Image1

Perilaku Politik Santri di Pondok Pesantren

Perilaku Politik Santri | Definisi Pesantren | Pesantren Adalah |

PESANTREN DAN PERILAKU POLITIK SANTRI

A.   Pesantren: Definisi dan Tradisi

Pesantren, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai asrama dan tempat-tempat murid belajar mengaji.[1] Menurut suatu team dari Departemen Agama R.I., Pondok Pesantren adalah Lembaga Pendidikan Islam yang pada umumnya menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya secara non-klasikal.[2]
Saat ini, banyak Pondok Pesantren menjadi lembaga pendidikan antara sistem pendidikan non-formal dan formal, karena di dalam lingkungannya diselenggarakan pula sistem pendidikan Madrasah, bahkan Sekolah umum dengan berbagai tingkatan dan aneka jurusan mengikuti kebutuhan masyarakat. Menurut H. A. Mukti Ali, Pondok Pesantren merupakan suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang mempunyai ciri khas. Ia bukan Sekolah umum yang diselenggarakan oleh Depdiknas atau organisasi yang bernaung di bawahnya. Juga bukan pendidikan keluarga dan bukan pendidikan di luar Pondok Pesantren.[3] Pada dasarnya, istilah Pondok atau Pesantren atau Pondok Pesantren adalah sebuah istilah nama saja. Hanya bedanya Pesantren (tanpa kata Pondok) tidak menyediakan pemondokan bagi para santri di komplek pesantren sebagaimana lumrahnya.[4]
Pesantren, bagi KH. Abdurrahman Wahid dapat dipandang dari berbagai perspektif (sudut pandang). Secara fisik (bangunan) biasanya pesantren terdiri dari bangunan-bangunan yang membentuk sebuah komplek, baik terpisah-pisah maupun tidak. Komplek pesantren biasanya terdiri tiga komponen. Pertama, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Kedua, komplek pemukiman santri. Ketiga, kediaman kiai.[5]
Ketiga komponen di atas merupakan unsur utama yang harus ada dari sebuah pondok pesantren. Bahkan menurut Zamakhsyari Dhofir, elemen pondok pesantren bukan hanya tiga melainkan ada lima, yaitu; Pondok, Masjid, Santri, Pengajaran kitab klasik (Kitab Kuning plus Gundul) dan Kiai. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya lembaga pendidikan disebut Pondok Pesantren apabila memiliki  unsur atau elemen-elemen: kiai, santri, pondok, asrama, masjid dan mengajarkan Kitab Kuning atau Kitab Gundul.

