Islam Murni dan Islam Tradisi Mencari Titik Temu Teologi dan Budaya
ISLAM MURNI Vs
ISLAM TRADISI
Tela’ah Kritis
Purifikasi Islam Terhadap Budaya Lokal
Oleh : Ujang
Kusnadi
ABSTRAKSI
Jogjakarta
sebagai kota pelajar, ternyata menyimpan berbagai persoalan budaya dan
keagamaan tersendiri, yang pada realitasnya bersifat kontradiktif dengan
syari’at Islam. Budaya 1 Syuro dan Grebeg sekaten yang setiap tahun diadakan,
masih kental dengan mitos kepercayaan masyarakat. Sekaten yang diadakan dalam
rangka menyambut peringatan maulid Nabi dalam kenyataannya tidak Iepas dari
budaya syirik yaitu pada perebutan grebegan sekaten (tempat berisi nasi
tumpeng, lombok, kacang panjang, onde-onde dan lain-lain), yang dipercayai
dapat memberikan berkah.
Budaya
sekatenan ini merupakan contoh sebagian kecil dari budaya Islam Indonesia yang
penuh dengan pluralitas. Misalnya di Aceh terdapat tradisi “meugang” dalam
rangka merayakan Idul Adha, di Sumatera Barat terdapat perayaan tabuik untuk
memperingati cucu Nabi Hasan dan Husein (Pranowo, 1998 : 19), di Ciamis
terdapat budaya Nyangku yang hampir mirip dengan sekaten dan masih banyak
budaya lainnya. Begitu juga dengan negeri-negeri Muslim lainnya yang mempunyai
kebudayaan tersendiri. Pluralitas budaya seperti inilah yang memunculkan adanya
istilah Islam Arab, Islam Irak, Islam Mesir, Islam Indonesia dan sebagainya.
Dalam skala yang lebih besar dengan pengaruh yang lebih mendalam. faktor
pengaruh kultural ini terwujud dalarn bentuk pengaruh budaya Arab dan Budaya
Persia.
Fenornena
seperti ini harus dipahami sebagai fenomena keagamaan yang cukup menarik untuk
dikaji, apalagi dalam realitasnya masih terdapat hal-hal yang justru
kontradiktif dengan syari’at. Maka tulisan singkat ini, mencoba memahami
realitas tersebut dengan perspektif Islam dan budaya, dengan harapan dapat
menemukan titik temu antara keduanya yang kemudian menawarkan wacana format purifikasi
untuk konteks saat ini terhadap budaya-budaya yang pada segi-segi tertentu
masih bertentangan dengan syari’at Islam.
ISLAM MURNI DALAM IDEALITAS TUHAN
Berbicara Islam
murni, sebenarnya hanya akan menimbulkan ketidakmurnian pikiran kita yang dapat
berbuntut pada kebingungan. Hal ini bisa terjadi karena berbicara Islam murni
dalam konteks saat ini akan mendapat kesulitan dalam melihat keobjektifan Islam
yang telah bercampur-baur dengan berbagai macam budà ya dalam rentang waktu yang
sangat lama.
Realitasnya
terkadang kita suht membedakan mana “agama” dan mana “budaya”. Bahkan kita
sering juga terjebak pada stigma bahwa Islam adalah Arab. Padahal harus
dibedakan antara Islam dan Arab, karena Arab adalah sebuah negara yang
masyarakatnya mempunyai budaya. Meskipun memang Arab adalah tempat kelahiran
Islam, akan tetapi tetap tidak lepas dari unsur budaya setempat. Misalnya saja
kenapa AlQur’an berbahasa Arab? karena lahir di Arab. Begitu juga kajian isi
Al-Qur’an yang kebanyakan menyinggung kebudayaan Arab. Akan lain halnya
seandainya Islam lahir di Indonesia.
Pluralisme
Islam sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, merupakan bukti bahwa sesungguhnya
Islam adalah sebuah peradaban. Akan tetapi, kalau Islam seperti itu, dimanakah
eksistensi “Islam murni” yang sering menjadi perdebatan dalam berbagai diskusi
atau seminar ?. Apakah ada terdapat pada Islam Arab, Islam Persia, Islam
Indonesia atau dalam judul buku Islam Murni dalam Masyarakat Petani
karya Munir Mulkhan. Sungguh sulit bagi kita untuk memastikannya, sekalipun
kita mengacu pada Islam Arab yang merupakan tanah air Islam. Hal ini bisa saja
dikarenakan pada keterbatasan kita dalam memahami sumber Islam (Al-Qur’an dan
Hadits) atau juga karena kentalnya budaya yang bercampur dengan Islam atau
memang jangan-jangan “Islam murni” hanya ada dalam dataran idealitas Tuhan saja
yang sulit kita pahami. Dan yang ada pada kita adalah wujud “Islam iradisi”
yang tetap mempunyai nilai-nilai kemurnian bersumber pada AlQur’an dan Hadits.
