar dari
jaman dulu hingga sekarang adalah bahwa “ngalor-ngulon” adalah segoro geteh.
Terhadap alasan “ngalor-ngulon” itu diyakini
adanya sesuatu yang angker yang disebut “segoro geteh” (lautan api).
Melakukan kawin “ngalor-ngulon” berarti menyeberangi segoro getih, maka
akan menuai “nerake ing wewaler” (panen bencana).[12]
Karena lautan adalah luas yang tiada batas sedangkan darah adalah suatu zat
yang dapat melambangkan sesuatu bencana yang sangat pedih. Jadi dengan kata
lain apabila seseorang melakukan kawin “ngalor-ngulon” berarti akan mengalami
musibah yang sangat menyakitkan, musibah itu bisa menimpa pelaku maupun orang
tua pelaku.
Keyakinan ini muncul atau ada secara turun
temurun semenjak Islam berbaur dan tersebar karena adanya peradaban jawa saat
itu yang sampai generasi sekarang mengartikan itu adalah petuah ataupun tradisi
orang-orang tua yang tak mungkin
dilanggarnya.[13]
Berbicara lebih lanjut mengenai praktek kawin
“ngalor-ngulon” yang terjadi pada masyarakat Tulas adalah dulunya merupakan
sebuah larangan yang muncul akibat adanya budaya masyarakat yang sangat erat
hubungannya tingkah laku orang dalam ikatan sebuah masyarakat yang mengumpul
menjadi sebuah hukum adat. Yang dalam hal ini menjadi larangan adat kawin
“ngalor-ngulon”.
Di sisi lain ada yang beranggapan bahwa
peraturan larangan adat kawin “ngalor-ngulon” ada karena adanya
peristiwa-peristiwa kawin “ngalor-ngulon” yang ternyata sering kali menimbulkan
musibah baik secara cepat maupun lambat laun. Kemudian masyarakat Tulas
menyimpulkan pada sebuah adat larangan kawin “ngalor-ngulon” dan terbentuk
secara turun temurun.[14]
Bahwa orang-orang dahulu yang melakukan
larangan kawin ini mendapatkan musibah yang menyebabkan ketidakteraturan rumah
tangga mereka. . akan tetapi sekitar sepuluh tahun terakhir semakin banyak
pelaku kawin ngalor-ngulon yang tetap harmonis dan terhindar dari rasa
was-was.
3.
Pelaksanaan kawin “ngalor-ngulon” di Desa Tulas
Berdasarkan perkembangan jaman yang semakin
maju dan agama Islam yang semakin kuat dianut oleh masyarakat Tulas serta
adanya kontak dengan kebudayaan lain maka larangan kawin “ngalor-ngulon” yang
ditaati oleh masyarakat Tulas selama bertahun-tahun, sekarang berubah mulai
berubah seiring bergesernya waktu.
Terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat Tulas di antara langkah-langkah yang pernah ditempuh
dalam rangka untuk menghindari petaka tersebut adalah sebagai berikut :
a) Pati geni
“Pati” adalah mati dalam hal ini adalah tidak
nyata. Sedangkan geni adalah api, jadi yang dimaksud pati geni
adalah calon mertua laki-laki tidak diperbolehkan menyalakan api untuk memasak,
yang mana masakan itu dihidangkan para tamu maupun tetangga dalam rangka
merayakan pesta perkawinan anaknya. Dengan adanya “pati geni” maka perkawinan
dirayakan di rumah calon pengantin perempuan, sehingga arah tidak lagi
“ngalor-ngulon” akan tetapi “ngidul-ngetan” ( ke arah timur tenggara).
Pati geni merupakan cara yang pernah ditempuh
oleh masyarakat Tulas. Cara semacam ini pernah dilakukan oleh ibu Mulsemi
terhadap anaknya Wagino (calon suami) dan Giyani (calon istri).[15]
b) “Disangkani”
Istilah disangkani adalah salah satu
cara yang ditempuh guna menyiasati agar tetap dilaksanakan suatu pernikahan
dengan harapan terhindar dari malapetaka yang akan menimpa rumah tangganya,
sehingga dapat dicapai tujuan dari perkawinan yang selayaknya dalam Islam.
