Makalah Perkawinan yang Dilarang dalam Hukum Islam
Perkawinan yang Dilarang dalam Hukum Islam |
PERKAWINAN DAN LARANGAN PERKAWINAN
DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian, Tujuan dan
Prinsip Perkawinan dalam Hukum Islam
Islam
mengatur perkawinan dengan sangat teliti dan terperinci untuk membawa umat
manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang sangat mulia
ditengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan
manusia laki-laki dan perempuan agar didasarkan atas rasa
pengabdian kepada Allah sebagai maha pencipta dan kebaktian kepada manusia guna
melangsungkan jenisnya.
1. Pengertian perkawinan
Pengertian
perkawinan dapat dilihat dari segi bahasa dan istilah. Secara bahasa “kawin”
adalah terjemahan dari kata :
Yang mempunyai arti :
Sedangkan
dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan
perempuan untuk menjadi suami istri secara resmi.[3]
Nikah
menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqi) dan arti kiasan (majaz).
Arti sebenarnya dalam nikah adalah dham yang berarti menghimpit,
menindih atau berkumpul. Sedang arti kiasannya adalah wata’ yang
berarti bersetubuh atau akad yang berarti mengadakan perjanjian
pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak
dipakai dalam arti ikatan dari pada arti yang sebenarnya. Bahkan nikah dalam
arti sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini.[4]
Adapun
dari sisi istilah yang juga terkenal dengan sebutan dari sisi syari’ah
perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[5]
Dari
bunyi pasal tersebut dapat diambil pengertian bahwa ikatan lahir berarti para
pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formal merupakan suami istri.
Ikatan batin berarti dalam batin suami istri harus ada niat yang
sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
dan membina keluarga bahagia dan kekal. Kedua unsur antara lahir dan batin
tersebut harus ada dalam setiap perkawinan.
Dalam
buku Hukum Perkawinan Islam, KH Ahmad Azhar Basyir memberikan
pengertian bahwa “nikah” adalah suatu aqad atau perikatan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman dan rasa
kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.[6] Jadi apabila seorang laki-laki
dan perempuan telah sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaklah
melakukan aqad nikah terlebih dahulu. Dalam Al-Qur’an
perkawinan disebut dengan nikah dan misaq (Perjanjian).[7]
Pernikahan
adalah “Sunatullah”, hukum alam di dunia yang umum dan berlaku untuk semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh- tumbuhan. Pernikahan
adalah jalan yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Sebagaimana firman Allah :
Dalam
Firman yang lain :
Berdasarkan
firman Allah tersebut, jelaslah bahwa perkawinan adalah salah satu asas pokok
hidup yang pertama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Pernikahan
akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan itu sendiri.
Adapun
tentang makna pernikahan secara definitif, masing-masing ulama fiqh berbeda
dalam mengemukakan pendapatnya, paling tidak empat golongan mazhab adalah
sebagai berikut :
1) Ulama “hanafiah”,
mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan
sengaja. Artinya seorang lelaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan.
2) Ulama “Syafi’iyah”,
menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan mengunakan lafal
“nikah/zauj". Yang menyimpan arti “memiliki wati”. Artinya dengan
pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari
pasangannya.
3) Ulama “Malikiyah”,
menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti “mut’ah”
untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya harga.
4) Ulama “Hanabilah”,
menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal “nikah” atau
“ tazwiji” untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang
laki-laki dapat memperoleh dari seorang perempuan dan sebaliknya.[10]
Dari
beberapa pengertian diatas maka penyusun dapat kemukakan bahwa pernikahan
adalah suatu akad seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan
kesukaan kedua belah pihak yang dilakukan oleh wali menurut sifat dan syarat-syarat
yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan perempuan antara keduanya
sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu
sebagai teman hidup dalam rumah tangga.
