Image1

Makalah Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam

Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam|
TINJAUAN  UMUM TENTANG PAJAK DAN ZAKAT
A.    Pajak
1.      Pengertian Pajak
Pajak dalam bahasa Arab disebut D{ari<bah. Kata tersebut berasal dari kata ضرب  dan kata الضريبة  merupakan turunan dari kalimat ضرب عليه الغرامة  (ditimpakan atasnya hutang) atau الخراج (pajak tanah). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata الضربة  adalah sesuatu yang   menjadi beban yang harus dibayar.[1]
Terdapat berbagai ragam mengenai defenisi pajak dikalangan para sarjana ahli dibidang perpajakan.
Adriani, mendefinisikan pajak sebagai berikut :
Pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah.[2]
Soeparman Soemahamidjaya (dalam disertasinya yang berjudul: "Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong") memberikan definisinya sebagai berikut :
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[3]
Sedangkan Rochmat Soemitro, memberikan definisi pajak sebagai berikut :
"Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan"[4]
Pajak, menurut definisi para ahli keuangan, ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, social, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.[5]
Definisi yang sering dipakai adalah; pungutan oleh negara terhadap orang atau badan hukum yang dilakukan berdasarkan undang-undang. Sedangkan menurut pakar ekonomi kontemporer mendefinisikan pajak; sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.[6]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, maka unsur-unsur yang terdapat dalam definisi tersebut adalah :
a.    Bahwa pajak itu suatu iuran, atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara.
b.   Penyerahan iuran itu bersifat wajib.
c.    Penyerahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.
d.   Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi).
e.    Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat.[7]
f.    Pajak adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan negara.[8]
2.      Asas Teori Wajib Pajak
a.    Teori Perjanjian
Para filosof abad ke-19 berpendapat, bahwa pajak diwajibkan atas dasar hubungan timbal-balik negara dengan anggota masyarakat.[9]
Di antara penganut teori ini yaitu; Mirabau, Adam Smith, Montesque dan Hobes.
Adam Smith berkata :
Perjanjian ini berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan. Negara memberikan berbagai pelayanan bagi warganya, maka warga negara membayar pajak kepada negara sebagai imbalan atas pekerjaan-pekerjaannya.[10]
Sedangkan Montesque dan Hobes mengatakan :
"perjanjian ini berbentuk jaminan keamanan. Dengan demikian pajak adalah bagian harta yang wajib diserahkan oleh pemilik kekayaan untuk melindungi keamanan hartanya."[11]
Banyak yang tidak setuju dengan teori perjanjian ini, karena mempunyai beberapa kelemahan pertama, dengan teori ini tugas negara terbatas yaitu hanya menjaga atau memelihara keamanan saja. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi negara yang sebenarnya. Kedua perjanjian keamanan itu menyebabkan rakyat yang dijamin keamanannya memikul beban kerugian, karena negara tidak dapat menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh suatu bahaya yang menimpa rakyat.[12]
b.   Teori Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara ini muncul menggantikan teori pertama di atas, karena perjanjian tidak dapat dijadikan asas pajak. Teori ini berpandangan bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, terutama untuk kepentingan umum.
Dalam menjalankan fungsinya, negara membutuhkan biaya, maka negara mempunyai hak untuk mewajibkan penduduknya atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing warganya, atas dasar prinsip "pembelaan sosial" yang digunakan oleh golongan politik modern.[13]
B.     Zakat
1.      Sejarah disyari'atkannya Zakat
Ajaran zakat bukanlah milik Islam semata karena syari'at zakat sudah ada pada agama-agama samawi sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw.
وجعلنهم أئمةيهدون بأمرناوأوحيناإليهم فعل الخيرت وإقام الصلوة وإيتاءالزكوة وكانوا لناعبدين.[14]
Enam abad sebelum datangnya Islam yaitu pada zaman Nabi Isa as. ajaran zakat sudah disyariatkan, sebagaimana firman Allah swt.
وأوصنىبالصلوة والزكوة مادمت حيا.[15]
Muhammad saw. turun ketika umat manusia dalam keadaan yang sangat memprihatinkan yaitu penindasan manusia atas manusia, pemegang kekuasaan memperlakukan rakyatnya dengan semena-mena. Pemegang kekuasaan cenderung mengklaim bahwa rakyat itu miliknya, yang boleh diperlakukan dengan cara dan untuk tujuan apa saja yang ia suka.
Untuk memberikan legitimasi pada klaimnya, para penguasa kala itu membangun mitos-mitos yang menerangkan seolah kekuasaan yang dipegang diterima langsung dari Tuhan, dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang juga digariskan oleh Tuhan. Rakyat selaku budak kekuasaan harus loyal kepada pihak yang berkuasa. Sebagai konsekuensi ekonomis kesetiaan rakyat diukur dengan materi dengan bukti konkrit bersedia menyisihkan apa yang mereka miliki bagi kepentingan penguasa itu sendiri. Dalam sejarah kekuasaan raja-raja di kepulauan Nusantara, konsekuensi ekonomis itulah yang dikenal dengan sebutan "upeti".[16]
Upeti sebagaimana halnya sesaji merupakan suatu konsep yang berangkat dari keyakinan bahwa segala sesuatu berpusat pada Tuhan, atau dewa yang maha menentukan. Jika sesuatu yang baik maupun yang buruk berpangkal dari  tuhan / dewa, maka segala sesuatu juga harus diurus langsung dengan tuhan / dewa itu, melalui cara-cara tertentu yang dikenal sebagai doa. Pada mulanya tuhan dan doa merupakan dua perkara yang dipersepsi sebagai bersifat ruhani semata. Tetapi dengan dimaterialisirnya tuhan / dewa yang ruhani serta ghaib, juga dengan dimaterialisirkannya doa oleh manusia. Doa tidak lagi dihayati sebagai momen ruhani, melainkan sudah ditranformasikan  dalam wujud materi yang disebut "sesaji".[17]
Dalam konteks sejarah yang demikian ini Muhammad saw. diutus Tuhan untuk mentransformasikan  kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip keruhanian yang sejati. Menurut Masdar, Islam datang bukan untuk menghapus lembaga "upeti" atau membuat lembaga baru sebagai tandingan atau alternatif, tetapi dengan spirit "zakat" menjadikan lembaga upeti yang membuat kemadlaratan orang banyak dapat ditransformasikan untuk menegakkan kemaslahatan orang banyak.[18] Sehingga kekayaan dan fasilitas tidak hanya beredar di antara kelompok tertentu saja.[19]
Kemunculan "zakat" sebagai ide dan praktik keagamaan, sebetulnya merupakan kritik Islam atas cara penguasa pada zaman Nabi memungut iuran dari rakyatnya. Pada zaman Nabi, praktik pemerasan rakyat oleh penguasa yang despot dan tiran merupakan kenyataan lumrah dan ada di mana-mana. Para raja memungut pajak (dalam nomenklatur klasik Islam disebut sebagai kharaj atau dharibah) secara semena-mena, seolah-olah rakyat tidak sepenuhnya memiliki harta kekayaan sendiri, sebaliknya para raja dan kaum bangsawan yang mempunyai hak atas harta mereka.[20]
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, zakat telah difardukan Allah sejak permulaan Islam,[21] yakni sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Pada awalnya zakat yang disyari'atkan itu tidak disertai dengan ketentuan kadar dan harta-harta yang wajib dizakati. Pada saat itu ketentuan tentang zakat baru dalam bentuk seruan untuk mengeluarkan zakat secara sukarela. Baru setelah tahun kedua Hijriah (623 M), sudah ditentukan jenis harta yang harus dizakati beserta kadar dan ukurannya masing-masing.[22]
Pada waktu itu ketentuan tentang penerima zakat (mustahiq), hanya mengatur tentang zakat yang akan diberikan kepada fuqaha dan masakin (orang fakir dan miskin). Hal ini didasarkan pada ketetapan firman Allah swt.:
إن تبدواالصدقت فنعماهى وإن تخفوهاوتؤتوهاالفقراءفهوخيرلكم.[23]
Ketentuan pembagian zakat kepada orang fakir dan miskin ini, juga diperkuat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ketika Nabi mengutus Muaz| ke Zaman.
عن ابن عبّاس أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم بعث معاذا إلى اليمن    فقال اد عهم إلىا شهادة ان لااله الاّ الله وأنّى رسول الله فاءن هم اطاعوا لذالك فأعلمهم ان الله افترض عليهم خمس صلوات فىكل يوم وليلةفاءنهم أطاعوالذلك فاعلمهم ان الله افترض عليهم صدقةفىاموالهم تؤخذمن اغنيا ئهم وتردعلىفقرائهم.[24]
Ketetapan tentang penerima zakat (mustahiq) secara lengkap, baru diatur pada tahun 9 H. [25]  Hal ini dijelaskan dalam al-Qur'an surat at-Taubah:
إنما الصدقت للفقرآء والمسكين والعملين عليها والمؤلفة قلو بهم وفى الرقاب والغرمين وفى سبيل الله وابن السّبيل فريضة مّن الله.[26]

