Perilaku Politik Santri di Pondok Pesantren
Perilaku Politik Santri | Definisi Pesantren | Pesantren Adalah |
A. Pesantren: Definisi dan
Tradisi
B. Santri dan Tradisi Politik
di Pesantren
C. Perilaku Politik Santri di
Pondok Pesantren
PESANTREN DAN PERILAKU
POLITIK SANTRI
A. Pesantren: Definisi dan
Tradisi
Pesantren, dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai asrama dan tempat-tempat murid
belajar mengaji.[1]
Menurut suatu team dari Departemen Agama R.I., Pondok Pesantren adalah Lembaga
Pendidikan Islam yang pada umumnya menyelenggarakan pendidikan dan
pengajarannya secara non-klasikal.[2]
Saat ini, banyak Pondok
Pesantren menjadi lembaga pendidikan antara sistem pendidikan non-formal dan
formal, karena di dalam lingkungannya diselenggarakan pula sistem pendidikan
Madrasah, bahkan Sekolah umum dengan berbagai tingkatan dan aneka jurusan mengikuti
kebutuhan masyarakat. Menurut H. A. Mukti Ali, Pondok Pesantren
merupakan suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang mempunyai ciri khas. Ia
bukan Sekolah umum yang diselenggarakan oleh Depdiknas atau organisasi yang
bernaung di bawahnya. Juga bukan pendidikan keluarga dan bukan pendidikan di
luar Pondok Pesantren.[3]
Pada dasarnya, istilah Pondok atau Pesantren atau Pondok Pesantren adalah
sebuah istilah nama saja. Hanya bedanya Pesantren (tanpa kata Pondok) tidak
menyediakan pemondokan bagi para santri di komplek pesantren sebagaimana
lumrahnya.[4]
Pesantren, bagi KH.
Abdurrahman Wahid dapat dipandang dari berbagai perspektif (sudut pandang).
Secara fisik (bangunan) biasanya pesantren terdiri dari bangunan-bangunan yang
membentuk sebuah komplek, baik terpisah-pisah maupun tidak. Komplek pesantren
biasanya terdiri tiga komponen. Pertama, masjid sebagai pusat kegiatan
ibadah. Kedua, komplek pemukiman santri. Ketiga, kediaman kiai.[5]
Ketiga komponen di atas
merupakan unsur utama yang harus ada dari sebuah pondok pesantren. Bahkan
menurut Zamakhsyari Dhofir, elemen pondok pesantren bukan hanya tiga
melainkan ada lima, yaitu; Pondok, Masjid, Santri, Pengajaran kitab klasik
(Kitab Kuning plus Gundul) dan Kiai. Berdasarkan pernyataan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwasanya lembaga pendidikan disebut Pondok Pesantren
apabila memiliki unsur atau
elemen-elemen: kiai, santri, pondok, asrama, masjid dan mengajarkan Kitab
Kuning atau Kitab Gundul.
Secara akulturasi sosial,
biasanya aktifitas pesantren memiliki keunikan tersendiri. Pertama, kegiatan di
pesantren berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu shalat lima waktu.
Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang dan malam versi pesantren
berbeda dengan versi non pesantren. Perbedaan paling mencolok adalah sebagian
besar waktu versi pesantren dihabiskan oleh aktifitas belajar (mengaji). Oleh
karena itu, seringkali waktu yang lazimnya digunakan untuk istirahat, bagi
pesantren justru menjadi waktu aktifitas kerja (mencuci, memasak, dan
lain-lain).
Secara metode pembelajaran,
pesantren juga memiliki karakteristik yang cukup unik. Sebelum sistem kelas
diperkenalkan, metode pembelajaran tidak mengenal bentuk estafeta.
Artinya, sudah menjadi tradisi pesantren jika ustadz yang mengkaji kitab Fath
al-Qorib walau sudah khatam namun akan kembali diulang-ulang. Sehingga ada
fenomena “ustadz spesialis” kitab tertentu. Demikian juga waktu belajar seorang
santri tidak mengenal batas. Jika dalam institusi lain biasanya ada ukuran
waktu belajar misalnya SD 6 tahun, SLTP 3 tahun, SMU 3 tahun dan Perguruan
Tinggi 4-5 tahun. Namun di pesantren batas belajar ditentukan oleh kemauan si
santri sendiri.
