Mengenal Sosok Guru Menurut Paradigma Freire
SOSOK GURU SEBAGAI MANUSIA
Oleh: Immawan Abdulah Mukti*
ABSTRAKSI
Ada
banyak perspektif pandangan ketika membicarakan persoalan guru. Mulai dari yang
memiliki paradigma filosofis, psikologis, material pragmatis ataupun paradigma
ilmu sosial. Berbicara guru dari sudut pandang Filosofis maka kajiannya akan
lebih menitikberatkan kepada persoalan “hakikat manusia” dilanjutkan dengan
‘hakikat Pendidikan” dari kedua hakikat tersebut bisa kita petik makna Guru
yang sesungguhnya.
Berbeda
dengan pandangan Psikologis yang lebih menitik beratkan kepada persoalan
“kejiwaan” atau karakter personal diri seorang guru dengan cakupan sikap,
kondisi, situasi dan perjalanan diri perilaku kejiwaan seorang guru. Lain pula
jika dilihat dari sudut pandang material pragmatis, maka titik tekannya adalah
pembahasan guru secara keprofesiannya, atau bagaimana guru dapat memenuhi
secara optimlanya sesuai dengan profesionalitasannya secara profesional.
Hal lain
yang juga berbeda jika kita membahas guru yang berangkat dari Paradigma Ilmu
Sosial, maka sentuhan pembicaraannya guru sebagai kultur pribadi dan socilanya
mempunyai nilai “movement” yang tentunya memiliki pula komponen-komponen
didalamnya. (Hal ini dipaparkan tidak ada maksud mengkategorisasikan atau
mengkotak-kotakkan persoalan Guru ; hanya sekedar mengajak kesadaran eklektif,
artinya kita perlu menspesifikasikan persoalan agar ketika mengurai persoalan
menjadi mendalam, spesifik tidak ngrambyang!
Forum
kali ini Penulis coba uraikan persoalan guru yang benangkat dan persoalan
“Manusia” yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan Paradigma Pendidikan
Humanis, sehingga dicapai pemaknaaan “Guru Bervisi Humanis dan Transformatif’.
Mengapa?
Mengapa?
Pertama,
asumsi
khalayak menganggap persoalan guru hanyalah sebatas persoalan individual atau
dari sisi keformalan profesionalitasannya unsich, tanpa melihat lebih
jauh lagi.
Kedua, konsekuensinya
poin yang pertama, maka perlu disadari kita semuanya, jika melihat “guru” lebih
luas maka persoalannya tidak hanya membicarakan pribadi sosok guru saja, akan
tetapi juga dikaitkan dengãn Pendidikan dan Realitas dunia empirik yang terjadi
disekitamya.’
Ketiga, Rekonstruksi
pemahaman guru yang sebelumnya dianggap “manusia super” segala-galanya dalam
penempatan dirinya, yang sebenamya untuk ukuran saat ini sudah menjadi hal yang
usang, dimana saat ini orientasinya sudah berubah,, orientasinya lebih
menekankan Murid (Student Orinted), sehingga Guru betul-betul menjadi
fasilitator/motivator, parthner bagi siswa-siswinya dalam pengembangan keilmuan
secara bersama-sama.
KESADARAN MANUSIA DALAM ANALISIS FREIRE
Paulo Freire, mencoba memahami pendidikan dimulai dengan pemahaman seorang manusia, yang diawali ikhtiar memanusiakan manusia kembali (humanisasi) yang memiliki teoritik bahwa fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, BUKAN PENDERITA atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang ada dengan berbekal pikiran dan tindakan “praxisnya”. Itulah kiranya onsinalitas Freire berkaitan dengan “the mdn ‘s ontological vocation “nya.
Tentunya,
setelah menyadari keberadaan manusia, maka memposisikan jati diri seorang guru
pun menjadikan sebagai ‘agent of freedom “. Karena implikasinya kemudian
adalah pemahaman sebagai bagian dari realitas sosial dengan bekal “consientasi”
dan tindakan praxisnya, maka manusia bisa menempatkan dirinya sesuai dengan
“fitrah-nya yang sesungguhnya. .begitu pula dengan seorang guru, ketika ia
sadar panggilan hidupnya secara individu adalah menjadi creator, maka
diharapkan ia bisa menjadi Motivator bagi siswa-siswinya menjadi seorang
Creator pula, sehingga sistem pendidikan betul-betul sesuai dengan tindakan dan
pikirannya.
Ditambahkannya
lagi bahwa Pendidikan semestinya harus menjadi proses kemerdekaan, bukan
penjinakan sosial budaya (social and cultural domestication), sehingga
menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sehingga, dapat dikatakan
hal pokok yang diemban guru adalah sebagai salah satu arsitek Pembentukan jati diri atau meminjam bahasa
Mukhtar Bukhori adalah pembentukan Character Building?