Secara akulturasi sosial, biasanya aktifitas pesantren memiliki keunikan tersendiri. Pertama, kegiatan di pesantren berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang dan malam versi pesantren berbeda dengan versi non pesantren. Perbedaan paling mencolok adalah sebagian besar waktu versi pesantren dihabiskan oleh aktifitas belajar (mengaji). Oleh karena itu, seringkali waktu yang lazimnya digunakan untuk istirahat, bagi pesantren justru menjadi waktu aktifitas kerja (mencuci, memasak, dan lain-lain).
Secara metode pembelajaran, pesantren juga memiliki karakteristik yang cukup unik. Sebelum sistem kelas diperkenalkan, metode pembelajaran tidak mengenal bentuk estafeta. Artinya, sudah menjadi tradisi pesantren jika ustadz yang mengkaji kitab Fath al-Qorib walau sudah khatam namun akan kembali diulang-ulang. Sehingga ada fenomena “ustadz spesialis” kitab tertentu. Demikian juga waktu belajar seorang santri tidak mengenal batas. Jika dalam institusi lain biasanya ada ukuran waktu belajar misalnya SD 6 tahun, SLTP 3 tahun, SMU 3 tahun dan Perguruan Tinggi 4-5 tahun. Namun di pesantren batas belajar ditentukan oleh kemauan si santri sendiri.
Sementara sebagai institusi sosial, pesantren tidak hanya berbentuk lembaga dengan seperangkat elemen pendukungnya seperti masjid, ruang mengaji, asrama santri dan beberapa guru dan kiai- tetapi pesantren merupakan entitas budaya yang mempunyai implikasi terhadap kehidupan sosial yang melingkupinya.
Saat ini, dunia pesantren bisa diklasifikasi menjadi tiga kategori:[6]
pertama, pesantren modern, yang bercirikan: (1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat pada figur kiai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum; dan (4) sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur, permanen dan berpagar.
Kedua, pesantren tradisional, bercirikan: (1) tidak memiliki manajemen dan administrasi modern, sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan yang dibuat kiai dan diterjemahkan oleh pengurus pondok pesantren; (2) terikat kuat terhadap figur kiai sebagai tokoh sentral, setiap kebijakan pondok mengacu pada wewenang yang diputuskan kiai; (3) pola dan sistem pendidikan bersifat konvensional berpijak pada tradisi lama, pengajaran bersifat satu arah, kiai mengajar santri mendengarkan secara seksama; dan (4) bangunan asrama santri tidak tertata rapi, masih menggunakan bangunan kuno atau bangunan kayu. Pondok pesantren menyatu dengan masyarakat sekitar, tidak ada pembatas yang memisahkan wilayah pondok pesantren dari lingkungan masyarakat sekitarnya.
Ketiga, semi modern, paduan antara tradisional dan modern. Bercirikan nilai-nilai tradisional masih kental dipegang, kiai masih menempati figur sentral, norma dan kode etik pesantren klasik tetap menjadi standar pola relasi dan norma keseharian, tetapi mengadaptasi sistem pendidikan modern dan sarana fisik pesantren.
Secara umum, saat ini masih banyak pesantren-pesantren tradisional di pedalaman yang dalam kacamata kekinian dikategorikan terbelakang, namun mudah didapati kearifan lokal, segudang nilai kultural yang patut disemaikan dalam kehidupan masyarakat, seperti solidaritas komunal, egaliter, musyawarah dan sebagainya. Model pesantren tradisional pedalaman masih terdapat hampir di semua kawasan basis pesantren seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan di luar Jawa.
Di pesantren tradisonal dan semi modern, kiai merupakan faktor sentral yang mempengaruhi kehidupan sosial dan politik, baik dalam pesantren maupun masyarakat sekelilingnya. Ia bukan hanya sebagai pengendali pesantren tetapi juga berpengaruh luas terhadap lingkungan masyarakat. Peranan itu kian kuat, bila pesantren tersebut telah lama berdiri dan melahirkan banyak alumni yang menjadi kiai di tempat asal mereka. Maka kedudukan kiai di pesantren induk menjadi sangat berpengaruh terhadap pesantren-pesantren yang dikelola oleh para alumninya. Dalam konteks inilah jaringan sosial kiai di pesantren-pesantren terbentuk.
Lain halnya dengan pesantren modern, seorang pengasuh tidak berkedudukan sebagai kiai pada pesantren tradisional dan semi modern. Walaupun ia menjadi pengasuh namun kedudukannya ditentukan oleh pihak pemilik pesantren -biasanya dalam bentuk yayasan- dan pada waktu tertentu terjadi siklus kepemimpinan. Pergantian pengasuh menjadi hal yang biasa layaknya kepala sekolah pada sekolah-sekolah umum, hal ini terjadi pada pesantren-pesantren modern seperti model Gontor Ponorogo.[7]
Tradisi pesantren merupakan bentuk sistem sosial yang tumbuh melalui sistem kekerabatan yang dibangun kiai. Sistem kekerabatan yang dikembangkan kiai pesantren dibangun atas ikatan  yang kuat melalui hubungan kekerabatan genealogi sosial kiai, jaringan aliansi perkawinan, genealogi intelektual dan aspek hubungan guru-murid atau kiai-santri. Jaringan sosial pesantren di samping memperkuat peran internal pesantren juga memperkuat peran di luar institusi pesantren, seperti memiliki kekuatan dalam membentuk tingkah laku ekonomi, politik dan keagamaan.[8] Tradisi yang dibangun melalui nilai perkawinan, persaudaraan dan hubungan antar pesantren induk dan pesantren lokal implikasinya tidak hanya dalam lingkup internal tetapi sampai di luar pesantren. Meskipun pola hubungan dalam tradisi pesantren tersebut atas dasar hubungan patron-klien sekaligus diperkuat oleh sistem nilai yang melembaga yang berbentuk tradisi mendengar dan taat terhadap kiai.[9]
Dalam tradisi pesantren telah terbangun konstruk sosial yang menempatkan kiai sebagai pribadi yang memiliki integritas moral dan diikuti oleh masyarakat. Konstruksi sosial yang demikian menempatkan kiai pada posisi elit di dalam masyarakat pesantren.[10]  Keberadaan elit tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.[11] Dengan demikian, kiai masuk dalam kategori elit tradisional. Jadi, kiai yang berposisi pusat di dunia pesantren, menempatkannya sebagai elit tradisional. Hal ini terkait dengan teori tentang kompetisi antar individu di mana yang paling berbakat memperoleh posisi yang lebih tinggi pada tangga sosial dan untuk mencapai elit politik dengan melakukan hubungan pribadi.[12]
Menurut Abdurrahman Wahid, kiai sebagai elit tradisional, mempunyai peran sebagai agen budaya (cultur broker) bukan berarti kiai sebagai makelar budaya. Peranan kiai sebagai agen budaya karena kiai memiliki peran ganda, satu sisi sebagai pengasuh, pemilik pesantren, pembimbing santri, pengayom umat dan peneliti,  di sisi  lain kiai sebagai asimilator kebudayaan luar yang masuk ke pesantren.[13] Abdurrahman Wahid menyitir pendapat Hiroko Horikoshi, bahwa peran sosial kiai menunjukkan daya dorong dan perubahan itu datang dari pemikiran agama yang diiringi interaksi panjang dengan modernisasi.[14]
Sejarah menunjukkan bahwa sejak jaman kerajaan Islam Jawa, kiai memiliki pengaruh besar dalam urusan sosial dan politik, termasuk juga dalam hal kenegaraan. Pemberlakuan desa predikat bagi desa yang ditempati pesantren menunjukkan posisi kiai sebagai kelompok elit mendapat pengakuan dan ini sebagai bukti adanya peran strategis kiai.[15] Selain kiai pesantren yang termasuk dalam elit agama atau elit tradisional dalam struktur sosial masyarakat, kelompok elit lain yang mempunyai peran dan kedudukan menentukan adalah kaum bangsawan atau priyayi dan elit birokrasi.[16] Para kaum elit inilah yang mempunyai peran besar dalam kebijakan-kebijakan dan mempengaruhi banyak kalangan, khususnya di bidang sosial dan politik.