Sementara sebagai institusi
sosial, pesantren tidak hanya berbentuk lembaga dengan seperangkat elemen
pendukungnya seperti masjid, ruang mengaji, asrama santri dan beberapa guru dan
kiai- tetapi pesantren merupakan entitas budaya yang mempunyai implikasi
terhadap kehidupan sosial yang melingkupinya.
Saat ini, dunia pesantren
bisa diklasifikasi menjadi tiga kategori:[6]
pertama, pesantren modern, yang
bercirikan: (1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2)
tidak terikat pada figur kiai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem
pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga
pengetahuan umum; dan (4) sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan
teratur, permanen dan berpagar.
Kedua, pesantren tradisional,
bercirikan: (1) tidak memiliki manajemen dan administrasi modern, sistem
pengelolaan pesantren berpusat pada aturan yang dibuat kiai dan diterjemahkan
oleh pengurus pondok pesantren; (2) terikat kuat terhadap figur kiai sebagai
tokoh sentral, setiap kebijakan pondok mengacu pada wewenang yang diputuskan
kiai; (3) pola dan sistem pendidikan bersifat konvensional berpijak pada
tradisi lama, pengajaran bersifat satu arah, kiai mengajar santri mendengarkan
secara seksama; dan (4) bangunan asrama santri tidak tertata rapi, masih
menggunakan bangunan kuno atau bangunan kayu. Pondok pesantren menyatu dengan
masyarakat sekitar, tidak ada pembatas yang memisahkan wilayah pondok pesantren
dari lingkungan masyarakat sekitarnya.
Ketiga, semi modern, paduan antara
tradisional dan modern. Bercirikan nilai-nilai tradisional masih kental
dipegang, kiai masih menempati figur sentral, norma dan kode etik pesantren
klasik tetap menjadi standar pola relasi dan norma keseharian, tetapi
mengadaptasi sistem pendidikan modern dan sarana fisik pesantren.
Secara umum, saat ini masih
banyak pesantren-pesantren tradisional di pedalaman yang dalam kacamata
kekinian dikategorikan terbelakang, namun mudah didapati kearifan lokal,
segudang nilai kultural yang patut disemaikan dalam kehidupan masyarakat,
seperti solidaritas komunal, egaliter, musyawarah dan sebagainya. Model
pesantren tradisional pedalaman masih terdapat hampir di semua kawasan basis
pesantren seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan di luar Jawa.
Di pesantren tradisonal dan
semi modern, kiai merupakan faktor sentral yang mempengaruhi kehidupan sosial
dan politik, baik dalam pesantren maupun masyarakat sekelilingnya. Ia bukan
hanya sebagai pengendali pesantren tetapi juga berpengaruh luas terhadap
lingkungan masyarakat. Peranan itu kian kuat, bila pesantren tersebut telah
lama berdiri dan melahirkan banyak alumni yang menjadi kiai di tempat asal
mereka. Maka kedudukan kiai di pesantren induk menjadi sangat berpengaruh
terhadap pesantren-pesantren yang dikelola oleh para alumninya. Dalam konteks
inilah jaringan sosial kiai di pesantren-pesantren terbentuk.
Lain halnya dengan pesantren
modern, seorang pengasuh tidak berkedudukan sebagai kiai pada pesantren
tradisional dan semi modern. Walaupun ia menjadi pengasuh namun kedudukannya
ditentukan oleh pihak pemilik pesantren -biasanya dalam bentuk yayasan- dan
pada waktu tertentu terjadi siklus kepemimpinan. Pergantian pengasuh menjadi
hal yang biasa layaknya kepala sekolah pada sekolah-sekolah umum, hal ini
terjadi pada pesantren-pesantren modern seperti model Gontor Ponorogo.[7]
Tradisi pesantren merupakan
bentuk sistem sosial yang tumbuh melalui sistem kekerabatan yang dibangun kiai.