Islam tradisi
merupakan perpaduan atau akulturasi antara Islam dan budaya lokal. Sikap ini berawal
dari sikap krftis terhadap tradisi yang menjadi unsur terjadinya transformasi
sosial dengan Islam (Nurcholish: 552)..
ISLAM TRADISI SEBAGAI WUJUD ISLAM
Pluralisme
Islam sebagai sebuah realitas harus kita akui sebagai. sebuh simfoni yang
secara fenomenologis berarti Islam adalah memang agama untuk manusia bukan
untuk Tuhan. Hal ini secara fenomenologis Islam sebagai agama dari Tuhan, telah
diciptakan manusia dalam khazanah realitas kebudayaan bérupa norma dan prilaku
manusia (Chumaidi, 2000:101). Agama dalam konteks sosial budaya merupakan
bentuk interaksi nilai-niai yang memiliki dimensi teologis dengan norma atau
kaidah-kaidah yang merupakan landasan tingkah laku bagi kehidupan individu dan
masyarakat.
Akan tetapi
perlu kita pahami, sejauh mana tradisi tersebut masih bisa bergandengan tangan
dengan Islam? Karena apa pun alasannya Islam tetap mempunyai unsur-unsur
doktriner dan sakral serta mempunyai sumber yang jelas yaitu Al-Qur’an dan
Hadits. Secara normatif tetap tradisi yang harus menyesuaikan dengan slam bukan
sebaliknya. Maka jika terjadi kontradiktif, tradisilah yang harus dirubah dan
disesuaikan dengan syari’at slam.
KEMURNIAN DAN PURIFIKASI ISLAM TRADISI
Islam tradisi
bukan berarti Islam yang tidak mempunyai kemurnan, melainkan perpaduan yang
harmonis antara normatifitas dan histonisitas. Sudah jelas bahwa pluralisme
Islam bukan masalah pebedaan rukun Iman dan rukun Islam, akan tetapi lebih
berdasar pada pluralisme budaya. Maka selama Islam tradisi ini masih mempunyai
nilai-nilai yang absolut dan masih mempunyai nilai-nilai kemurnian Islam yang
tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits, hal ini tidak perlu dipertentangkan.
Kecuali jika tradisi secara langsung atau tidak langsung menggeser peran agama.
Adat atau
tradisi mempunyai peranan penting dalam transformasi Islam dan Tuhan kepada
manusia. Sehingga adat dalam Ushul Fiqh dapat dijadikan sumber hukum (al-adatu
muhkamatun). Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa
unsur-unsur budaya lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum adalah
sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur
yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan
diganti, dan lnilah sebenarnya makna kehadiran Islam bagi suatu tenipat yang
semuanya mengalami masa jahiliyahnya sendiri. (Nurcholis Madjid, 2000: 550).
Pada abad
pertengahan, Muhammad bin abdul Wahab yang terkenal dengan gerakan Wahabiyah,
melakukan purifikasi yang radikal terhadap lumpur-lumpur budaya yang mengotori
Islam seperti Takhayul, Bid’ah dan Khurafat. Ia memulai dengan
menebang pohon kurma yang dianggap sakral dan sampai-sampai kuburan Nabi pun
mau dibongkar. (Nasution; Gerakan Pembaharuan Islam)
Di Indonesia,
Muhamadiyah yang mengklaim dirinya sebagai golongan modernis, mencoba melalkukan
purifikasi dengan berbagai upaya diantaranya melalui pendidikan. Purifikasi
dilakukan terhadap budaya yang berbau Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) dalam
bahasanya Munir Mulkan). Namun seringkali dalam kenyataannya malah sebaliknya.
Contoh kasus, dalam buku Islam Murni hasil penelitiannya Munir Mulkhan di
wilayah Wuluhan Jember, yaitu proses purifikasi TBC yang dilakukan Muhamadiyah
dikalangan NU sekaligus penyebaran Muhamadiyah. Hasilnya bukan TBC nya yang
hilang melainkan yang ada orang Muhamadiyah Ikut TBC. Sehingga terjadi
kalsifikasi adanya Muhamadiyah murni dan Muhamadiyah NU. Di Jogjakarta juga
sepertinya hampir seperti itu, bukannya sekatenan atau tahlilan yang hilang,
akan tetapi yang ada adalah orang Muhamadiyah ikut sekaten atau tahlilan.