Demikianlah
maksud pernikahan yang sejati dalam Islam. Singkatnya, untuk kemaslahatan dalam
rumah tangga dan keturunan serta untuk kemaslahatan masyarakat.
Oleh
sebab itu, syari'at Islam mengadakan beberapa syarat untuk menjaga keselamatan
ini.[11] Tetapi sebelum menerangkan
syarat-syarat dan rukun terlebih dahulu akan diuraikan tujuan pernikahan dalam
Islam.
2. Tujuan pernikahan
Pada
umumnya tujuan nikah tergantung pada masing-masing individu yang akan
melakukannya, karena tujuan nikah lebih bersifat subyektif. Namun demikian ada
tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan
pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin
dunia akhirat.
Adapun
tujuan perkawinan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan
seksual
Semua
laki-laki dan perempuan mempunyai insting seksual yang kadar dan intensitasnya
berbeda. Dengan pernikahan seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya
kepada seorang perempuan dengan sah dan begitu Pula sebaliknya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT :
2. Menjaga kehormatan
Kehormatan
yang dimaksud adalah kehormatan diri sendiri, anak maupun keluarga. Tujuan ini
tersirat dalam surah Al-Ma’arij :
والذين هم لفروجهم حافظون (29) إلاّ على ازواجهم أو ماملكت ايمانهم
غير ملومين (30). [13]
3. Memperoleh ketenangan
dan kasih sayang.
Hidup
berkeluarga perlu adanya ketenangan, cinta dan kasih sayang lahir batin. Firman
Allah :
ومن ءاياته أن خلق لكم من أنفسكم ازواجا لتكونوا اليها وجعل بينكم
مودّة ورحمة. [14]
4. Memperoleh keturunan
Insting
untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi
memiliki anak bukanlah suatu merupakan suatu kewajiban melainkan adalah suatu
amanah dari Allah SWT. Walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan
tidak mempunyai keturunan (mandul). Tujuan ini sesuai dengan firman Allah :
5. Menjalankan perintah Allah dan Sunnah Nabi
Perkawinan
bukan merupakan hasil dari pemikiran umat manusia, akan tetapi merupakan suatu
syari’ah agama. Oleh karena itu perkawinan merupakan suatu peribadatan atau
pengabdian seorang hamba kepada Allah dan dengan perkawinan berarti
melaksanakan syari’at agama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi :
Kawinilah
wanita yang suka mencintai suaminya lagi produktif. Sesungguhnya aku terhadap
umat-umat lainnya dengan banyak keturunan.
3. Prinsip-prinsip
perkawinan Islam
Ada beberapa
prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar perkawinan
itu benar-benar berate dalam hidup manusia, menurut, Dr. Khoiruddin
Nasution, MA. Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut :
a). Musyawarah dan Demokrasi
Bahwa
dalam segala aspek kehidupan dalam berumah tangga harus diputuskan dan
diselesaikan dengan hasil musyawarah antara suami dan istri. Sedangkan maksud
demokrasi adalah bahwa antara suami dan istri harus saling terbuka dan menerima
pandangan dan pendapat pasangan. Dengan prinsip musyawarah dan demokrasi ini
diharapkan akan memunculkan kondisi yang saling melengkapi antara satu dengan
yang lain.
b). Menciptakan Rasa Aman
dan Tenteram Dalam Keluarga.
Artinya
bahwa dalam kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana yang
merasa saling kasih, saling asih, saling cinta dan saling melindungi. Dengan
adanya keseimbangan antara kewajiban dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang
aman, nyaman dan tenteram serta kerinduan anggota keluarga dengan yang lainnya.
c). Menghindari adanya
Kekerasan
Yaitu
menghindari kekerasan baik fisik maupun Psikis. Bahwa jangan sampai ada pihak
dalam keluarga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindakan kekerasan
dalam bentuk apapun dan dengan dalih apapun. Sedangkan yang dimaksud
menghindari kekerasan psikis adalah suami dan istri harus menciptakan suasana
yang aman, merdeka, tenteram dan bebas dari bentuk segala ancaman.