Sistem kekerabatan yang dikembangkan kiai pesantren dibangun atas ikatan yang kuat melalui hubungan kekerabatan
genealogi sosial kiai, jaringan aliansi perkawinan, genealogi intelektual dan
aspek hubungan guru-murid atau kiai-santri. Jaringan sosial pesantren di
samping memperkuat peran internal pesantren juga memperkuat peran di luar
institusi pesantren, seperti memiliki kekuatan dalam membentuk tingkah laku
ekonomi, politik dan keagamaan.[8]
Tradisi yang dibangun melalui nilai perkawinan, persaudaraan dan hubungan antar
pesantren induk dan pesantren lokal implikasinya tidak hanya dalam lingkup
internal tetapi sampai di luar pesantren. Meskipun pola hubungan dalam tradisi
pesantren tersebut atas dasar hubungan patron-klien sekaligus diperkuat
oleh sistem nilai yang melembaga yang berbentuk tradisi mendengar dan taat
terhadap kiai.[9]
Dalam tradisi pesantren
telah terbangun konstruk sosial yang menempatkan kiai sebagai pribadi yang
memiliki integritas moral dan diikuti oleh masyarakat. Konstruksi sosial yang
demikian menempatkan kiai pada posisi elit di dalam masyarakat pesantren.[10] Keberadaan elit tidak dapat dihindari dalam
kehidupan masyarakat yang kompleks.[11]
Dengan demikian, kiai masuk dalam kategori elit tradisional. Jadi, kiai yang
berposisi pusat di dunia pesantren, menempatkannya sebagai elit tradisional.
Hal ini terkait dengan teori tentang kompetisi antar individu di mana yang
paling berbakat memperoleh posisi yang lebih tinggi pada tangga sosial dan
untuk mencapai elit politik dengan melakukan hubungan pribadi.[12]
Menurut Abdurrahman Wahid,
kiai sebagai elit tradisional, mempunyai peran sebagai agen budaya (cultur
broker) bukan berarti kiai sebagai makelar budaya. Peranan kiai sebagai
agen budaya karena kiai memiliki peran ganda, satu sisi sebagai pengasuh,
pemilik pesantren, pembimbing santri, pengayom umat dan peneliti, di sisi
lain kiai sebagai asimilator kebudayaan luar yang masuk ke pesantren.[13]
Abdurrahman Wahid menyitir pendapat Hiroko Horikoshi, bahwa peran
sosial kiai menunjukkan daya dorong dan perubahan itu datang dari pemikiran
agama yang diiringi interaksi panjang dengan modernisasi.[14]
Sejarah menunjukkan bahwa
sejak jaman kerajaan Islam Jawa, kiai memiliki pengaruh besar dalam urusan
sosial dan politik, termasuk juga dalam hal kenegaraan. Pemberlakuan desa
predikat bagi desa yang ditempati pesantren menunjukkan posisi kiai sebagai
kelompok elit mendapat pengakuan dan ini sebagai bukti adanya peran strategis
kiai.[15]
Selain kiai pesantren yang termasuk dalam elit agama atau elit tradisional
dalam struktur sosial masyarakat, kelompok elit lain yang mempunyai peran dan
kedudukan menentukan adalah kaum bangsawan atau priyayi dan elit birokrasi.[16]
Para kaum elit inilah yang mempunyai peran besar dalam kebijakan-kebijakan dan
mempengaruhi banyak kalangan, khususnya di bidang sosial dan politik.
B. Santri dan Tradisi Politik
di Pesantren
Santri, di mata kebanyakan
orang, sering tergambar sebagai penghuni pondok pesantren yang kerap bersarung
dan berkopiah, serta gemar menjinjing tasbih dan kitab kuning. Ciri lainnya, di
samping amat bersahaja, adalah kegetolannya dalam mengarungi lautan hikmah
keagamaan. Bahkan terkadang, kelompok ini terkesan kurang sreg dengan
kegiatan politik yang dianggapnya berada di luar jalur agama.
Gambaran di atas memang
bercorak sosiologis. Dengan demikian santri jadi terlihat sebagai sebuah
kelompok sosial bercorak keagamaan yang terbentuk tidak secara spontanitas dan
emosional, tidak seperti kerumunan orang-orang di pasar atau di tempat umum
lainnya. Pola interaksinya sangat intensif, sehingga mendorong lahirnya sikap
tindak yang nyaris berpola sama.[17]
Sebagai kelompok sosial,
santri menganut satu sistem nilai tertentu yang tidak dianut oleh kelompok lain
di luar dirinya. Itulah sebabnya, bisa jadi, perilaku yang lazim berlaku pada
kelompok tertentu menjadi tidak lazim bagi kelompok santri, begitu pun sebaliknya.
Apabila berkeinginan, pakem ini bisa digunakan sebagai pisau, analisis untuk
memahami corak dan partisipasi politik santri di Indonesia.
