Contoh Makalah Sistem Hukum Islam di Indonesia, Corak dan Pemikirannya
makalah sistem hukum islam | makalah sistem hukum islam di indonesia| contoh makalah sistem hukum islam
A. Pendahuluan
Pada saat pemerintahan Orde Baru memegang
tampuk kekuasaan, muncul banyak respon, baik positif maupun negatif, dari para
ulama dan intelektual Islam Indonesia ,
terutama menyangkut nasib agama ketika harus berhadapan dengan negara, atau
lebih spesifik lagi menyangkut relasi
antara hukum Islam (fiqh) dengan
negara Orde Baru beserta kebijakan ekonomi yang dijalankannya.
Munculnya
berbagai respon dari para ulama intelektual Islam indonesia
terkait dengan modernitas—pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru
tidak bisa dilepaskan dari adanya dua teori besar di dalam pemikiran hukum
Islam, yang memiliki paradigma dan cara pandang yang bukan saja berbeda, akan tetapi juga saling
bertentangan. Kedua teori tersebut adalah
Teori keabadian—atau biasa juga
disebut denag Normativitas Hukum Islam—dan Teori Adaptibilitas Hukum Islam. Teori pertama (
normativitas hukum islam ) berasumsi dan menyakini bahwa hukum Islam,
sebagai hukum yang ditetapkan oleh Tuhan, ia tidak mungkin bisa diubah, dan sebagai
konsekuensinya, ia juga tidak beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sementara
teori kedua (adaptabilitas hukum
Islam ) justru berasumsi bahwa hukum
Islam, sebagai hukum yang diciptakan tuhan untuk kepentingan umat manusia, maka
ia bukan saja bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, akan tetapi ia juga
bisa diubah demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Pertarungan wacana antara kelompok ini, sepanjang Orde Baru sungguh
menarik untuk dicermati dan diperbincangkan karena berkait dengan nasib hukum
Islam untuk konteks masa depan: dalam arti haruskah hukum Islam diposisikan
sebagai hukum negara
yang mengabdi pada
kepentingan penguasa atau sebaliknya, ia diposisikan sebagai
hukum swasta yang mengabdi pada kepentingan
masyarakat.
B. Fenomena Pemikiran
Hukum Islam Di Indonesia
Dalam perspektif
sejarah, dinamika pemikiran hukum Islam di indonesia setidaknya
menunjukkan satu fenomena
transformatif dan remedialis, walaupun masih tampak
kuat nuansa paralelisme di dalamnya
sehingga kesan tautologinya masih
ada. Sederet nama telah
mencoba mengaktualisasikan pemikiran-
pemikiranya dalam ranah
hukum Islam. Upaya
ini bahkan sebenarnya telah
banyak dimulai jauh
sebelum kemerdekaan[1] Narasi
pascakemerdekaan dapat dimulai
pada dekade 1960-an dengan munculnya
ide Fiqh Indonesia . Pada
perkembangannya gagasan ini
ditindaklanjuti oleh Hazairin
dengan tema sentralnya,
Fiqh Mazhab Nasional (Mazhab Indonesia ). Secara sederhana
( simplistis ), substansi
pemikiran ini berusaha
menyesuaikan
(mengkompromikan) spesifikasi
hukum adat dengan hukum Islam.
Pada pertengahan
1975, Abdurrahman Wahid
mengintrodusir sebuah pemikiran “ Hukum Islam sebagai penunjang
pembangunan “,[2] yang
secara umum mengarahkan pembicaraannya pada peran dan fungsi hukum islam untuk menunjang perkembangan
tata hukum positif di indonesia. Lahirnya Kompilasi
Hukum Islam ( KHI ),
yang penyebarluasannya disebutkan
dalam Intruksi Presiden
Nomor 1 tahun
1991, ternyata tidak membuat mati
munculnya berbagai pemikiran hukum
Islam individual yang inovatif. Ini merupakan fenomena menarik
sehubungan dengan
kedudukannya yang sering dianggap sebagai ijma’
Ulama Indonesia dalam
hukum keluarga Islam.
Banyak asumsi yang bisa diajukan berkaitan dengan fenomena tersebut, di
antaranya adalah adanya prakinsepsi
bahwa bagian-bagian tertentu dari pasalnya dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan proses kodifikasinya syarat muatan politik.[3] Terlepas apa yang diasumsikan, hal ini
semakin menguatkan tesis yang
mengatakan bahwa formalisasi
hukum Islam melalui konstitusi
negara hanya mempersempit ruang
gerak dan manfaat hukum
Islam itu sendiri,
dan mengantarkannya pada satu
sifat emaskulasi hukum ini.
