Makalah Pemikiran al Farabi tentang Filsafat Islam
MENGENAL FILOSOF MUSLIM AL-FARABI
Pendahuluan | Filsafat merupakan ilmu pengetahuan
yang membantu menyelesaikan masalah dalam kehidupan. Cara berpikir filsafat ini
telah ada sejak dibangun tradisi berpikirnya Nabi Muhammad saw. Keberadaan
filsafat Islam itu sudah terang benderang dan berpusat pada sunnah Nabi
Muhammad saw, dalam berfikir yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun dan
telah berperan dalam membentuk pandangan hidupnya, yang seharusnya menjadi
teladan bagi umatnya, sehingga keberadaan seorang Nabi lebih bermakna kultural,
dan dapat menjadi energi intelektual yang tidak pernah kering, karena pada hakekatnya
keberadaan seorang Nabi adalah untuk membangun dan menjaga kebudayaan tetap
berkembang diatas martabat kesusilaan dan spiritualitas kemanusiaan universal.
Berfikir filsafat berarti berfikir bebas, radikal, sistematis dan berada dalam
dataran makna. Untuk menghadapi kemajuan zaman umat Islam kedepan diperlukan
penggalian-penggalian ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Salah seorang tokoh terkemuka yang mendalami
filsafat ialah Al-Farabi. Dan berikut akan dibahas lebih lanjut tentang
filsafat Al-Farabi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup
Abu Nasr Muhammad
bin Tarkhan bin Uzlaq Al-Farabi (Avensor ) dilahirkan di Wasij daerah Farab (Turkestan ) sekitar tahun 870 M (257 H). ayahnya seorang
perwira tentara dari Parsi, sedangkan ibunya berasal dari Turkestan .
Beliau
belajar banyak ilmu pengetahuan terutama filsafat di kota bagdad. Salah seorang gurunya bernama
Bisyr Matta bin yunus (guru logika), dan belajar tata bahasa arab dari seorang
guru yang bernama Abu Bakar As Saraj.
Atas
saran gurunya dia pindah ke Harran untuk
menimba ilmu dari Yuhana bin Hailah mendalami bidang filsafat. Sehingga ia
mendapat gelar sebagai mosoi dari Ali Hamdan Saefud daulah di Alepo.
Beliau
menghembuskan nafas terakhirnya di kota
Damaskus dengan mewarisi beberapa karya filsafatnya yang berisi komparasi
antara aliran Aristoteles cengan Plato. Beliau wafat di usianya yang ke-80 pada
bulan Rajab 339 H[1].
B.
Pokok-pokok pemikiran
filsafat Al-Farabi
1. Metafisika
Menurut Al-Farabi
ada tiga segi yang menjadi pokok permasalahan fisika, diantaranya:
a.
Segi Esensi Dzat dan Eksistensi
(wujud) sesuatu.
Hakikat sesuatu
terdiri dari materi (hule) dan bentuk (form). Materi tidak akan mungkin
diketahui hakikatnya kalau belum ada bentuknya. Namun demikian antara materi
dengan bentuknya. Namun demikian antara materi dengan bentuk tidak dapat
dipisahkan. Misalnya papan tulis yang dibuat dari kayu, maka kayu itulah
materinya. Sedangkan papan persegi empat adalah bentuknya. Oleh karena itu
dengan adanya bentuknyalah hakikat dapat diketahui.
b.
Pokok utama segala maujud
Al-Farabi membagi
wujud pada dua bagian, yaitu:[2]
·
Wujud yang mungkin ada atau
wujud yang nyata karena yang lainnya.
Maksudnya adalah perwujudan yang
mungkin ada mungkin tidak, seperti halnya wujudnya cahaya yang tidak akan ada
kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa
wujud dan bisa tidak, dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mungkin. Karena
matahari telah [3]wujud, maka
cahaya-nya itu menjadi wujud yang nyata. Wujud yang mungkin itu menjadi bukti
adanya sebab yang pertama. Karena segala yang mungkin harus berakhir kepada
sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada.
·
Wujud yang ada dengan
sendirinya .
Artinya adalah
perwujudannya itu wajib atau mesti nyata dalam arti wujud yang tabiatnya itu
sendiri menghendaki wujud dengan nyata dan harus ada. Kalau diperkirakan tidak
ada maka akal yang sehat akan menolaknya. Kalau itu tidak ada maka yang lainnya
pun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang
ada. Dan wujud yang wajib ada ini hanyalah Tuhan.