2.      Pengertian Zakat
Dari segi bahasa (lugawi), zakat merupakan kata dasar (masdar) dari kata زكا - زكء – وزكو .[27] Secara bahasa zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah).[28] Zakat juga bisa berarti suci, sebagaimana firman Allah s.w.t.
قدافلح من زكها[29]
Secara syara' zakat berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta. Definisi zakat menurut mazhab Hanafi yaitu :
"Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari'at karena Allah swt."[30]
Menurut mazhab Syafi'i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tumbuh sesuai dengan cara khusus.[31]
Dalam al-Qur'an zakat disebut juga dengan nama haq,[32] Nafaqah,[33] 'afwa[34] dan sadaqah.[35]
Menurut al-Qarad{awi, syari'at Islam memilih kata zakat untuk mengungkapkan bagian (harta) yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan orang-orang yang berhak lainnya. Kata tersebut juga mengandung maksud untuk menggambarkan keindahan jiwa.[36]  
3.      Asas Teori Wajib Zakat
Menurut al-Qarad{awi terdapat empat asas teori wajib zakat yaitu, pertama teori beban umum, kedua teori khilafah, ketiga teori pembelaan antara individu dan masyarakat dan keempat teori persaudaraan.
a.       Teori beban umum untuk taklif ini didasarkan pada (kekayaan) dan pembebanan berupa kewajiban badan dan harta terhadap hamba adalah hak Allah dalam menguji kualitas pengabdian hamba.[37] Sebagaimana firman Allah swt. berikut ini :
-افحسبتم انماخلقنكم عبثاوأنكم إلينالاترجعون.[38]
-أيحسب الإنسن أنيترك سدى.[39]
-ليجزىالذين أسئوا بما عملوا ويجزى الذين أحسنوبالحسنى[40]
b.      Teori khilafah yaitu bahwa harta adalah milik Allah, manusia hanya diamanahi. Teori ini merujuk pada ayat al-Qur'an berikut ini :
لايملكون مثقال ذرةفىالسموت ولافىالأرض.[41]
Disini manusia ditugasi untuk berproduksi, yakni hanya sebatas mengolah bahan serta mengubah susunan untuk memenuhi kebutuhannya.[42]
c.       Teori perlindungan individu dan masyarakat, yaitu teori tentang peran individu terhadap masyarakat dan sebaliknya. Manusia sebagai mahkluk individu maka dia memerlukan interaksi sosial dalam masyarakat demi kelangsungan hidupnya. Kehidupan individu dalam berbagai aspek, selalu ditopang oleh peran masyarakat. Ketika semakin banyak orang yang memiliki harta kekayaan maka semakin besar peran individu, seperti pemilik tanah, pabrik, perusahaan, dan sebagainya, banyak yang terbantu karenanya.[43]
d.      Teori persaudaraan, yakni saling melindungi antara pribadi dan masyarakat. Dalam persaudaraan tidak didasarkan atas saling menguntungkan atau saling memberi karena dalam persaudaraan terkandung makna kemanusiaan yang bersifat rohaniah.[44]
Dalam Islam persaudaraan meliputi dua hal; 1) persaudaraan atas dasar sama-sama manusia dan; 2) persaudaraan atas dasar sama aqidah.[45] Dalam  persaudaraan terdapat suatu kewajiban yang harus dilakukan yakni saling tolong-menolong antar sesama saudara.