“Disangkani” secara bahasa dapat dipahami
dengan memindahkan arah yang tadinya “ngalor-ngulon” arah tempat tinggalnya
menjadi lain arah, dengan jalan seorang laki-laki yang akan melamar seorang
perempuan yang menjadi pilihannya kebetulan “ngalor-ngulon” maka pasangan
laki-laki tersebut mencari jalur yang tidak mempunyai arah “ngalor-ngulon”saat
melamar.[16]
Cara semacam ini pernah ditempuh oleh salah
satu warga masyarakat yang bernama bapak Gunawan dengan ibu Surip. Hal ini
ditempuh karena kedua pasangan terlanjur saling mencintai, sampai akhirnya
memutuskan untuk melanjutkan menuju jenjang pernikahan.
c) Nemu
Nemu juga
termasuk salah satu cara yang pernah ditempuh untuk menyiasati arah dimana
seorang dilarang untuk melakukan sebuah perkawinan.
Nemu adalah
calon pengantin laki-laki diusir dari rumah orang tuanya tanpa dikasih bekal
apapun kecuali pakaian yang dikenakannya. Kemudian laki-laki tersebut ditemukan
oleh orang lain dan diserahkan kepada orang tua pihak calon perempuan.
Dengan adanya pembuangan anak maka status
antara orang tua dan anak sudah tidak ada lagi. Dalam hal ini adalah anak sudah
terputus dari arah “ngalor-ngulon” karena pada dasarnya dengan adanya nemu
calon pengantin laki-laki seakan-akan tidak mempunyai tempat tinggal.[17]
Adapun arah tempat tinggal ditentukan dari arah orang yang nemu.
Hal ini pernah dilakukan oleh penduduk yang
bernama Sutarman dengan calon istrinya yang bernama Purwanti. Disisi lain
Sutarman juga menempuh pati geni sehingga akad nikah bisa dilaksanakan
dengan baik.[18]
Dari cara-cara yang ditempuh diatas, dengan kehendak
Tuhan keluarga tersebut terlepas dari petaka dan musibah yang mengancam
pernikahannya.
d) ”Ngeser papan”
”Ngeser” berarti memindah. Sedangkan papan
berarti tempat, dalam hal ini adalah rumah tempat tinggal. Jadi yang dimaksud
“ngeser papan” adalah memindah letak posisi rumah pengantin laki-laki yang
semula “ngalor-ngulon” menjadi arah selain itu untuk memperoleh kebolehan dan
keselamatan dalam melakukan suatu perkawinan pada calon istri maupun calon
suami. Akan tetapi cara ini belum pernah dilakukan oleh warga masyarakat Tulas[19]
mengingat banyaknya waktu dan biaya untuk memindah tempat.
B.
Implikasi Praktek Kawin “ngalor-ngulon” Terhadap
Kehidupan Rumah Tangga.
Salah
satu bentuk tradisi adat yang ada dalam kehidupan masyarakat tulas adalah
aturan perkawinan, yaitu larangan mengadakan ikatan perkawinan yang disebut
dengan istilah larangan adat kawin "ngalor-ngulon", jika larangan ini
dilangar, maka akan terjasdi musibah sebagaiman penyusun jelaskan pada bab
sebelumnya.
Setiap
sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini pasti akan membawa dampak, baik secara
langsung maupun tidak langsung, baik positif maupun negatif. Dalam hukum alam disebut dengan sebab akibat.
Demikian pula dengan terjadinya kawin "ngalor-ngulon" akan mempunyai
dampak, baik positif maupun negatif . Realita membuktikan bahwa kawin
"ngalor-ngulon" lebih banyak berdampak positif bagi kehidupan suatu
rumah tangga, dengan kata lain, adanya kecenderungan tidak terdapat musibah
sebagaimana yang diyakini oleh para sesepuh masyarakat Tulas.
Untuk
mengukur ada tidaknya suatu musibah atau bencana, penyusun kemukakan tiga
kriteria sebagai patokan, yaitu :
1) Melakukan atau mengalami Kawin
"ngalor-ngulon" (Melanggar Larang Adat).
2) Adanya Musibah atau bencana terhadap kehidupan
Rumah tangga setelah melakukan kawin "ngalor-ngulon".
3) Adanya pengakuan bahwa bencana atau musibah itu
ada atau sebagai akibat dari kawin "ngalor-ngulon".
