Makalah Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam
Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam|
Para filosof abad ke-19 berpendapat, bahwa pajak
diwajibkan atas dasar hubungan timbal-balik negara dengan anggota masyarakat.[9]
TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAN ZAKAT
A. Pajak
1. Pengertian
Pajak
Pajak
dalam bahasa Arab disebut D{ari<bah. Kata tersebut berasal dari kata ضرب dan kata الضريبة
merupakan turunan dari kalimat ضرب عليه الغرامة (ditimpakan atasnya
hutang) atau الخراج
(pajak tanah). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata الضربة adalah sesuatu yang menjadi beban yang harus dibayar.[1]
Terdapat berbagai ragam mengenai
defenisi pajak dikalangan para sarjana ahli dibidang perpajakan.
Adriani, mendefinisikan pajak sebagai
berikut :
Pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak
dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
pemerintah.[2]
Soeparman Soemahamidjaya (dalam
disertasinya yang berjudul: "Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong")
memberikan definisinya sebagai berikut :
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[3]
Sedangkan Rochmat Soemitro, memberikan
definisi pajak sebagai berikut :
"Pajak adalah iuran rakyat kepada
Negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat
ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan"[4]
Pajak, menurut definisi para ahli
keuangan, ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus
disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi
kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, social, politik,
dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.[5]
Definisi yang sering dipakai adalah;
pungutan oleh negara terhadap orang atau badan hukum yang dilakukan berdasarkan
undang-undang. Sedangkan menurut pakar ekonomi kontemporer mendefinisikan
pajak; sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah
atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.[6]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan
di atas, maka unsur-unsur yang terdapat dalam definisi tersebut adalah :
a. Bahwa pajak itu suatu iuran, atau kewajiban menyerahkan
sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara.
b. Penyerahan iuran itu bersifat wajib.
c. Penyerahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau
peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.
d. Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi).
e. Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara untuk membiayai
pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat.[7]
f. Pajak adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan
negara.[8]
2. Asas Teori
Wajib Pajak
a. Teori
Perjanjian
Di
antara penganut teori ini yaitu; Mirabau, Adam Smith, Montesque dan Hobes.
Adam
Smith berkata :
Perjanjian ini
berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan. Negara memberikan berbagai pelayanan
bagi warganya, maka warga negara membayar pajak kepada negara sebagai imbalan
atas pekerjaan-pekerjaannya.[10]
Sedangkan
Montesque dan Hobes mengatakan :
"perjanjian
ini berbentuk jaminan keamanan. Dengan demikian pajak adalah bagian harta yang
wajib diserahkan oleh pemilik kekayaan untuk melindungi keamanan
hartanya."[11]
Banyak
yang tidak setuju dengan teori perjanjian ini, karena mempunyai beberapa
kelemahan pertama, dengan teori ini tugas negara terbatas yaitu hanya menjaga
atau memelihara keamanan saja. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi negara yang
sebenarnya. Kedua perjanjian keamanan itu menyebabkan rakyat yang dijamin
keamanannya memikul beban kerugian, karena negara tidak dapat menanggung
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu bahaya yang menimpa rakyat.[12]
b. Teori
Kedaulatan Negara
Teori
kedaulatan negara ini muncul menggantikan teori pertama di atas, karena
perjanjian tidak dapat dijadikan asas pajak. Teori ini berpandangan bahwa
negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, terutama untuk
kepentingan umum.
Dalam
menjalankan fungsinya, negara membutuhkan biaya, maka negara mempunyai hak
untuk mewajibkan penduduknya atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu
sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing warganya, atas dasar prinsip
"pembelaan sosial" yang digunakan oleh golongan politik modern.[13]
B. Zakat
1. Sejarah
disyari'atkannya Zakat
Ajaran
zakat bukanlah milik Islam semata karena syari'at zakat sudah ada pada
agama-agama samawi sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa Rasulullah
saw.
Enam
abad sebelum datangnya Islam yaitu pada zaman Nabi Isa as. ajaran zakat sudah
disyariatkan, sebagaimana firman Allah swt.
Muhammad
saw. turun ketika umat manusia dalam keadaan yang sangat memprihatinkan yaitu penindasan
manusia atas manusia, pemegang kekuasaan memperlakukan rakyatnya dengan
semena-mena. Pemegang kekuasaan cenderung mengklaim bahwa rakyat itu miliknya,
yang boleh diperlakukan dengan cara dan untuk tujuan apa saja yang ia suka.