Dari kasus
Muhamadiyah tersebut, betapa purifikasi terhadap bentuk budaya dirasa cukup
sulit dan bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan gejolak
pertentangan dari masyarakat pemegang adat. Maka menurut penulis purifikasi
untuk konteks saat ni, bukan pada bentuk budayanya melainkan purifikasi
pemikiran masyarakatnya sebagai penggenggam budaya tersebut. Artinya dalam
menghilangkan TBC kita tidak perlu melakukan radikalisme dengan menghancurkan
bentuk, seperti gerakan Wahabiyah yang menebang langsung pohon kurma, akan
tetapi bagaimana kita memberikan pemikiran positif terhadap pemegang budaya
agar bagaimana pohon kurma itu bisa tumbuh subur dan berbuah lebat sehingga dapat
dinikmati, kemudian dianjurkan untuk bersyukur kepada Tuhan dengan berdo’a dan
beribadah hanya kepada-Nya. Positivisme dalam proses purifikasi lebih bersifat
diplomatis, sehingga memungkinkan adanya dialog antara Islam dan budaya.
Masyarakat harus diberikan arahan dan bimbingan berupa pendidikan agama yang
mengarah pada perubahan, pola pkir dan teologi, metafisik menjadi positifisme.
Dalam arti mampu mengarahkan dan penyembahan terhadap pohon besar, menjadi
memikirkan pohon besar dan akhirnya menggunakan pohon besar untuk bangunan
rumah. Sekatenan tidak perlu dihilangkan melainkan bagaimana sekatenan itu
tetap ada tetapi tidak ada unsur keyakinan lain.
PENUTUP
Karena
keterbatasan tulisan ini, uraian di atas sudah pasti belum cukup untuk mengupas
secara tuntas permasalahan Islam Murni dan Islam Tradisi sekaligus purifikasi,
karena seandainya dibahas secara detil sehingga sampai pada titik temu, mungkin
akan menghabiskan banyak lembaran kertas. Dengan keterbatasan itu, kekurangan
sudahlah pasti, bahkan mungkin masih mengambang dan menimbulkan persoalan baru.
Hal itu sangatlah wajar karena keterbatasan saya.
Sebelum kata
terakhir, perlulah kiranya saya simpulkan bahwa Islam murni Vs Islam Tradisi
dalam realitasnya selaIu dimenangkan oleh Islam Tradisi. Akan tetapi dalam hal
ini, tidak berarti kemenangan itu menghilangkan atau menghancurkan yang kalah,
melainkan terjadinya keterpaduan untuk saling melengkapi sehingga tercipta
keterpaduan yang harmonis antara teologi da budaya.
Karena
sesungguhnya Tuhan menciptakan agama bukan untuk-Nya melainkan untuk manusia.
Maka, tidaklah salah jika Tuhan melandingkan idealismenya melalui budaya
manusia. Ini juga berarti tak sepantasnyalah dalam kehidupan beragarna kita
saling bermusuhan hanya karena memperdebatkan masalah teologi. Karena kita
beragama untuk kita bukan untuk Tuhan.
Lain halnya
jika terjadi kontradiksi antara budaya dan agama, misalnya terjadi penyimpangan-penyimpangan
berupa TBC dan syirik maka harus segera dilakukan purifikasi. Namun bukan dalam
bentuk radikalisme melainkan positivism.
REFERENSI
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina Jakarta;
2000
Syarif, Chumaidi, Wucuna Teologi Islam Kontemporer , Tiara Wacana,
Jogjakarta 2000
Nasution, Harun, Gerakun Pembaharuan Islam
Pranowo, Islam Faktual, (Jogjakarta; 1998)
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional, Gugasan dan Pemikirannya,
(Jakarta:
Mizari, 2000, cet VI) h1m34-35.
M. Masyhur Amin Dinamika Islam, Sejarah Transformasi dan
Kebangkitan (Jakarta: LKPSM, 1995) hlml6.
Prof. Dr. Haruri Nasution, is/am Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
jilid I (Jakarta, UI Press, 1985 cet V) him. 57
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1984 cet 1) hlm.4
0 Response to "Islam Murni dan Islam Tradisi Mencari Titik Temu Teologi dan Budaya"
Post a Comment