B.    Santri dan Tradisi Politik di Pesantren

Santri, di mata kebanyakan orang, sering tergambar sebagai penghuni pondok pesantren yang kerap bersarung dan berkopiah, serta gemar menjinjing tasbih dan kitab kuning. Ciri lainnya, di samping amat bersahaja, adalah kegetolannya dalam mengarungi lautan hikmah keagamaan. Bahkan terkadang, kelompok ini terkesan kurang sreg dengan kegiatan politik yang dianggapnya berada di luar jalur agama.

Gambaran di atas memang bercorak sosiologis. Dengan demikian santri jadi terlihat sebagai sebuah kelompok sosial bercorak keagamaan yang terbentuk tidak secara spontanitas dan emosional, tidak seperti kerumunan orang-orang di pasar atau di tempat umum lainnya. Pola interaksinya sangat intensif, sehingga mendorong lahirnya sikap tindak yang nyaris berpola sama.[17]
Sebagai kelompok sosial, santri menganut satu sistem nilai tertentu yang tidak dianut oleh kelompok lain di luar dirinya. Itulah sebabnya, bisa jadi, perilaku yang lazim berlaku pada kelompok tertentu menjadi tidak lazim bagi kelompok santri, begitu pun sebaliknya. Apabila berkeinginan, pakem ini bisa digunakan sebagai pisau, analisis untuk memahami corak dan partisipasi politik santri di Indonesia.
Santri, bukanlah kelompok yang apolitik dalam pengertian tidak tahu dan tidak mau berpolitik. Sebab logikanya, orang yang tidak mau terlibat dalam proses berpolitik sebetulnya juga berpolitik. Analoginya, orang yang tidak memilih sesungguhnya telah memilih, yakni memilih untuk tidak memilih. Jadi, letak perbedaannya cuma pada masalah corak keterlibatannya: jika yang lain bercorak aktif, yang satunya lagi bercorak pasif. Akan tetapi corak ini tentu tidak bersifat permanen, sebab bisa saja karena satu hal corak itu berubah 100 persen.[18]

