Image1

Makalah SPI Persaudaraan yang Diikat Rasulullah

PENDAHULUAN
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.[1]
            Muhammad adalah manusia fenomenal dalam sepanjang sejarah kehidupan dan peradaban manusia. Beliau adalah manusia biasa, namun memiliki keistimewaan-keistimewaan yang langsung di berikan Allah kepadanya, karena saking istimewanya, Allah mengabdikan nama Muhammad dalam salah satu surat Al-Qur’an yaitu surat ke-47.
            Muhammad yang juga mempunyai nama Ahmad dipilih dan diangkat menjadi Nabi dan Rosul terakhir, setelah usianya memasuki masa-masa senja yaitu 40 tahun. Sebuah usia yang cukup yang untuk mengayomi, membimbing dan memimpin rakyat / umatnya. Dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari, beliau menerima serangkaian wahyu Allah, dan menyampaikanya kepada umatnya. Tentu saja beliau diiringi dengan tantangan, ujian dan cobaan yang tidak ringan. Dalam jangka waktu kurang lebih 23 tahun itu, Islam yang dibawa Muhammad telah dinyatakan sebagai agama yang menggenapi dan menyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi sebelumnya ( S. Al-Maidah: 3 ).
            Sesungguhnya kedatangan risalah Muhammad Rosulullah memberikan kabar gembira akan kelahiran hak dan kebenaran yang telah padam cahayanya dan merupakan permulaan timbulnya kebaikan yang telah dinanti-nanti. Juga memberi kabar genbira akan kembalinya sifat-sifat yang luhur serta nilai-nilai yang tinggi menempati kedudukannya yang layak setelah sekian lama direndahkan dan ditinggalkan.

Sosok Muhammad

            Nabi Muhammad mempunyai paras muka yang manis dan indah, perawakanya sedang tidak terlalu tinggi juga tidak pendek, jika beliau berjalan bersama orang yang lebih tinggi maka akan kelihatan tinggi dan jika berjalan bersama orang ayng lebih pendek maka akan kelihatan menyeimbanginya. Dahinya lebar dan rata diatas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertauat, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-mersahan tampak lebih menarik dan kuat; pandanagan matanya tajam dengan bulu mata yang hitam dan pekat.
Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang, warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya tebal.
Bila berjalan badanya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air matanya membayangakan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukan kewibawaanya yang membuat orang patuh kepadanya.[2]
            Muhammad yang telah mendapat karunia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khodijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekkah memandangnya dengan rasa gembira dan rasa hormat. Sifatnya yang rendah hati lebih kentara lagi apabila ada yang mengajaknya bicara, beliau mendenagarrkan degan hati-hati sekalitanpa menoleh pada orang lain. Bila berbicara selalu sungguh-sungguh tetapi beliau tidak melupakan ikut membuat humor dan besenda gurau, tapi yang dikatakanya selalu yang sebenarnya. Bila beliau marah tidak pernah sampai tampak kemarahanya, hanya saja antara kedua keningnya tampak sedikit  berkerinagt. Ini disebabkan karena belau menahan rasa amarah dan tidak mau menampakannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain, bijaksana, murah hati dan mudah bergaul, tapi beliau mempunyai tujuanm pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya.[3]
            Sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengannya. Bagi orang yang melihanya tiba-tiba, sekaligus akan timbul  rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengannya akan timbul rasa  cinta kepadanya.