Santri, bukanlah kelompok
yang apolitik dalam pengertian tidak tahu dan tidak mau berpolitik. Sebab
logikanya, orang yang tidak mau terlibat dalam proses berpolitik sebetulnya
juga berpolitik. Analoginya, orang yang tidak memilih sesungguhnya telah
memilih, yakni memilih untuk tidak memilih. Jadi, letak perbedaannya cuma pada
masalah corak keterlibatannya: jika yang lain bercorak aktif, yang satunya lagi
bercorak pasif. Akan tetapi corak ini tentu tidak bersifat permanen, sebab bisa
saja karena satu hal corak itu berubah 100 persen.[18]
Bahkan akhir-akhir ini tidak
jarang terdengar suatu pernyataan, bahwa banyak pondok pesantren yang
mengatakan dirinya sebagai pesantren netral yang tak akan mendukung kontestan
manapun dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi, ada juga yang dengan terang-terangan
menyatakan diri sebagai pendukung (bahkan fanatik) dari suatu kontestan
Pemilihan Umum. Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat pesantren juga mengenal
politik. Namun seberapa besar mereka berpolitik dan bagaimana cara mereka
berpolitik tidak banyak yang mengetahui.
Corak keterlibatan pondok
Pesantren rata-rata bersifat aktif ke pasif, tapi ada juga yang tetap
mempertahankan corak keterlibatannya yang pasif selama ini.[19]
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap tidak akan ikut terlibat terlalu jauh
dalam politik (Pemilihan Umum). Inilah tradisi politik pesantren yang selama
ini telah berjalan.
Bagi orang yang tidak pernah
hidup dalam kultur santri, perkara mengikuti tradisi barangkali bukan persoalan
penting: diikuti boleh, ditinggalkan pun tidak apa-apa. Sebaliknya bagi santri
hal itu adalah perkara yang amat penting. Meninggalkannya berarti mengundang tulah.
Terlebih lagi jika tradisi itu dilegitimasi dengan fatwa sang kiai yang menjadi
pembimbing spiritual para santri, karena menentang apa yang dikatakan kiai dan
tidak mematuhi kiai adalah suatu hal yang tidak baik dalam tradisi pesantren,
bahkan bisa dianggap sebagai perbuatan durhaka.
Oleh karena itu, dalam
tradisi politik di pondok pesantren, kiai merupakan soko guru yang mampu
mempengaruhi santri-santrinya, bahkan
masyarakat sekitar pondok pesantren pun tidak jarang yang mengikuti
pandangan politik kiai tersebut. Sehingga tidak heran, jika kemudian para
santri merasa ada suatu ketidakbebasan dalam menentukan siapa yang harus
didukungnya, meskipun pada dasarnya kiai para santri tersebut memberikan
kebebasan kepada santrinya untuk memilih, tapi jika kiai tersebut telah
menentukan pilihannya, maka biasanya para santri juga akan mengikutinya. Di
sinilah nampak betapa besarnya pengaruh kiai bagi santri-santri dan masyarakat
sekitar pesantren.
Memang, siapa pun boleh
menduga, dalam dunia santri tidak ada ruang bagi orang-orang semacam Eduard
Bernstein yang lancang mengeritik keyakinan guru-gurunya, Karl Marx dan
Engels, di tahun 1898.[20]
Tapi lagi-lagi siapa pun boleh menduga, dalam dunia santri telah tersedia ruang
untuk sebuah rasionalitas. Karenanya, keterikatan emosional antara santri dan
kiai tidak bisa secara serta-merta disulap menjadi loyalitas yang bersifat
politis. Akibat selanjutnya bisa dibayangkan: pilihan politik sang kiai tidak
secara otomatis akan menjadi pilihan politik santri.
Apabila kemungkinan yang
terakhir ini betul terjadi, maka yang akan terjadi adalah fenomena penguatan
posisi santri dalam proses berpolitik, dan itu gejala yang patut disyukuri
tentunya, rapi persoalannya kemudian adalah kemungkinan hal ini terjadi
sangatlah sulit, mengingat tradisi pesantren yang demikian jauh berbeda dengan
dunia lainnya, dan artinya, pesantren mempunyai dunianya sendiri, yaitu sebagai
suatu mandala, atau sejenis padepokan, yang sejauh ini dipahami sebagai
tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Di dalamnya, para ‘cantrik’ (santri)
mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara
‘sang guru’ (kiai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk
memberikan pengajaran dan teladan hidup. Solidaritas, kebersamaan,
persaudaraan, dan ketulusan antar warganya sangatlah kuat dan tumbuh sebagai
karakter integral dari kehidupan pesantren. Dunia inilah yang membedakan
pesantren dengan yang lainnya.