Dari
hasil penelitian, penyusun mendapatkan 10 (Sepuluh) orang pelaku kawin
"ngalor-ngulon", dengan ketentuan
8 (Delapan) Pasangan tidak mendapatkan musibah dan 2 (Dua) pasangan
mendapat musibah, yaitu pasangan bapak Sutarman dengan Ibu Purwanti yang hingga
penyusun wawancarai belum dikaruniai keturunan dan pasangan Bapak Syamsuddin
dengan Ibu Tugini yang orang tuanya
meninggal dunia menjelang akan dilangsungkannya kawin
"ngalor-ngulon".
Dari
fenomena-fenomena yang terjadi akibat
pelanggaran terhadap larangan adat kawin "ngalor-ngulon" tidaklah
benar jika kawin "ngalor-ngulon" mendatangkan musibah .
Adapun
pasangan bapak Sutarman dengan ibu Purwanti yang belum dikarunia keturunan,
bukanlah sebagai konsekuensi logis dari kawin "ngalor-ngulon", akan
tetapi setelah penyusun wawancarai dengan lebih mendalam ternyata pihak
laki-laki (Suami) mandul,[20]
hal ini telah diperiksakan ke dokter. Sedangkan bencana kematian ayahnya bapak
Syamsuddin menjelang akan dilangsungkannya perkawinan ternyata disebabkan oleh
penyakit batuk atau asma yang telah kronis, sementara orang tua tersebut tidak
mau berhenti merokok hingga datang ajalnya.[21]
Jadi implikasi kawin
"ngalor-ngulon" terhadap kehidupan rumah tangga yang berupa musibah
atau bencana yang kemudian menyebabkan ketidakharmonisan suatu rumah tangga
tidaklah ada/benar.
[1]
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahas Indonesia, cet. ke-5 (Jakarta:
Balai Pustaka, 1976 ), hlm. 767.
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet.
ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989 ), hlm. 614.
[3]
Wawancara Dengan Bp. Syamsidin, Pelaku, Tgl 06 Februari 2004.
[4]
Wawancara Dengan Bp. Giyatno, pelaku kawin Ksatrian wirang,Tgl.10 Februart
2004.
[5]
Wawancara Dengan Bp. Supriyanto, Tokoh Masyarakat Tulas, Tgl.11 Februari 2004.
[6]
Wawancara Denagan Bp. Saiful bahri, Tokoh Masyarakat Tulas, Tgl. 11 Februari
2004.
[7]
Masjid Tiban adalah Masjid yang tidak diketahui kapan dan siapa yang
membangunnya
[8]
Klenteng adalah semacam tempayan yang terbuat dari tanah dan berbentuk bulat dengan permukaan bulat
kecil.
[9]
Wawancara Dengan Bp. Giman Pjs. Kepala Desa Tulas, Tgl. 12 Februari 2004.
[10]
Wawancara Dengan Bp. Tri Harjanto, Ketua Organisasi NU Desa Tulas, Tgl 14
Februari 2004.
[11]
Wawancara Dengan Mbah Yoso Mukirin, Sesepuh Desa Tulas, Tgl.15 Februari 2004.
[12]
Wawancara Dengan Mbah Wito Hartono, Sesepuh Desa Tulas, Tgl.13 Februari 2004.
[13]
Wawancara Dengan Bp. Suhardi, Tokoh Masyarakat, Tgl. 12 Februari 2004.
[14]
Wawancara Dengan Mbah Prakto Lugino, sesepuh Desa Tulas, Tgl.14 Februari 2004.
[15]
Wawancara Dengan Ibu Mul Semi, Orang tua pelaku kawin “ngalor-gulon”, tgl. 15
Februari 2004.
[16]
Wawancara Dengan Ibu Wito Sapar, Orang Tua pelaku kawin “ngalor-ngulon”,
Tgl 16 Februari 2004.
[17]
Wawancara DenagnBp. Diro Mulyono, Orang tua pelaku kawin “ngaor-ngulon”, Tgl.
05 Februari 2004.
[18]
Wawancara Dengan Bp. Sutarman, Pelaku kawin “ngalor-ngulon”, Tgl. 05 Februari
2004.
[19]
Wawancara Dengan Mbah Yoso Mukirin, sesepuh Desa Tulas, Tgl. 11 Februari 2004.
0 Response to "Makalah Larangan Kawin Ngalor Ngulon dalam Pandangan Islam"
Post a Comment