Signifikasi lain
dari berbagai tema pemikiran ini adalah ia mampu menstimulasi lahirnya beberapa forum kajian hukum Islam, pencarian wacana baru bagi pengembangan hukum
Islam dan yang terpenting mampu
mengajarkan pada sejarah bahwa “ bagaimanapun perjalanan pemikiran ( ijtihad
) hukum Islam harus diteruskan”. Dalam semangat pembangunan berbangsa dan
bernegara, serta pencarian relasi ideal agama—negara, setidaknya bisa diasumsikan dalam
dua kerangka umum, yaitu partisipatif
dan pembebasan (emansipasi sosial). Perspektif pertama menghadirkan
hukum Islam sebagai alat rekayasa sosial ( Law as
a tool of
social engineering )[4] dengan negara (penguasa) sebagai
aktor perumusnya. Sementara perspektif
kedua mematrik hukum Islam
sebagai medium kritik sosial ( counter-discourse ) dengan rakyat (ulama
) sebagai pemerannya.
Pada
perspektif yang pertama,
sering kali terjadi proses deviasi,
reduksi, dan sublemasi yang hebat
terhadap apa yang sering disebut
sebagai “otentisitas” ajaran agama. Ia diramu sedemikian rupa
hingga bisa disebut “hukum Islam “, namun esensinya menjadi kering. Ia telah diperas dari dimensi empati
sosialnya. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum negara,
mengabdi untuk kepentingan dan melanggengkan kekuasaan negara (penguasa).[5] Realitas ini berbeda secara diametral dengan cita pendekatan kedua
yang titik berangkatnya dari dan untuk masyarakat (rakyat). Nuansa populis dan terkadang hadir dengan warna “oposan
“ atas berbagai kebijakan negara menjadi
trade mark-nya. Sebagai sarana advokasi, pendekatan kedua ini
memungkinkan hukum Islam untuk menjangkau kepentinga umum ( mashlahah al-
ammah ), serta dalam dataran ekstrim
akan membayangi legilasi dan kuasa negara atas rakyat.
C. Kerangka Teoritik
Dalam Hukum Islam
Teori yang akan
digunakan untuk menjawab berbagai
persoalan seperti diatas adalah
teori adaptabilitas hukum Islam, dengan
asumsi bahwa lahirnya
pemikiran-pemikiran ini adalah dalam kerangka menjembatani dilema antara
hukum Islam dengan dinamika sosial, dan lebih spesifik lagi adalah menjembatani hubungan Islam ( hukum Islam ) dengan modernitas dan teori pembangunanya
Seperti
diketahui, upaya untuk membangun dan merumuskan (ijtihad ) atas berbagai
ketetapan hukum Islam selalu berhadapan
dengan kondisi dan situasi tertentu
sehingga nuansa rekayasa dan sublimasi akan selalu tampak didalamnya.
Secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh Joachim Wach, pengalaman dan
pemikiran keagamaan yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya, yang
meliputi: [1] konteks waktu, [2] konteks ruang, [3] konteks sejarah [4]
konteks sosial, [5] konteks budaya, [6] konteks psikologi, dan [7] konteks agama.[6] Dan
hukum Islam adalah hasil olah
pikir diri yang sedikit banyak merefleksikan dimensi ruang dan waktu.
Perdebatan dan
teoritisasi mengenai pergumulan hukum Islam dan perubahan sosial yang merupakan
salah satu problem fundamental.
Polarisasi masalah setidaknya mengarah
pada dua kutub pandangan ekstrim. Pertama,
hukum Islam dianggap tidak mempunyai hikmah dan illat ( ratio
legit ) di balik formula legal formalnya, sebab ia adalah kehendak Tuhan.
Kedua, hukum Islam dianggap memiliki illat, hikmah, dan
tujuan. Sebab, jika tidak maka
tuhan menciptakan sesuatu yang
sia-sia, sesuatu yang
mustahil ada pada zat Tuhan.