Tuhan adalah penyebab yang pertama
dan hakikat Tuhan itu sendiri tidak terdiri dari materi dan bentuk (form) yang
mengakibatkan persepsi wujud-nya sama dengan makhluk kalau ia sama dengan
makhluk-nya berarti Zat-nya terdiri dari susunan. Padahal Tuhan itu Esa
Zat-nya. Wujud Tuhan itu sempurna, tidak berpermulaan dan selalu wujud.
Selanjutnya Tuhan
tidak dapat diberi definisi karena ia tidak mempunyai spesies dan differentia
(nau’ dan fashl) dan tidak terdiri dari materi dan form seperti benda.
Ia Maha Sempurna dan Maha Esa.
Konsepsi filsafat Al Farabi tentang
wujud dan wahid (tunggal) merupakan komparasi konsep antara Aristoteles dan
platinos.
c.
Prinsip Utama Tentang Gerak Dasar
menurut Ilmu Pengetahuan.
Pada prinsipnya gerak dasar itu hanya
satu dan itu muncul dari Zat yang wajib wujud yang Maha Esa, akan tetapi dalam
kejadian malam yang satu itu menjadi banyak atau yang dari satu. Sehingga dalam
hal ini Al Farabi mengemukakan teori Emanasinya hasil komparasi pemikiran
antara Aristoteles dan platinos.
Emanasi (pelimpahan ) itu pada
dasarnya terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara mekanis determinis
yang akhirnya melahirkan aneka ragam alam. Dari yang tunggal pertama melahirkan
yang tunggal kedua sebagai satu kesatuan, dari yang kedua timbul yang ketiga
dan seterusnya, hingga sampai kepada yang ke sepuluh. Dan akhirnya pada wujud
yang ke sebelas tidak ada lagi pelimpahan, tetapi dari akal yang disebut al-Aqlul
Af’al (akal aktif, active intellect) terpancarlah jiwa dan unsur pertama
materi.
2. Epistemologi
Ditinjau dari segi
etimologinya, epistemologi berasal dari kata yunani, episteme dan logos.
Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau
ulasan. Berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan lebih tepat logos
diterjemahkan dalam arti teori, jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori
tentang pengetahuan dalam bahasa inggris dipergunakan istilah Theory of Knowledge.
Menurut Dagobert
D. Runes, bahwa epistemologi sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki
tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi
secara umum dikaitkan dengan masalah-masalah antara lain:
a.
Filsafat, yaitu sebagai cabang
filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b.
Metoda, sebagai metoda bertujuan
mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan.
Teori epistemologi
bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut plato, pengetahuan (ma’rifat)
tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila panca indera kita
berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohnya (mutsil)
dan muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup
dalam suatu alam dimana kita dapat melihat idea yang azali dengan jalan
peng-abstrak-an terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Menurutnya adalah
suatu kesalahan jika dikatakan ada perlawanan benar-benar antara Plato dengan
Aristoteles, sebab kedua-duanya sama pendapatnya tentang sumber pengetahuan,
yaitu wujud Tuhan wujud alam rohani dan wujud yang kita abstrak-kan dengan
kekuatan akal untuk menjadi bahan bagi pengetahuan kita.
Selain itu
epistimologi juga membahas mengenai logika. Al Farabi sendiri memberi tujuh
klasifikasi pengetahuan, sebagai berikut: logika, percakapan, matematika,
fisika, metafisika, politik dan fiqh. Dari klasifikasi tersebut, menurut Al Farabi
logika paling erat hubungannya dengan metafisika. Bagi Al Farabi, logika bukan
satu-satunya jalan untuk memperoleh pengetahuan, tetapi lebih bersifat alat dan
bukan pula jalan untuk mencapai kebenaran. Logika bukan pula jalan mencapai
hakikat tetapi logika merupakan pendapat dari hakekat. Bertolak dari itu Al
Farabi merumuskan, logika adalah ilmu tentang peraturan (pedoman) yang dapat
menegakkan pikiran dan menunjukkan
kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya.[5]
Al Farabi memberikan
perhatiannya yang khusus terhadap mantik. Dalam lapangan mantik ia banyak
meninggalkan karangan-karangan. Sayangnya karangan-karangan tersebut tidak
sampai kepada kita, kecuali satu buku yang berjudul Syarh Kitab Al Ibarah Li
Aristoteles ( penjelasan terhadap buku Al Ibarah dari Aristoteles ), dan
beberapa karangan singkat dalam buku Tahsil As Sa’adah serta Ihsa’ul ulum.