Sebagian dari sifat Nabi Muhammad 
            Muhammad mempunyai keyakinan bahwa, barang siapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk kedalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi orang yang sudah beriman akan tumbuh kuat imanaya, sedang bagi yang masi ragu-ragu atau yang lemah akan segera pula menerima iman itu.[4]
Pikiran itulah yang membuat Nabi ingin tinggal di Yathrib (Madinah), kearah itu pikirannya ditujukan dan dengan tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Beliau tidak pernah memikirkan kerajaan, harta benda atau perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masing-masing. Sedangkan penduduk Madinah pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin _ Mihajirin dan Anshor, orang-orang Musyrik diri sisa-sisa  kaum Aus dan Khazraj. Baik bagi seoranng Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang menjamin kebebasan dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan integral dan terhormat. Setiap tindakan yang menentan kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubuagan yang menjalin rasa kasih sayang dan persatuan,bukan rasa kebencian dan kehancuran.
Sebaliknya golongan musyrik akibat peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali ditengah-tenga kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi, dengan tiada rugu-ragu mereka pun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, _ bangsa pilihan Tuhan dari Palestina, Tanah yang dijanjikan di tanah air mereka itu. Tujuanya yang pokok akan mencapai Yathrib tanah airnya yang baru _ ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelum di Yaman memang sudah pernah ada. 

 

Persaudaraan dikalangan Muslimin

Kaum Muhajirin dan Anshor, karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah bersatu erat sekali. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Nabi belum hilang sama sekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama dikalangan mereka akan tinbuk kembali. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan, mungkin usaha ini akan tampak juga pengaruhnya.
Setelah beberapa masa Nabi tinggal di Madinah, dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun barisan kaum Muslim serta mempererat perssatuan mereka, guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama dikalangan mereka itu.
Sebagai langkah selanjutnya Nabi mengajak kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, antara kaum Muhajirin dan Anshor. Beliau sendiri bersaudara dengan Ali bin Abi Thalib, Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, Abu Bakar bersaudara dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khotob bersaudara dengan ‘Itban bin Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Madinah _ sesudah mereka menyusul Nabi ke Madinah. Mereka dipersaudarakan pula dari setiap orang dari pihak Anshor, yang oleh Nabi lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasib. Mereka diikat dengan tali kasih sayang, mereka yang belum dippperaudarakan oleh Nabi _ kaum Anshor saling berlomba-lomba untuk mendapatkan saudara dari kaum Muhajirin. Untuk mendapat seorang saudara, mereka terpaksa menggunakan undian, kaum Anshor menbagi alat rumah tangga mereka, harta benda, tanah ladang dan pengairan mereka. Bahkan kaum Anshor lebih mengutamakan saudaranya dari kaum Muhajirin daripada kepentingan diri mereka sendiri dan keluarganya. ( S.Al-Hasyr:
9 ). [5]
Pernah seorang Anshor berkata kepada seorang Muhajirin : “Ambilah dari separuh hartaku, dan pilihlan salah seorang dari dua istriku yang kau senangi untuk kukawinkan padamu setelah kuceraikan.”
Jawab Muhajirin: “Semoga Allah memberikan berkat ppadamu, keluargamu, dan hartamu. Tunjukan aku pasar”. [6]
Itulah salah satu contoh dari kisah rasa pengorbanan kaum Anshor dan rasa ketinggian budi seorang Muhajirin.[7]

 

Akibat lain dari persaudaraan yang telah di ikat oleh Nabi.