d). Hubungan Suami Istri
Sebagai Hubungan Patner
Tujuan
perkawinan akan tercapai, jika pasangan suami istri bermitra dan memposisikan
diri sebagai pasangan yang sejajar dalam kehidupan berumah tangga.
e). Prinsip Keadilan
Bahwa
suami dan istri menempatkan posisi pada yang semestinya (Proporsional). Demikian
juga dalam pembagian tugas, baik pekerjaan rumah maupun di luar harus dibagi.[17]
Kalau
kita perhatikan dengan seksama, prinsip-prinsip di atas lebih terfokus pada
setelah terjadinya perkawinan, maka supaya lebih lengkap penyusun kemukakan
prinsip-prinsip yang lain, seperti :
1). Pilihan hidup yang tepat
2). Perkawinan didahului
peminangan.
3). Ada ketentuan
tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
4). Perkawinan didasarkan
atas suka rela antara pihak yang bersangkutan.
5). Ada persaksian
dalam akad nikah.
6). Perkawinan tidak
ditentukan dalam waktu tertentu.
7). Ada kewajiban
membayar mas kawin atas suami.
8). Ada kebebasan
mengajukan syarat dalam akad nikah.
9). Tanggung jawab keluarga
pada suami.
Dengan
demikian lengkap sudah tentang Prinsip-prinsip perkawinan agar tujuan
perkawinan sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat tercapai.
B. Peminangan
dan Kafa'ah dalam Hukum Islam
1. Peminangan dalam hukum
Islam
Sesuai
dengan prinsip perkawinan dalam Islam, bahwa perkawinan tidak ditentukan untuk
waktu tertentu akan tetapi untuk seumur hidup. Untuk prinsip tersebut Islam
mengatur hukum pinang-meminang sebelum akad nikah dilaksanakan.
Dalam
masa pertunangan kedua belah pihak dapat saling kenal-mengenal atau saling
menjajaki. Diharapkan keputusan yang diambil setelah peminangan itu adalah keputusan
yang tepat.
a). Pengertian meminang
“Peminangan”
dalam ilmu fiqh disebut “khitbah” yang artinya adalah “permintaan”. Menurut
istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu sendiri
secara langsung atau dengan perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai
dengan ketentuan agama.[19]
Sedangkan
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah memberikan definisi
meminang sebagai berikut :
Meminang
termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan agar kedua belah pihak
saling mengenal sehingga pelaksanaan pernikahan nanti benar-benar berdasarkan
pandangan dan penilaian yang jelas.
Adapun
wanita yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Tidak terdapat
halangan-halangan syara’ untuk dikawini seketika oleh laki-laki yang meminang
karena tidak ada hubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan
dengan laki-laki lain atau tidak sedang menjalani iddah talak Raj’i.
b). Melihat pinangan
Melihat
wanita yang dipinang dianjurkan oleh agama. Tujuan dari anjuran ini adalah agar
tidak mengetahui keadaan wanita yang dipinang itu menjadi sebab bagi si
peminang untuk menceraikan istrinya setelah ia melaksanakan akad nikah.
Tujuan
“melihat” itu adalah untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari calon
isteri, sehingga suatu perkawinan baru dilaksanakan setelah masing- masing
pihak telah menyukai diri mereka masing-masing.[22]
Demi
kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kebaikan dan kesenangannya, hendaklah
laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya, sehingga ia dapat
menentukan apakah peminangan itu perlu diteruskan atau diurungkan. Dalam agama
Islam melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selam dalam
batas-batas tertentu.