C. Perilaku Politik Santri di
Pondok Pesantren
Sebelum sampai pada pembahasan
perilaku politik santri di Pondok pesantren Raudlatut Thalibin, terlebih dulu akan dikemukakan batasan
perilaku politik dan sikap politik secara umum. Pembahasan perilaku politik diartikan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan politik ada yang
dilakukan pemerintah berkaitan dengan fungsi pemerintahan dan kegiatan politik
yang dilaAkukan masyarakat berkaitan dengan fungsi politik.[21]
Berbicara mengenai perilaku politik
santri mau tidak mau akan bersentuhan dengan perilaku politik kiai, karena
diakui atau tidak perilaku politik kiai sangat berpengaruh terhadap keputusan
politik dan sikap politik santri. Perilaku politik kiai pesantren mempunyai
arti subyektif dan memiliki tujuan tertentu dan bukan sebagai perilaku yang
muncul secara kebetulan, sehingga tindakan-tindakan kiai pesantren dalam
berbagai perilaku sosial dan politik, dapat digolongkan pada tindakan
rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai, rasionalitas tradisional dan
rasionalitas afektif. Begitu pula perilaku politik kiai pesantren yang
terakumulasi dalam tindakan sosial, tidak bisa lepas dari tindakan politik dan
proses politik yang terjadi dalam komunitas kiai pesantren.[22]
Tindakan dan proses politik yang
melibatkan santri dan kiai pesantren sebagai wujud partisipasi sebagai warga
negara bisa dilakukan dengan berbagai bentuk. Tindakan politik meliputi proses
pembentukan pendapat politik, kecakapan politik dan bagaimana orang menyadari
setiap peristiwa-peristiwa politik yang akan dilakukannya. Dasar pemikiran ini
sekaligus menjadi barometer bagi santri dan kiai pesantren dalam menentukan
sikap politik, termasuk dalam menentukan pilihan partai politik. Perilaku
memilih partai politik bagi santri dan kiai pesantren akan memiliki keterkaitan
dengan 4 faktor, yaitu: kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan dan budaya
politik.[23] Faktor pertama meliputi cara untuk
mencapai hal yang diinginkan melalui sumber-sumber kelompok yang ada di
masyarakat. Kekuasaan ini merupakan dorongan manusia dalam berperilaku politik
termasuk perilaku memilih yang tidak dapat diabaikan.
Kedua, faktor kepentingan merupakan
tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik. Dalam hal ini,
upaya mengejar kepentingan tersebut membutuhkan nilai-nilai: kekuasaan,
pendidikan, kekayaan, kesehatan, ketrampilan, kasih sayang, keadilan dan
kejujuran.[24]
Ketiga, faktor kebijakan sebagai hasil
dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya berbentuk
perundang-undangan. Kebijakan akan memiliki implikasi penting dalam perilaku
politik terutama yang dilakukan oleh elit masyarakat.
Keempat, budaya politik, yaitu orientasi
subyektif individu terhadap sistem politik. Kebudayaan politik sebagai
orientasi nilai dan keyakinan politik yang melekat dalam diri individu dapat
dianalisis dalam beberapa orientasi yaitu orientasi kognitif, afektif dan
orientasi evaluatif yang mendasari perilaku politik.
Penjelasan seputar perilaku politik
tersebut dapat pula untuk menjelaskan pola perilaku politik santri dan kiai
pesantren. Pada masa Orde Baru, perilaku politik kiai paling tidak memiliki
tiga kategori yaitu antagonistik yang melahirkan konflik atau pertentangan yang
cukup radikal, resiprokal kritis yaitu saling memahami tapi tetap kritis, dan
akomodatif yakni hubungan yang saling menguntungkan.[25]
Lahirnya sikap toleran, akomodatif
dan reaksioner sejumlah kiai pesantren merupakan konsekuensi logis dari
penerapan kebijakan politik. Dari semua pilihan perilaku politik kiai pesantren
tersebut, dominasi posisi negara juga sangat menentukan model perilaku politik
kiai pesantren. Pluralitas perilaku politik umat Islam termasuk kiai pesantren,
kalau dicermati lebih lanjut setidaknya terdapat empat perbedaan sikap politik
yang terjadi dikalangan politisi Islam.