Bahkan akhir-akhir ini tidak jarang terdengar suatu pernyataan, bahwa banyak pondok pesantren yang mengatakan dirinya sebagai pesantren netral yang tak akan mendukung kontestan manapun dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi, ada juga yang dengan terang-terangan menyatakan diri sebagai pendukung (bahkan fanatik) dari suatu kontestan Pemilihan Umum. Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat pesantren juga mengenal politik. Namun seberapa besar mereka berpolitik dan bagaimana cara mereka berpolitik tidak banyak yang mengetahui.
Corak keterlibatan pondok Pesantren rata-rata bersifat aktif ke pasif, tapi ada juga yang tetap mempertahankan corak keterlibatannya yang pasif selama ini.[19] Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap tidak akan ikut terlibat terlalu jauh dalam politik (Pemilihan Umum). Inilah tradisi politik pesantren yang selama ini telah berjalan.
Bagi orang yang tidak pernah hidup dalam kultur santri, perkara mengikuti tradisi barangkali bukan persoalan penting: diikuti boleh, ditinggalkan pun tidak apa-apa. Sebaliknya bagi santri hal itu adalah perkara yang amat penting. Meninggalkannya berarti mengundang tulah. Terlebih lagi jika tradisi itu dilegitimasi dengan fatwa sang kiai yang menjadi pembimbing spiritual para santri, karena menentang apa yang dikatakan kiai dan tidak mematuhi kiai adalah suatu hal yang tidak baik dalam tradisi pesantren, bahkan bisa dianggap sebagai perbuatan durhaka.
Oleh karena itu, dalam tradisi politik di pondok pesantren, kiai merupakan soko guru yang mampu mempengaruhi santri-santrinya, bahkan  masyarakat sekitar pondok pesantren pun tidak jarang yang mengikuti pandangan politik kiai tersebut. Sehingga tidak heran, jika kemudian para santri merasa ada suatu ketidakbebasan dalam menentukan siapa yang harus didukungnya, meskipun pada dasarnya kiai para santri tersebut memberikan kebebasan kepada santrinya untuk memilih, tapi jika kiai tersebut telah menentukan pilihannya, maka biasanya para santri juga akan mengikutinya. Di sinilah nampak betapa besarnya pengaruh kiai bagi santri-santri dan masyarakat sekitar pesantren.
Memang, siapa pun boleh menduga, dalam dunia santri tidak ada ruang bagi orang-orang semacam Eduard Bernstein yang lancang mengeritik keyakinan guru-gurunya, Karl Marx dan Engels, di tahun 1898.[20] Tapi lagi-lagi siapa pun boleh menduga, dalam dunia santri telah tersedia ruang untuk sebuah rasionalitas. Karenanya, keterikatan emosional antara santri dan kiai tidak bisa secara serta-merta disulap menjadi loyalitas yang bersifat politis. Akibat selanjutnya bisa dibayangkan: pilihan politik sang kiai tidak secara otomatis akan menjadi pilihan politik santri.
Apabila kemungkinan yang terakhir ini betul terjadi, maka yang akan terjadi adalah fenomena penguatan posisi santri dalam proses berpolitik, dan itu gejala yang patut disyukuri tentunya, rapi persoalannya kemudian adalah kemungkinan hal ini terjadi sangatlah sulit, mengingat tradisi pesantren yang demikian jauh berbeda dengan dunia lainnya, dan artinya, pesantren mempunyai dunianya sendiri, yaitu sebagai suatu mandala, atau sejenis padepokan, yang sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Di dalamnya, para ‘cantrik’ (santri) mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara ‘sang guru’ (kiai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Solidaritas, kebersamaan, persaudaraan, dan ketulusan antar warganya sangatlah kuat dan tumbuh sebagai karakter integral dari kehidupan pesantren. Dunia inilah yang membedakan pesantren dengan yang lainnya.