Tentang
tempat-tempat yang boleh dilihat, terdapat perbedaan pendapat diantara para
ulama. Akan tetapi dalam hal ini penyusun hanya mengemukakan pendapat jumhur
ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa laki-laki yang meminang seorang wanita
hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya saja. Karena dengan melihat muka
seseorang dapat dilihat cantik atau tidaknya wanita itu. Sedangkan dari telapak
tangannya dapat diketahui subur atau tidaknya wanita itu.[23]
Karena
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sehari-hari
pada bangsa-bangsa di dunia terdapat hubungan yang bebas sedang ada pula hampir
saja tidak ada hubungan sama sekali. Oleh sebab itu dalam hal melihat wanita
yang akan dipinang itu, sebaiknya disesuaikan dengan kebiasaan setempat, sesuai
dengan kesopanan dan ahklak yang ditetapkan oleh agama. Dalam hal ini yang
penting adalah bagaimana caranya agar masing-masing pihak dari calon mempelai
mengetahui yang lain dan sebaliknya, sehingga menimbulkan persetujuan dan
kerelaan dalam arti yang sebenarnya.[24]
Jadi
selain muka dan telapak tangan laki-laki boleh melihat bagian- bagian yang
menurut kebiasaan dapat tampak pada waktu seseorang menemui tamu secara sopan
di rumahnya yaitu telapak kaki, rambut, leher dan lengan dari wanita yang
dipinang itu.[25]
Ketentuan
itu berlaku juga bagi perempuan terhadap laki-laki yang akan meminangnya.
Perempuan yang dilihat sebelum dipinang diperbolehkan pula melihat dan
menilainya, sebab perempuan berhak pula menentukan pilihannya.[26]
2. Kafa’ah dalam hukum Islam
Untuk
dapat terbina dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah maupun mawaddah
warohmah, Islam menganjurkan adanya keseimbangan dan keserasian,
kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon pengantin itu. Akan tetapi hal
ini bukan merupakan sesuatu hal yang mutlak, melainkan suatu hal yang harus
diperhatikan guna mencapai suatu pernikahan yang bahagia dan abadi.[27]
Sebelum
melangkah ke jenjang perkawinan ada kesesuaian yang harus diperhatikan untuk
mewujudkan tujuan tersebut yaitu dengan istilah kafa’ah (kesesuaian).
Maksud
syari’ah Islam adalah bahwa ikatan perkawinan harus dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang wanita yang bila dilihat dari latar belakangnya ikatan
cinta dan kasih sayang. Bila kemungkinan ini tidak ada, maka terjadinya
perkawinan diantara orang itu tidak diharapkan, paling tidak, baiknya seorang
laki-laki melihat terlebih dahulu seorang wanita sebelum ia mengawininya.[28]
Hal
ini menerangkan bagaimana syari’ah menekankan kesesuaian (kufu) ini.
Perkawinan antara pasangan yang tidak kufu tidak disetujui.
Bila seorang laki-laki dan wanita berasal dari keluarga yang saling mempunyai
pandangan yang berkesesuaian atau paling tidak hampir sama dalam hal moralitas,
agama, kelakuan sosial dan cara-cara mengatur rumah tangga dalam kehidupan
sehari-harinya, maka itulah yang selayaknya dapat mengembangkan ikatan cinta
dan kasih sayang.[29] Perkawinan mereka diharapkan dapat
menjadikan hubungan kedua keluarga itu makin akrab.
Di
lain pihak, bila kedua keluarga itu mempunyai sedikit kesamaan, kemungkinan
yang lebih besar yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
perasaan mereka, pasangan itu akan gagal untuk menyesuaikan diri dengan
perangai masing-masing. Walaupun pasangan itu saling mencintai harapan untuk
mengakrabkan keluarga-keluarga mereka sangat kecil. Inilah inti sari kufu dalam
hukum Islam.[30]
Adapun
arti kafa’ah adalah serupa, seimbang atau serasi. Maksudnya
keseimbangan dan kesesuaian antara calon isteri dan suami sehingga masing-
masing calon merasa tidak berat untuk melangsungkan perkawinan.[31]
Ditinjau
dari alasannya, kufu itu hanya berlaku mengenai keagamaan,
baik mengenai pokok agama, seperti Islam dengan bukan Islam, maupun
kesempurnaannya, misalnya orang yang baik (taat) tidak sederajat dengan orang
jahat (orang yang tidak taat ).[32]
Sedangkan
yang berhak atas kafa’ah adalah wanita dan yang berkewajiban
atas kafa’ah adalah pria. Jadi yang dikenal persyaratan
harus kufu atau setaraf itu adalah laki-laki terhadap wanita.