Pertama, kelompok yang berpandangan
pragmatis dan cenderung mengintregasikan diri dengan kekuasaan serta
meninggalkan label ideologisnya. Kedua, kelompok akomodatif yakni
kelompok yang pemikiran dan sikap politiknya reseptif dan kompromis, namun
tidak selalu berintegrasi. Ketiga, kelompok transformatif, yaitu kelompok
yang memiliki komitmen perubahan yang mendasar tapi menolak cara-cara radikal. Keempat,
kelompok prinsipalis, adalah kelompok yang menghendaki ditegakkannya
prinsip-prinsip dasar Islam.[26]
Munculnya perbedaan antar institusi
pesantren dalam menentukan pilihan politik yang diikuti sejumlah pesantren di
berbagai daerah, akhirnya menimbulkan sebuah ketegangan. Perbedaan pilihan
antar kiai pesantren berujung pada ketegangan, di samping disebabkan faktor
perubahan politik saat itu dan independensi kiai pesantren, faktor tradisi
pesantren juga sangat dominan. Dominasi peran tradisi pesantren yang memiliki
dampak langsung dalam pilihan politik kiai pesantren adalah tradisi pesantren
atau jaringan sosial yang dibangun melalui nilai-nilai kekerabatan. Berdasar
hal inilah, maka posisi pesantren induk dan pesantren lokal yang dikukuhkan
dengan hubungan kiai dan santri juga memiliki andil besar dalam perubahan
kultur dan pilihan politik.
[1]
Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1985), hlm. 746.
[2] Zaini
Ahmad Sys, et. Al., Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren (Jakarta:
Proyek Pembinaan dan Bantuan kepada Pondok Pesantren 1984/1985 Dirjen Binbaga
Islam Depag R.I., 1985), hlm. 1.
[3]
Ibid., hlm. 1-2.
[4]
Tim Penyusun BKP3 Dirjen Bimas Islam Depag R.I., Peranan Pondok Pesantren
dalam Pembangunan (Jakarta: PT Peryu Berkah, 1974), hlm. 2.
[5] KH.
Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Raharjo
(ed), Pesantren dan Pembangunan,
Jurnal LP3ES, (Jakarta: Pustaka LP3ES,1995), hlm., 40-41.
[6]
Abdul Kodir, "Pesantren dalam Lintasan Sejarah", dalam Jurnal
Al-Jami'ah IAIN Sunan Kalijaga, Edisi 55 tahun 1994, hlm.54.
[7] Ibid.
[8]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta:
LP3ES,1982), hlm. 62-82.
[9] Sukamto,
Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999),
hlm. 79.
[10]
Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah (Surabaya: Balai Buku, 1979), hlm. 21.
[11] Abdul
Kodir, "Pesantren dalam Lintasan Sejarah", dalam Jurnal Al-Jami'ah
IAIN Sunan Kalijaga, Edisi 55 tahun 1994, hlm.56.
[12] Gabriel
A. Almond, “Kelompok Kepentingan dan Partai Politik,” dalam Mochtar
Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 1982),
hlm. 54.
[13]
Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES,
1988), hlm. 46-47.
[14]
Abdurrahman Wahid, “Pengantar” dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme
Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm.
ix.
[15]
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 35.
[16]
Sartono Kartodirdjo (ed.), Elite Dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES 1988), hlm. 5.
[17] Didiet
Haryadi Priyohutomo, “Santri dan Basis Kultural,” dalam Majalah Pancasila
Abadi, edisi Maret 1995, hlm. 54.
[18]
Irwan Setiawan, “Santri”, dalam Majalah Pancasila Abadi, edisi Maret
1995, hlm. 42.
[19] Didiet
Haryadi Priyohutomo, “Santri dan Basis Kultural,” dalam Majalah Pancasila Abadi,
edisi Maret 1995, hlm. 54
[20]
Irwan Setiawan, “Santri”, dalam Majalah Pancasila Abadi, edisi Maret
1995, hlm. 42.
[21] Ramlan Surbakti, Memahami
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 131.
[22] Ibid., hlm. 15.
[23] Miriam Budihardjo, Dasar-dasar ttmu Politik
(Jakarta: FT Gramedia, 1998), hlm. 49.
[24] Ibid., hlm. 33.
[25]
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
hlm. 240-302.
[26] Ibid., hlm.
334.
0 Response to "Perilaku Politik Santri di Pondok Pesantren"
Post a Comment