Untuk
memberikan legitimasi pada klaimnya, para penguasa kala itu membangun
mitos-mitos yang menerangkan seolah kekuasaan yang dipegang diterima langsung
dari Tuhan, dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang juga digariskan oleh
Tuhan. Rakyat selaku budak kekuasaan harus loyal kepada pihak yang berkuasa.
Sebagai konsekuensi ekonomis kesetiaan rakyat diukur dengan materi dengan bukti
konkrit bersedia menyisihkan apa yang mereka miliki bagi kepentingan penguasa
itu sendiri. Dalam sejarah kekuasaan raja-raja di kepulauan Nusantara,
konsekuensi ekonomis itulah yang dikenal dengan sebutan "upeti".[16]
Upeti
sebagaimana halnya sesaji merupakan suatu konsep yang berangkat dari keyakinan
bahwa segala sesuatu berpusat pada Tuhan, atau dewa yang maha menentukan. Jika
sesuatu yang baik maupun yang buruk berpangkal dari tuhan / dewa, maka segala sesuatu juga harus
diurus langsung dengan tuhan / dewa itu, melalui cara-cara tertentu yang
dikenal sebagai doa. Pada mulanya tuhan dan doa merupakan dua perkara yang
dipersepsi sebagai bersifat ruhani semata. Tetapi dengan dimaterialisirnya
tuhan / dewa yang ruhani serta ghaib, juga dengan dimaterialisirkannya doa oleh
manusia. Doa tidak lagi dihayati sebagai momen ruhani, melainkan sudah
ditranformasikan dalam wujud materi yang
disebut "sesaji".[17]
Dalam
konteks sejarah yang demikian ini Muhammad saw. diutus Tuhan untuk
mentransformasikan kehidupan berdasarkan
prinsip-prinsip keruhanian yang sejati. Menurut Masdar, Islam datang bukan
untuk menghapus lembaga "upeti" atau membuat lembaga baru sebagai
tandingan atau alternatif, tetapi dengan spirit "zakat" menjadikan
lembaga upeti yang membuat kemadlaratan orang banyak dapat
ditransformasikan untuk menegakkan kemaslahatan orang banyak.[18]
Sehingga kekayaan dan fasilitas tidak hanya beredar di antara kelompok tertentu
saja.[19]
Kemunculan
"zakat" sebagai ide dan praktik keagamaan, sebetulnya merupakan
kritik Islam atas cara penguasa pada zaman Nabi memungut iuran dari rakyatnya.
Pada zaman Nabi, praktik pemerasan rakyat oleh penguasa yang despot dan tiran
merupakan kenyataan lumrah dan ada di mana-mana. Para
raja memungut pajak (dalam nomenklatur klasik Islam disebut sebagai kharaj atau
dharibah) secara semena-mena, seolah-olah rakyat tidak sepenuhnya memiliki
harta kekayaan sendiri, sebaliknya para raja dan kaum bangsawan yang mempunyai
hak atas harta mereka.[20]
Dalam
sejarah perkembangan hukum Islam, zakat telah difardukan Allah sejak permulaan
Islam,[21]
yakni sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Pada awalnya zakat yang disyari'atkan itu
tidak disertai dengan ketentuan kadar dan harta-harta yang wajib dizakati. Pada
saat itu ketentuan tentang zakat baru dalam bentuk seruan untuk mengeluarkan
zakat secara sukarela. Baru setelah tahun kedua Hijriah (623 M), sudah
ditentukan jenis harta yang harus dizakati beserta kadar dan ukurannya
masing-masing.[22]
Pada
waktu itu ketentuan tentang penerima zakat (mustahiq), hanya mengatur
tentang zakat yang akan diberikan kepada fuqaha dan masakin
(orang fakir dan miskin). Hal ini didasarkan pada ketetapan firman Allah swt.:
Ketentuan
pembagian zakat kepada orang fakir dan miskin ini, juga diperkuat hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ketika Nabi mengutus Muaz| ke Zaman.
عن ابن عبّاس أنّ النّبىّ صلّى الله
عليه وسلّم بعث معاذا إلى اليمن فقال اد
عهم إلىا شهادة ان لااله الاّ الله وأنّى رسول الله فاءن هم اطاعوا لذالك فأعلمهم ان
الله افترض عليهم خمس صلوات فىكل يوم وليلةفاءنهم أطاعوالذلك فاعلمهم ان الله
افترض عليهم صدقةفىاموالهم تؤخذمن اغنيا ئهم وتردعلىفقرائهم.[24]
Ketetapan
tentang penerima zakat (mustahiq) secara lengkap, baru diatur pada tahun
9 H. [25] Hal ini dijelaskan dalam al-Qur'an surat at-Taubah:
إنما
الصدقت للفقرآء والمسكين والعملين عليها والمؤلفة قلو بهم وفى الرقاب والغرمين وفى
سبيل الله وابن السّبيل فريضة مّن الله.[26]
2. Pengertian
Zakat
Dari
segi bahasa (lugawi), zakat merupakan kata dasar (masdar) dari
kata زكا - زكء – وزكو .[27]
Secara bahasa zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah).[28]
Zakat juga bisa berarti suci, sebagaimana firman Allah s.w.t.