Sedang kafa’ah adalah hal yang harus diperhitungkan dalam
melaksanakan suatu perkawinan. Kafa’ah ini adalah hak wanita
dan wali, oleh karena itu keduanya berhak menggugurkan kafa’ah.[33]
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan tolak ukur sederajat atau kufu dalam
perkawinan adalah berdasarkan akhlak dan agama, bukan kedudukan sosial,
keturunan, kepandaian, kekayaan, dan latar belakang keluarga.
Adanya
konsep bibit, bobot, dan bebet seperti yang kita
kenal ditengah masyarakat haruslah didasarkan pada agama bukan didasarkan pada
tradisi masyarakat setempat.[34]
Maksudnya
calon suami dan istri harus punya bibit, bobot, dan bebet agama
yang tinggi.
C. Rukun
dan Syarat Perkawinan dalam Hukum Islam
Dalam
pasal 2 ayat (1) U.U. Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[35]
Sedangkan
menurut hukum perkawinan Islam yang dijadikan pedoman sah tidaknya suatu
perkawinan itu adalah dipenuhinya rukun dan syarat-syarat yang berdasarkan
agama Islam. Dalam hal ini, hukum Islam mengenal perbedaan antara rukun dan
syarat perkawinan. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah
hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun,
perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat
adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk dari
hakekat dari perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat-syaratnya dari
perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinan itu tidak sah.[36]
Adapun
rukun perkawinan tersebut antara lain :
1). Adanya kedua mempelai
2). Adanya Wali
3). Adanya dua orang saksi
Pada
intinya, rukun perkawinan terletak pada adanya unsur kerelaan dari kedua calon
pengantin, oleh karena itu, rukun perkawinan yang sangat penting adalah ijab dan qobul yang
menandai unsur kerelaan dan kecocokan itu.[38]
Adapun
syarat ialah sesuatu yang mesti ada dalam perkawinan, tetapi tidak
termasuk salah satu bagian dari hakikat perkawinan itu.[39] yang apabila tidak terpenuhi
perkawinan dapat terjadi dan berlangsung, tetapi menurut hukum Islam dan undang-undang
, perkawinan itu dianggap tidak sah.
Dengan
demikian pembahasan rukun dan syarat perkawinan dapat diuraikan sebagai berikut
:
1) Kedua mempelai, dengan
syarat :
a). Telah balig dan
mempunyai kecakapan yang sempurna.
b). Berakal Sehat
c). Tidak karena paksaan
d). Wanita yang hendak
dikawini bukan termasuk salah satu macam wanita yang haram untuk dikawini.[40]
2) Wali, dengan syarat :
a). Beragama Islam
b). Sehat
c). Dewasa
Adapun
susunan wali (Bagi pihak perempuan)
dalam suatu
perkawinan, yaitu :
a). Bapaknya
b). Kakeknya
c). Saudara laki-laki
sekandung
d). Saudara laki-laki yang
sebapak saja
e). Anak laki-laki dari saudara
laki-laki yang sebapak saja
f). Anak laki-laki dari
saudara laki-laki yang seibu saja
g). Saudara bapak yang
laki-laki (Paman)
h). Anak laki-laki pamannya
dari pihak bapaknya
3) Dua Orang Saksi, dengan
syarat
a). Laki-laki Muslim
b). Baliq
c). Berakal
4) Aqad Nikah (Ijab Qobul)
Shigot akad nikah terdiri
atas "ijab" dan "qobul". "ijab" adalah pernyataan
pihak calon istri bahwa ia bersedia dinikahkan dengan calon suami. Sedang
"Qobul" adalah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia
menerima kesediaan calon istrinya.[44]
Shigot ijab qobul harus
didasarkan pada kalimat النكاح atau التزويج atau arti dari
kedua kalimat itu, yaitu nikah atau kawin. Jadi lafadz ijab qabul oleh ayah
terhadap calon mempelainya antara lain sebagai berikut :
انكحتك اوزوجتك بنتى .......بمهر.......حالا
“Aku nikahkan engkau
atau aku kawinkan engkau dengan anakku…. dengan maskawin …..tunai.” (Ijab).