[1]Yusuf Qarad{awi, Hukum Zakat, Alih bahasa Salman Harun dkk, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 1001
[2] Bohari, Pengantar Hukum Pajak, cet. V, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hlm.23
[3] Bohari, Pengantar Hukum Pajak, hlm.24
[4] Ibid.,  hlm. 25
[5] Yusuf Qarad{awi, Hukum Zakat, hlm.999
[6] Gazi Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003), hlm.1
[7] Bohari, Pengantar Hukum Pajak, hlm. 26
[8] Gazi Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, hlm.2
[9] Yusuf Qarad{awi, Hukum Zakat, hlm.1008  
[10] Ibid., hlm. 1008
[11] Ibid., hlm. 1009
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Al-Anbiyaa' (21) : 73
[15] Maryam (19) : 31
[16] Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam, cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm.103-105
[17] Ibid., hlm.105
[18]Ibid., hlm. 111
[19] Al-Hasyr (59) : 7
[21] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. I, (Bandung : Pustaka, 1984), hlm. 40
[22] Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 32
[23] Al-Baqarah (2) : 271
[24] Hussein Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1992), hlm. 94
[25]  Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm. 33
[26] At-Taubah (9) : 60
[27] Ahmad Warson Munawir, Al-munawwir, cet. XIV, (Surabaya:Pustaka Progresif, 1997), hlm. 576
[28] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, alih bahasa Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, cet I, (Bandung : PT. Rosdakarya, 1995), hlm. 82
[29] Asy-Syams (91) : 9
[30] Wahbah az-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, hlm. 83
[31] Ibid., hlm. 84
[32] Al-An'aam (6) :141
[33] At-Taubah (9) : 34
[34] Al-A'raaf (7) : 199
[35] At-Taubah (9) : 104
[36]Yusuf al-Qarad{awi, Fiqh az-Zaka<h Muqa<ranah Li Ahka<miha< wa Falsafatiha< Fi< Dau'i al-Qur'an wa as-Sunnah, (Beirut : Mu'assasah ar-Ri>sa>lah, 1971), II:999
[37]Yusuf al-Qarad{awi, Hukum Zakat , hlm.1010
[38] Al-Mu'minu<n (23) : 115
[39]Al-Qiya>mah (75) : 36
[40] An Najm (53) : 31
[41] Saba' (34) : 22
[42] Yusuf al-Qarad{awi, Hukum Zakat, hlm.1012
[43] Ibid., hlm.1018-1019
[44] Ibid., hlm.1022
[45] Ibid., hlm. 1024

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam"

Post a Comment