Dengan
bekal pemahaman sederhana diatas (menggunakan Pisau analisis Freire), untuk
selanjutnya dapat kita lihat penjabaran guru itu sendiri.
SIAPAKAH GURU?
Kalangan pedagogik klasik mencoba berangkat dari frame, bahwa logika guru itu ada dikarenakan analisis kebutuhan secara pragmatis, artinya guru ada karena seorang manusia tidak sanggup memahami ilmu pengetahuan secara sendirian, butuh pendamping atau pengarah untuk mengantarkan mengenal cakrawala dunia pengetahuan. Pemaknaan ini coba diartikulasikan posisi guru sebenarnya adalah “pendamping” (bukan sebagai orang “super” atau bergaya sebagai seorang bank). Ketika manusia tidak sanggup sendiri untuk mengenal dan memahami samudera pengetahuan maka dibutuhkan orang lain yang mengetahuinya lebih dahulu, bak orang tua memberikan ajaran dan pengalaman hidupnya kepada anaknya, tentunya kalau dipahami seperti ini, diharapkan adanya proses dialektika dan kebersamaan dalam pencapaian yang dimaksud. Atau relasi dan kepartneran antar sesama, karena pengalaman yang sudah didapati oleh seorang guru itu dikatakan benar pada saat situasi dan kondisi saat itu, jika saat ini kemungkinannya ada dua, bisa benar (baca: relevan ) bisa juga tidak (baca : kurang tepat), maka diperlukannya dialog agar mencapai tujuan yang diinginkan bersama serta adanya kesesuaian.
Freire
sekali lagi menawarkan metode yang sederhana berkaitan dengan Pendidikan
Humanis transformatifnya, yaitu metode “pendidikan hadap masalah” (problem
posing education), artinya guru mencoba mengajak para murid-muridnya untuk
mengenal memahami dan mencoba mencari solusi alternatif menurut kadar kemampuan
dan bekal yang dimilikinya masing-masing individu muridnya. Sehingga sekali
lagi juga, guru menempatkan posisinya sebagai pendamping murid-muridnya dalam
mengurai masalah mereka yang terangkum dalam frame pendidikan. (tidak salah
jika tujuan utama pendidikan adalah untuk bekal hidup dan mengenal diri-Nya).
Perlu
disadari juga dalam paradigma Ilmu Sosial Transformatif, upaya penyadaran,
disebutkan ada beberapa tingkatan kesadaran. Pertama, Kesadaran Magic,
dimana kesadaran yang menempatkan kekuatan magic atau penyerahan secara
totalitas terhadap Tuhan dalam menghadapi sesuatu, atau dalam bahasa
Pendidikan, jalannya proses pendidikan dipahami hanya sebatas persoalan
ketuhanan saja tanpa memandang persspektif lainnya.
Kedua, Kesadaran
Naif, dikatakan sebagai kesadaran dengan menempatkan sumber persolannya adalah
karena manusia, menjadi aktor segala-galanya (celakanya tidak melihat faktor
yang menyebabkan manusia tersebut berkelakuan’berbuat hal tersebut). Ketiga,
Kesadaran Kritis, dimana tidak hanya sesederhana melihat persoalan yang
terjadi karena manusia semata, akan tetapi ada sisi yang terdalam yang perlu
disadari dan dipahami kita bersama.
Di sisi
Kritis inilah guru perlu menempatkan diri, artinya bersama-sama dengan
murid-muridnya untuk menyadari secara kritis fenomena-fenomena yang ada secara “sistemik
dan Organik”, sehingga terjadilah yang dinamakan sebagai “Rekayasa Sistemik
dan Organik” (itulah inti sesungguhnya Pendidikan), Siapkah Guru menjadi
Agent of “Rekayasa Sistemik dan Organik” tersèbut? Mungkinkah
Waillahu
A ‘lam bi Showab
*)Ditulis sebagai bahan Kajian Diskusi Rutin Forum Study Freire (FSF),14 November 2002, di Taman Tarbiyah, Penulis merupakan Personil Pimpinan Cabang 1MM Sleman dan Pimpinan Wilayah IRM DIJ (Ketua KPSDM), Dewan Pakar Forum Study Freire.
*)Ditulis sebagai bahan Kajian Diskusi Rutin Forum Study Freire (FSF),14 November 2002, di Taman Tarbiyah, Penulis merupakan Personil Pimpinan Cabang 1MM Sleman dan Pimpinan Wilayah IRM DIJ (Ketua KPSDM), Dewan Pakar Forum Study Freire.
0 Response to "Mengenal Sosok Guru Menurut Paradigma Freire"
Post a Comment