قبلت نكاحهابمهر .... حالا
“Aku terima nikahnya dengan mas kawin….tunai.” (Qabul)
Mengenai
lafadz ijab qobul ini harus dengan kata "nikah" atau
"tazwij" atau arti dari keduanya. Bagi yang bisa dan mengerti bahasa
arab, hendaklah menggunakan bahasa arab, bagi yang tidak cukup dengan
melafadzkan terjemahnya.[45]
Adapun
Syarat-syarat ijab Qobul adalah :
1). Sadar (Sudah Tamyiz)
2). Segera (Bersambung
antara Ijab dan Qobul)
3). Satu Majlis
4). Rela sama rela (Tidak
ada)
Dengan
demikian suatu perkawinan akan disebut sah, apabila terpenuhi rukun dan
syaratnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
D. Perkawinan yang
dilarang dalam Islam
Pada
sub bab sebelumnya telah diterangkan tentang pengertian, tujuan dan prinsip
perkawinan dalam Islam. Melaksanakan perkawinan dengan tidak ada maksud untuk
mencapai tujuan dan tidak sesuai dengan asas yang telah ditetapkan, adalah
perkawinan yang menyimpang dari yang telah disunnahkan Rasululloh SAW dan tidak
sesuai dengan tujuan yang disyari’atkan oleh hukum
Islam.
Diantara
tanda-tanda perkawinan yang menyimpang dari tujuan dan asas- asas adalah
perkawinan yang semata-mata hanya untuk memuaskan hawa nafsu belaka, bukan
untuk melanjutkan keturunan, bukan untuk membentuk keluarga muslim yang bahagia
dan diridhoi Allah, perkawinan untuk waktu-waktu tertentu dan sebagainya.[47]
Adapun
perkawinan-perkawinan yang dilarang dalam Islam selain yang sudah diatur secara
qaht’i ketidak bolehannya dalam Al-Quran adalah sebagai berikut :
1). Nikah Mut’ah
Nikah
Mut’ah disebut juga kawin sementara atau kawin yang terputus, yaitu
terhadap wanita untuk satu hari, satu minggu, atau satu bulan. Disebut kawin
mut’ah karena dengan perkawinan tersebut laki-laki dapat menikmatinya
sepuas-puasnya sampai saat yang sudah ditentukan dalam akad.[48]
2). Nikah Muhallil
Nikah Muhallil adalah
nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas istri yang sudah ditalaq tiga
kali bagi suami yang telah mentalaknya itu, sehingga mereka dapat kawin
kembali.
Menurut
hukum Islam jika suami sudah mentalak istrinya tiga kali, maka kedua bekas
suami istri itu tidak boleh kawin untuk selamanya, kecuali apabila bekas istri
sudah kawin dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya, kemudian
bercerai atau suami kedua meninggal dunia dan telah habis masa iddahnya.[49] Hal ini berpijak pada firman Allah
:
3). Nikah Syighar
Yang
dimaksud nikah syighor adalah seorang laki-laki menikahkan
seorang wanita yang dibawah perwalianya dengan laki-laki lain, dengan syarat
laki-laki itu menikahkan pula seorang wanita yang di bawah
perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaannya membayar mahar.