Nampaknya dalam lapangan logika Al Farabi banyak mengikuti Aristoteles.
Pendapat Al Farabi tentang logika, antara lain:
a.
Definisi logika. Logika adalah
ilmu tentang pedoman ( peraturan ) yang dapat menegakkan pikiran dan dapat
menunjukkannya kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin
kebenarannya. Dalam lapangan pikiran ada hal-hal yang tidak mungkin salah, jadi
selalu benar, dimana seseorang itu seolah-olah memang dijadikan untuk
mengetahui dan meyakininya, seperti hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan
lebih besar dari pada sebagian. Kedudukan logika dalam lapangan pemikiran sama
dengan kedudukan ilmu nehwu dalam lapangan bahasa.
b.
Guna logika. Maksud logika adalah
agar kita dapat membetulkan pemikiran orang lain, atau agar orang lain dapat
membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran kita sendiri.
c.
Lapangan logika. Lapangannya ialah
segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dengan kata-kata, dan juga segala
macam kata-kata dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pikiran.
d.
Bagian-bagian logika. Bagian logika ada
delapan, yaitu kategori (al-maqulat al’asyr ), kata-kata (al-ibarah, termas ),
analogi pertama (al qiyas ), analogi kedua (al burhan ), debat (jadal ),
sofistika, retorika, dan poetika (syair).[6]
3. Etika Al Farabi
Dalam hal etika Al
Farabi menitikberatkan ataupun memfokuskan pada etika politik. Kegiatan politik
adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan memperoleh kekuasaan.
Kekuasaan dipandang sebagai sebuah jalan untuk meraih segala kepentingannya
dalam realitas empiris yang sering kali muncul adalah politik kekuasaan, bukan
politik moral.[7]. hal ini
berangkat dari anggapan bahwa kekuasaan itu sebagai tujuan sehingga terserabut
dari makna hakiki, yakni kekuasaan itu sebagai sebuah jalan untuk menandingkan
nilai-nilai moral dan kemanusiaan (politik moral itu tadi).
Dalam pandangan Al
Farabi etika politik merupakan manifestasi dari metafisika, konsep nafs yang
merupakan konsep metafisika Al Farabi, ia mengkaitkan dengan negara. Hal ini
bisa dipahami, karena memang Al Farabi merupakan filosof yang banyak
berkecimpung dalam masalah-masalah sosial. Risalah Al Farabi yang fundamental
tercakup dalam dua karyanya mengenai politik dan masyarakat, yakni Al Sayasah
Al Madinah (politik negeri) dan Am’ Ahl Al Madinah Al Fadhiil (beberapa pemikiran tentang negeri
utama).
Al Farabi dalam
garis besarnya, membagi negara dalam lima
(5) bentuk, yakni negara fadhilah (utama), negara fasiko, negara jahilah,
negara yang berubah dan negara sesat. Empat negara terakhir merupakan lawan
dari negara sesat.
a.
Negara fadhilah (negara utama ).
Yaitu negara yang
dikepalai oleh Nabi atau Rasul, dan setelah selesainya jaman Rasul-Rasul,
negara demikian di pimpin oleh seorang filosof. Filosof adalah orang yang telah
mencapai akal tertinggi, yaitu akal mustafat yang dapat menerima
pancaran-pancaran ilmu dari alam al-haq dan alam akal. Tugas kepala negara
tidak hanya memimpin tapi juga mendidik masyarakat, maka masyarakat dalam
negara demikian terdiri atas orang-orang yang dalam dan luas pengetahuannya dan
mengetahui mana yang baik dan mana yang jahat. Disamping itu, masyarakatnya
melaksanakan apa yang mereka ketahui, perbuatan jahat mereka jauhi dan
perbuatan baik mereka lakukan. Masyarakat itu mempunyai jiwa yang tinggi lagi
mulya.
Dalam pembahasan
negara utama perhatian al Farabi ditujukan kepada kepala negara. Syarat-syarat
bagi kepala negara antara lain: sehat badan, anggota badan lengkap, ingatan
yang kuat, kecerdasan yang tinggi, tanggapan yang cepat, tutur kata baik, cinta
kepada ilmu, menghiasi diri dengan kejujuran dan dapat dipercaya, membela
keadilan, kuat kemauan, kuat cita-cita dan tidak rakus serta menjauhi kelezatan-kelezatan
jasmani. Kepala negeri utama harus meninggi untuk mencapai akal fa'al yang
menjadi sumber wahyu dan ilham baginya. [8]
b.