            Sebelum Nabi hijrah ke Madinah, untuk mendukung suksesnya perintah hijrah maka persoalan waris mewarisi pada periode hijrah ini dikaitkan dengan hijrah itu sendiri. Oleh karenanya sebab-sebab mewarisi karena tiga hal pada masa Jahiliyah [8]  mengalami perubahan. Yang sebelumnya :
  1. Pewarusan karena ada hubungan nasab dengan pewarisnya.
  2. Pewarisan karena ada ikatan sumpah setia.
  3. Pewarisan karena pengangkatan anak.
Pewarisan setelah ada perubahan : [9]
  1. Hijrah dari Makkah ke Madinah.
Ialah apabila orang Muhajirin ada yang meninggal dunia dalam perjalanan hijrah atau pada waktu di Madinah, maka yang berhak mewarisinya hanyalah orang-orang yang telah disebutkan diatas tetapi yang sama-sama ikut hijrah.
  1. Persaudaraan yang diikat oleh Nabi antara Muhajirin dan Anshor.
Persaudaraan ini sebagai sebab mendapat warisan, ialah apabila orang Muhajirin meninggal di Madinah dan tidak ada seorangpun saudaranya yang ikut hijrah, maka yang berhak mewarisinya hanyalah orang Anshor yang telah dipersaudarakan oleh Nabi. Demikian halnya apabila ada orang Anshor yang meninggal dan tidak seorangpun kerabatnya, maka yang berhak mewarisinya ialah Muhajirin yang telah menjadi saudaranya.
            Sedemikian besarnya persaudaraan yang telah terjalin diantara mereka, sampai-sampai ada dua orang bersaudara yang tidak mengakui saudaranya sendiri lantaran saudaranya bukan seorang Muslim. Jadi persaudaraan seagama / sekepercayaan itu lebih kuat dari persaudaraan sekandung.
Sebagai contoh diatas mengisahkan bahwa :
Searang Musyrik yang bernama Abu Aziz bin Umair bin Hasyim saudara kandung Mus’ab bin Umair. Mus’ab seorang yang memegang bendera Islam, sedangkan Abu Aziz pemegang bendera kaum Musyrikin dari perang Badar. Ketika Mus’ab melihat saudara kandungnya sedang diikat oleh seorang Anshor, maka dia brkata: “Ikatlah sekuat-kuatnya, dia putra seorang wanita kaya yang semoga Ibinya akan menebusnya dari padamu”. Kemudian Abu Aziz berkata pada saudara kandungnya :   “Hai saudaraku, apakah pantas kamu menyuruh orang itu berbuat demikian padaku?”. Mus’ab menjawab ; “Orang itu adalah saudaraku, tapi kamu bukan saudaraku”.[10] 
KESIMPULAN
            Sifat ini untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari ridha Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang meliputi kebaikaan dan kasih sayang. Sumber ini juga dari jiwa yang kuat tidak kenal menyerah selain pada Allah, dan dengan ketaatan kepada-Nya ia tidak pula merasa lemah.               
            Ini adalah persaudraan dari Tuhan antar Muhammad dan dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Disilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada keadilan  disaming persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.[11]
Persaudaraan inilah yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan sebelum rasa kasih sayang tanpa suatu sikap lemah dan mudah menyerah.










DAFTAR PUSTAKA
  1. Al-Qur’an Dan Terjamahnya, Departemen Agama RI, Jakarta: 1993.
  2. Hadits Riwayat Bukhori.
  3. Abu Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, Riwayat Hidup Rasulullah, Cet:II, Bina Ilmu, Surabaya: 1989.
  4. Muhammad Ali Shabban, Teladan Suci Keluarga Nabi, Cet:XI, Al-Bayan, Bandung: 1999.
  5. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidupp Muhammad, Cet:XVII, Litera Antar Nusa, Jakarta: 1994.
  6. Bpk. Supriatna, Diklat Fiqih Mawaris, Fakultas Syari’ah.




[1] Surat Al-Ahzab ayat: 40.
[2] Muhammad Ali Shabban, Teladan Suci Keluarga Nabi, hlm: 42, Cet: XI, Al-Bayan, Bandung: 1999.
[3] Muhammad Husaen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm: 66-67, Cet: XVII, Litera Antar Nusa, Jakarta: 1994.
[4] Ibid, hlm: 194.
[5] Dan orang-orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman(Anshor) sebelum kedatangan mereka(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah keppada mreka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang di berikan kepada mereka(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang di pelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. 
[6] Hadits Riwayat Bukhory; Kisah Abdurahman bin Auf dan Saad bin Rabi’ Al-Anshori.
[7] Abu Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, Riwayat Hidup Rasul, hlm: 177, Cet: II, Bina Ilmu, Surabaya: 1989.
[8] Bpk. Supriatna ; Diklat Fiqih Mawaris.
[9] Ibid.
[10] Abu Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, hlm: 208.
[11] Muhammad Husain Hekal, hlm: 211.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah SPI Persaudaraan yang Diikat Rasulullah"

Post a Comment