Adapun
sebab diharamkannya nikah syighor adalah karena dalam syighor akad
nikah tersebut tidak disebutkan kesediaannya membayar mahar oleh
suami kepada calon istri.[51]
4). Nikah Tafwidh
Nikah tafwidh adalah
nikah yang di dalam syigat akadnya tidak dinyatakan kesediaan
membayar mahar oleh pihak calon suami kepada pihak calon
istri.
5). Nikah yang kurang dari
salah satu syarat atau rukunnya
Apabila
nikah dilaksanakan kurang dari salah satu syarat atau salah satu rukunnya ,
maka nikah itu dinyatakan batal atau nikah itu dianggap tidak pernah terjadi.
Pada
dasarnya larangan perkawinan menurut hukum Islam selain contoh- contoh yang
sudah disebutkan diatas, masih terdapat larangan perkawinan berdasarkan asas
selektifitas, yaitu :[52]
a) Larangan perkawinan
karena berbeda agama
b) Larangan perkawinan
karena hubungan darah yang hampir dekat
c) Larangan perkawinan
karena hubungan sesusuan
d) Larangan perkawinan
karena semenda
e) Larangan perkawinan
karena poliandri
f) Perkawinan terhadap
wanita yang dili’an
g) Larangan perkawinan
(menikahi) wanita atau pria pezina
h) Larangan perkawinan dari
bekas suami terhadap wanita bekas istri yang ditalak tiga
i) Larangan perkawinan bagi
suami yang telah beristri empat
Dari
beberapa macam larangan perkawinan dalam Islam yang tersebut di atas, pada
dasarnya adalah untuk mengacu hakikat dari hakekat perkawinan yang sebenarnya.
Konsep-konsep larangan itu pula adalah untuk kepentingan hukum bagi generasi
selanjutnya.
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-1
(Jakarta: Yayasan Penyelengara dan Penterjamah/Penafsiran al-Qur'an
Jakarta,1972), hlm. 467.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Indonesia, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 614.
[4] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang
Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm.
[10] Abdurrohman
al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘ala Maza>hib al-Arba’ah, cet. ke-1
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1607), IV: 2-3.
[16] Abu Da>wud, Sunan
Abi Da>wud (Beirut: Da>r al-Fikr,1414 H/ 1994 M), II:
180, hadis Nomor 2050, “Kita>b an-Nika>h,” “ B>s>b. az-Za>ni>
la>yankihu illa> Za>niatu,” hadis dari Mu’awiyah bin Qurroh dari ma’kil bin yasa>r.
[17] Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan
Istri, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tazzafa, 2005), hlm. 52-63.
[19] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang
Perkawinan, get. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang , 1993), hlm. 28.
[22] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Tentang
Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993 ), hlm.33-34.
[24] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang
Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm.33-34.
[28] Abul a’la al-Maududi dan Fadl Ahmed, Pedoman
Perkawinan Dalam Islam, cet. ke-2 (Jakarta: Darul Ulum Press, 1994 ), hlm.
16.
[34] Muhammad Talib Petunjuk Menuju Perkawinan Islam,
cet.ke-1 ( Bandung : Irsad Baitus Salam ), hlm.47.
[36] Ny, Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan U U Perkawinan,
cet. ke-4 (Yogyakarta: Liberty, 1999 ), hlm.30.
[40] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU. Perkawinan ,
cet. ke-4 (Yogyakarta : Liberty, 1999 ), hlm. 30-31.
[44] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
cet. ke-3 (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1993 ), hlm.26.
[46] Mualif Saklang, Perkawinan dan Problematikanya, cet.
ke-1 (Yogyakarta: Sumbangsih Ofset,1991), hlm.38.
[47] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang
Perkawinan cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang , 1993 ), hlm. 110.
[48] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang
Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 110.
0 Response to "Makalah Perkawinan yang Dilarang dalam Hukum Islam"
Post a Comment