Negara fasikol
Masyarakat
negara ini juga mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas, tetapi tidak
mengamalkan apa yang mereka ketahui. Sesungguhnya mereka mengetahui kebaikan,
tetapi kebaikan tidak mereka lakukan dan sungguhpun mereka mengetahui
kejahatan, kejahatan mereka lakukan. Tingkah blaku mereka tidak sesuai dengan
pengetahuan mereka, masyarakatnya berjiwa rendah dan bejat.
c.
Negara jahilah
Negara yang penduduknya tidak mempunyai
pengetahuan seperti masyarakat pada negara fadhilah dan fasikol. Mereka tidak
tahu dan mana yang jahat, yang mereka cari adalah kesenangan jasmani, jiwa
mereka adalah jahil, tidak mempunyai pengetahuan.
Suatu negara
dimana penduduknya mula-mula mempunyai pemikiran dan pendapat yang sama seperti
yang dimilki oleh penduduk negeri utama, akan tetapi kemudian mengalami
kerusakan pada pikiran dan pendapat tersebut.
e.
Negara sesat
Suatu negara
dimana penduduknya mempunyai pikiran-pikiran yang salah tentang Tuhan dan akal
fa'al, meskipun demikian kepala negara itu menganggap dirinya mendapatkan
wahyu, kemudian ia menipu orang banyak dengan kata-kata dan perbuatannya.
Demikianlah konsep negara menurut
al-Farabi. Pada dasarnya ia mengandaikan sebuah negara yang ia sebut sebagai
negara utama (fadhillah), yang didalamnya dipimpin oleh seorang yang memiliki
kredibilitas tinggi untuk mengatur suatu negeri menuju kemakmuran rakyatnya.
Karena seorang pemimpin tanpa memiliki kompetensi semacam itu akan terbentuk
keempat negara yang disebut terakhir, dan ketika negara berbentuk negara
fasiqol, jahillah, negara yang berubah atau negara sesat, maka akan terjadi
penyalahgunaan kekuasaan sebagai jalan menuju nilai moral dan kemanusiaan.
Karena disana politik dijadikan sebagai alat kepentingan yang justru
menyebabkan kerusakan dan bukan kedamaian serta kesejahteraan.
BAB
III
PENUTUP
Al Farabi merupakan seorang filosof
muslim yang ikut mengkaji ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat, dengan
berusaha mendekatkan pemikiran dua orang tokoh filosof Yunani, yaitu
Aristoteles dan Plato. Ia mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi antara dua
tokoh tersebut hanya pada dataran lahirnya saja yang sebenarnya intinya sama.
Pokok-pokok pemikiran Al Farabi dapat
dilihat dalam alam metafisika, epistemologi dan etika. Metafisika al Farabi
membahas tentang segi esensi dzat dan segi eksistensi sesuatu, pokok utama yang
maujud dan prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan. Dalam
dataran epistemologi, menyelidiki tentang sumber-sumber pengetahuan dan
kebenaran, ia juga membahas tentang logika yang merupakan bagian dari
pengetahuan. Etiak merupakan cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat
niali-nilai baik dan jahat berkaitan dengan perbuatan manusia. Dalam hall etika
al Farabi memfokuskan pada etika politik yang merupakan manifestasi dari
metafisika. Konsep nafs yang merupakan konsep metaisika al farabi ini dikaitkan
dengan negara. Ia mendambakan negara utama (fadhillah) bukan keempat negara
berikut, yaitu negara fasiqol, negara jahilah, negara yang berubah dan negara
sesat. [*]
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang,
1990.
Mustofa. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1997.
Amin, Miska Muhammad. Epistemologi Islam: Pengantar
Pengetahuan Islam. Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1998.
Yunasril, Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafah Dalam
Islam. Jakarta :
Bumi Aksara, 1991.
[1]
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam (Bumi Aksara,
jakarta: 1991), hlm. 43.
[4]
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam
(pengantar Filsafat Pengetahuan Islam), Universitas Indonesia Press, Yogyakarta , 1983. hlm 1-3
[5] ibid,
hlm. 40
[7]
Ibid. hlm. 107.
[8]Ahmad
Hanafi, Pengantar Filosafat Islam. Hlm.96
0 Response to "Makalah Pemikiran al Farabi tentang Filsafat Islam"
Post a Comment