C.   Perilaku Politik Santri di Pondok Pesantren

Sebelum sampai pada pembahasan perilaku politik santri di Pondok pesantren Raudlatut Thalibin,  terlebih dulu akan dikemukakan batasan perilaku politik dan sikap politik secara umum. Pembahasan perilaku politik diartikan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan politik ada yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan fungsi pemerintahan dan kegiatan politik yang di­laAkukan masyarakat berkaitan dengan fungsi politik.[21]
Berbicara mengenai perilaku politik santri mau tidak mau akan bersentuhan dengan perilaku politik kiai, karena diakui atau tidak perilaku politik kiai sangat berpengaruh terhadap keputusan politik dan sikap politik santri. Perilaku politik kiai pesantren mempunyai arti subyektif dan memiliki tujuan tertentu dan bukan sebagai perilaku yang muncul secara kebetulan, sehingga tindakan-tindakan kiai pesantren dalam berbagai perilaku sosial dan politik, dapat digolongkan pada tindakan rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai, rasionalitas tradisional dan rasionalitas afektif. Begitu pula perilaku politik kiai pesantren yang terakumulasi dalam tindakan sosial, tidak bisa lepas dari tindakan politik dan proses politik yang terjadi dalam komunitas kiai pesantren.[22]
Tindakan dan proses politik yang melibatkan santri dan kiai pesantren sebagai wujud partisipasi sebagai warga negara bisa dilakukan dengan berbagai bentuk. Tindak­an politik meliputi proses pembentukan pendapat politik, kecakapan politik dan bagaimana orang menyadari setiap peristiwa-peristiwa politik yang akan dilakukannya. Dasar pemikiran ini sekaligus menjadi barometer bagi santri dan kiai pesantren dalam menentukan sikap politik, termasuk dalam menentukan pilihan partai politik. Perilaku memilih partai politik bagi santri dan kiai pesantren akan memiliki keterkaitan dengan 4 faktor, yaitu: kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan dan budaya politik.[23] Faktor pertama meliputi cara untuk mencapai hal yang diinginkan melalui sumber-sumber kelompok yang ada di masyarakat. Kekuasaan ini merupakan dorongan manusia dalam berperilaku politik termasuk perilaku memilih yang tidak dapat diabaikan.
Kedua, faktor kepentingan merupakan tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik. Dalam hal ini, upaya mengejar kepentingan tersebut membutuhkan nilai-nilai: kekuasaan, pendidikan, kekayaan, kesehatan, ketrampilan, kasih sayang, keadilan dan kejujuran.[24]
Ketiga, faktor kebijakan sebagai hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya berbentuk perundang-undangan. Kebijakan akan memiliki implikasi penting dalam perilaku politik terutama yang dilakukan oleh elit masyarakat.
Keempat, budaya politik, yaitu orientasi subyektif individu terhadap sistem politik. Kebudayaan politik sebagai orientasi nilai dan keyakinan politik yang melekat dalam diri individu dapat dianalisis dalam beberapa orientasi yaitu orientasi kognitif, afektif dan orientasi evaluatif yang mendasari perilaku politik.
Penjelasan seputar perilaku politik tersebut dapat pula untuk menjelaskan pola perilaku politik santri dan kiai pesantren. Pada masa Orde Baru, perilaku politik kiai paling tidak memiliki tiga kategori yaitu antagonistik yang melahirkan konflik atau pertentangan yang cukup radikal, resiprokal kritis yaitu saling memahami tapi tetap kritis, dan akomodatif yakni hubungan yang saling menguntungkan.[25]
Lahirnya sikap toleran, akomodatif dan reaksioner sejumlah kiai pesantren merupakan konsekuensi logis dari penerapan kebijakan politik. Dari semua pilihan perilaku politik kiai pesantren tersebut, dominasi posisi negara juga sangat menentukan model perilaku politik kiai pesantren. Pluralitas perilaku politik umat Islam termasuk kiai pesantren, kalau dicermati lebih lanjut setidaknya terdapat empat perbedaan sikap politik yang terjadi dikalangan politisi Islam.
Pertama, kelompok yang berpandangan pragmatis dan cenderung mengintregasikan diri dengan kekuasaan serta meninggalkan label ideologisnya. Kedua, kelompok akomodatif yakni kelompok yang pemikiran dan sikap politiknya reseptif dan kompromis, namun tidak selalu berintegrasi. Ketiga, kelompok transformatif, yaitu kelompok yang memiliki komitmen perubahan yang mendasar tapi menolak cara-cara radikal. Keempat, kelompok prinsipalis, adalah kelompok yang menghendaki ditegakkannya prinsip-prinsip dasar Islam.[26]
Munculnya perbedaan antar institusi pesantren dalam menentukan pilihan politik yang diikuti se­jumlah pesantren di berbagai daerah, akhirnya menimbulkan sebuah ketegangan. Perbedaan pilihan antar kiai pesantren berujung pada ketegangan, di samping disebabkan faktor perubahan politik saat itu dan independensi kiai pesantren, faktor tradisi pesantren juga sangat dominan. Dominasi peran tradisi pesantren yang memiliki dampak langsung dalam pilihan politik kiai pesantren adalah tradisi pesantren atau jaringan sosial yang dibangun melalui nilai-nilai kekerabatan. Berdasar hal inilah, maka posisi pesantren induk dan pesantren lokal yang dikukuhkan dengan hubungan kiai dan santri juga memiliki andil besar dalam perubahan kultur dan pilihan politik.