Konsekuensinya, hukum Islam
terikat dengan dan harus dipahami
menurut latar belakang sosio kultural yang mengelilinginya. Bahwa secara filosofis, pemikiran hukum Islam
yang pernah dan sedang berkembang di indonesia menampakkan kecendrungan
yang kedua. Yang patut dicatat dari
perjuangan mempertahankan keberadaaan
hukum islam pada pascakemerdekaan
ini adalah banyaknya teori yang
bermunculan, sebagai counter theory
terhadap teori Receptie
yang lahir pada masa kolonial Belanda. Selain teori Receptie,
paling tidak ada teori lain yang muncul kemudian, yaitu: pertama
teori Receptiee Exit, yang
dikemukakan oleh Hazarin. Teori menyatakan bahwa teori Receptie
harus Exit ( keluar ) dari teori hukum Islam indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945
serta Al-Qur’an dan al- hadits. Kedua,
teori Receptie a Contrario
yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib. Teori ini menyatakan bahwa
hukum yang berlaku bagi rakyat indonesia adalah hukum agamanya,
hukum adat hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama. Ketiga teori Existensi, yang
dikemukakan oleh Ictijanto. Teori ini
hanya sebenarnya hanya mempertegas teori Receptio a Contrario dalam hubungannya dengan hukum Nasional. Menurut teori
Existensi ini, hukum Islam
mempunyai spesiifikasi: [a] telah ada
dalam arti sebagai bagian
integral dari hukum nasional; [b] telah ada dalam arti dengan kemandirian dan
kekuatan wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional serta
diberi status sebagai hukum nasional; [c]telah ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring
bahan- bahan hukum nasional, dan
[d] telah ada dalam arti sebagai
bahan utama dan sumber utama hukum
nasional.[7]
D. Tipologi Tema-Tema Pemikiran
Hukum Islam Di Indonesia
Upaya
taksonomi atau tipologisasi dalam
berbagai aspek pemikiran berimplikasi pada
penyederhanaan ( simplification)
terhadap berbagai persoalan yang komplek. Dialetika pemikiran hukum Islam pada dasarnya
dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang yang masing-masing memepunyai tipologi sendiri-sendiri: pertama,
sisi sumber pemikiran. Pemikiran hukum Islam selain bisa dilihat dari sisi
idiologi berbangsa dan bernegara, kondisi sosial kultural yang berkembang, serta tuntutan perubahan sosial yang dihadapi. Kedua, sisi paradigma atau dasar pemikiran. Selain
menggunakan paradigma normatif dan juga adaptif (adaptabilitas hukum) pemikiran hukum Islam juga bisa menggunakan
paradigma-paradigma kontemporer dan alternatif lainnya seperti liberalisme hukum Islam. Ketiga, sisi pendekatan
seperti pendekatan doktriner-normatif-deduktif.
Keempat, sisi metode penemuan (pengembangan hukum), selain masih
terikat dengan pola pemikiran
mazhab, pemikiran hukum Islam bisa jadi juga memakai metode-metode baru
yang dikembangkannya sendiri. Kelima,
sisi wilayah aplikasi pemikiran, selain dalam wilayah sosial kemasyarakatan,
pemikiran hukum Islam bisa jadi menembus
wilayah sosial politik kenegaraan; selain mengulas persoalan-persoalan
dalam domain lokal, ia juga bisa
menjangkau dan berlaku secara universal.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan uraian yang
telah dikemukakan di depan maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagaimana
berikut. Pertama dilihat dari latar belakang
dan kandungan maknanya, kerangka dasar dan metode yang dipakainnya, serta
sejumlah aplikasi pemikiran yang ada
didalamnya. Kedua, untuk
mempertahankan keberadaan hukum Islam
maka, banyak teori yang bermunculan seperti, teori Receptie
yang lahir pada masa kolonial
belanda. Ketiga, secara subtansif
kandungan makna zahir tema-tema
pemikiran hukum Islam tersebut
cukup menunjukkan sisi-sisi teori perubahan sosial yang dipratikkan aparatus negara. Hukum Islam akan semakin eksis dan
berkembang apabila dibiarkan hidup dan
berkembang dalam masyarakat, dengan wujudnya yang beragam serta berkembang bebas
di masyarakat, menjadi etika, sarana kontrol dan pembebasan, serta
imansipasi sosial, bukan menjadi hukum positif negara. Mungkin hanya itu
kesimpulan dari saya semoga bisa
memberi wawasan bagi kita dan
membuka pikiran kita untuk
selalu menegakkan keadilan hukum Islam yang ada di indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid. 1975. ” Hukum
Islam Sebagai Penunjang Pembangunan”. Prisma
No. 4
Amir Syarifuddin. 1990. Pembaharuan
Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang : Angkasa Raya.
Soetandyo Wignjosubroto.
1995. Dari Hukum
Kolonial ke Hukum
Nasional: Dinamika Sosial – Politik
dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Joachim Wach. Ilmu Perbandingan
Agama, terjem. Jam’annuri. Jakarta :
Rajawali, hlm. 83
Muchtar Kusumaatmaja, “ The
Role of Law in Development. Paper for Special Congress Session dalam 28th International Congress of Orientalists1973.
Nuruddin ar-Raniri, melalui karyanya Shirath al- Mustaqim.
[2] Lihat artikel
Abdurrahman Wahid, “ Hukum Islam
Sebagai Penunjang Pembangunan
“, dalam prisma No
4, Agustus 1975
[3] Amir Syarifuddin.,
Pembaharuan Pemikiran
dalam Hukum Islam
( Padang: Angkasa Raya, 1990
). Hlm.
139
[4] Muchtar Kusumaatmaja ,”The Role
of law in
Development” Papers for special congress session
dalam 28th
international congressof orientalis 1973.
[5] Dalam catatan Soetandyo Wignjosubroto, hingga akhir abad XX
hukum, di indonesia , termasuk hukum Islam. Lihat lebih lanjut pada
Soetandyo Wignjosubroto, Dari
Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di indonesia, ( Jakarta: Raja Grfindo
Persada, 1995 ), hlm. 246--247
[7] Abdul Halim., Peradilan Agama dalam
Politik Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000 ), hlm. 83--84
0 Response to "Contoh Makalah Sistem Hukum Islam di Indonesia, Corak dan Pemikirannya"
Post a Comment