قدافلح
من زكها[29]
Secara
syara' zakat berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta. Definisi zakat menurut mazhab Hanafi yaitu :
"Menjadikan
sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang
khusus, yang ditentukan oleh syari'at karena Allah swt."[30]
Menurut
mazhab Syafi'i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tumbuh
sesuai dengan cara khusus.[31]
Menurut
al-Qarad{awi, syari'at Islam memilih kata zakat untuk mengungkapkan bagian
(harta) yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan orang-orang yang berhak
lainnya. Kata tersebut juga mengandung maksud untuk menggambarkan keindahan
jiwa.[36]
3. Asas Teori
Wajib Zakat
Menurut
al-Qarad{awi terdapat empat asas teori wajib zakat yaitu, pertama teori beban
umum, kedua teori khilafah, ketiga teori pembelaan antara individu dan
masyarakat dan keempat teori persaudaraan.
a. Teori beban
umum untuk taklif ini didasarkan pada (kekayaan) dan pembebanan berupa
kewajiban badan dan harta terhadap hamba adalah hak Allah dalam menguji
kualitas pengabdian hamba.[37]
Sebagaimana firman Allah swt. berikut ini :
-ليجزىالذين
أسئوا بما عملوا ويجزى الذين أحسنوبالحسنى[40]
b. Teori khilafah
yaitu bahwa harta adalah milik Allah, manusia hanya diamanahi. Teori ini
merujuk pada ayat al-Qur'an berikut ini :
Disini manusia
ditugasi untuk berproduksi, yakni hanya sebatas mengolah bahan serta mengubah
susunan untuk memenuhi kebutuhannya.[42]
c. Teori
perlindungan individu dan masyarakat, yaitu teori tentang peran individu terhadap
masyarakat dan sebaliknya. Manusia sebagai mahkluk individu maka dia memerlukan
interaksi sosial dalam masyarakat demi kelangsungan hidupnya. Kehidupan
individu dalam berbagai aspek, selalu ditopang oleh peran masyarakat. Ketika
semakin banyak orang yang memiliki harta kekayaan maka semakin besar peran
individu, seperti pemilik tanah, pabrik, perusahaan, dan sebagainya, banyak
yang terbantu karenanya.[43]
d. Teori
persaudaraan, yakni saling melindungi antara pribadi dan masyarakat. Dalam
persaudaraan tidak didasarkan atas saling menguntungkan atau saling memberi
karena dalam persaudaraan terkandung makna kemanusiaan yang bersifat rohaniah.[44]
Dalam
Islam persaudaraan meliputi dua hal; 1) persaudaraan atas dasar sama-sama
manusia dan; 2) persaudaraan atas dasar sama aqidah.[45]
Dalam persaudaraan terdapat suatu
kewajiban yang harus dilakukan yakni saling tolong-menolong antar sesama
saudara.
[1]Yusuf Qarad{awi, Hukum Zakat,
Alih bahasa Salman Harun dkk, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 1001
[4] Ibid., hlm. 25
[6] Gazi
Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta
: Tiara Wacana, 2003), hlm.1
[16] Masdar
Farid Mas'udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam,
cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm.103-105
[24] Hussein
Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya :
Al-Ikhlas, 1992), hlm. 94
[28] Wahbah
Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, alih bahasa Agus Effendi dan
Bahruddin Fannany, cet I, (Bandung : PT. Rosdakarya, 1995), hlm. 82
[30] Wahbah az-Zuhayly, Zakat
Kajian Berbagai Mazhab, hlm. 83
[36]Yusuf al-Qarad{awi, Fiqh
az-Zaka<h Muqa<ranah Li Ahka<miha< wa Falsafatiha< Fi< Dau'i
al-Qur'an wa as-Sunnah, (Beirut : Mu'assasah ar-Ri>sa>lah, 1971),
II:999
[37]Yusuf al-Qarad{awi, Hukum
Zakat , hlm.1010
0 Response to "Makalah Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam"
Post a Comment