[1] Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 746.
[2] Zaini Ahmad Sys, et. Al., Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren (Jakarta: Proyek Pembinaan dan Bantuan kepada Pondok Pesantren 1984/1985 Dirjen Binbaga Islam Depag R.I., 1985), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 1-2.
[4] Tim Penyusun BKP3 Dirjen Bimas Islam Depag R.I., Peranan Pondok Pesantren dalam Pembangunan (Jakarta: PT Peryu Berkah, 1974), hlm. 2.
[5] KH. Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembangunan, Jurnal LP3ES, (Jakarta: Pustaka LP3ES,1995), hlm., 40-41.
[6] Abdul Kodir, "Pesantren dalam Lintasan Sejarah", dalam Jurnal Al-Jami'ah IAIN Sunan Kalijaga, Edisi 55 tahun 1994, hlm.54.
[7] Ibid.
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES,1982), hlm. 62-82.
[9] Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999), hlm. 79.
[10] Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah (Surabaya: Balai Buku, 1979), hlm. 21.
[11] Abdul Kodir, "Pesantren dalam Lintasan Sejarah", dalam Jurnal Al-Jami'ah IAIN Sunan Kalijaga, Edisi 55 tahun 1994, hlm.56.
[12] Gabriel A. Almond, “Kelompok Kepentingan dan Partai Politik,” dalam Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1982),  hlm. 54.
[13] Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam  Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 46-47.
[14] Abdurrahman Wahid, “Pengantar” dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. ix.
[15] Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 35. 
[16] Sartono Kartodirdjo (ed.), Elite Dalam Perspektif  Sejarah (Jakarta: LP3ES 1988), hlm. 5.
[17] Didiet Haryadi Priyohutomo, “Santri dan Basis Kultural,” dalam Majalah Pancasila Abadi, edisi Maret 1995, hlm. 54.
[18] Irwan Setiawan, “Santri”, dalam Majalah Pancasila Abadi, edisi Maret 1995, hlm. 42.
[19] Didiet Haryadi Priyohutomo, “Santri dan Basis Kultural,” dalam Majalah Pancasila Abadi, edisi Maret 1995, hlm. 54
[20] Irwan Setiawan, “Santri”, dalam Majalah Pancasila Abadi, edisi Maret 1995, hlm. 42.
[21] Ramlan Surbakti,  Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 131.
[22] Ibid., hlm. 15.
[23] Miriam Budihardjo, Dasar-dasar ttmu Politik (Jakarta: FT Gramedia, 1998), hlm. 49.
[24] Ibid., hlm. 33.
[25] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 240-302.
[26]  Ibid., hlm. 334.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perilaku Politik Santri di Pondok Pesantren"

Post a Comment