Image1

Meninjau Ulang Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia dengan Pendekatan Progressivisme


Kurikulum adalah konsep rencana pendidikan yang terdiri dari tujuan, materi, strategi pembelajaran, organisasi, dan evaluasi. Dengan demikian kurikulum merupakan bagian yang urgen bagi lembaga pendidikan. Tercapai atau tidaknya suatu pendidikan dapat diukur dari sejauh mana lembaga pendidikan menerapkan system kurikulum yang ditetapkan. Namun dalam realitasnya terkadang out put yang diharapkan masih jauh dari apa yang direncanakan dalam kurikulum.
Berikut adalah makalah tentang reorentasi kurikulum pendidikan untuk mengoptimalkan misi pendidikan di Indonesia

REORIENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN UNTUK MENGOPTIMALKAN MISI PENDIDIKAN (Kurikulum Indonesia dalam Pendekatan Progressivisme)
Oleh : Zainatur Rofiqoh/PBA-2 1999


BAB I
PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai pendidikan sangat erat kaitannya dengan sekolah atau lembaga formal. Maka wajarlah bila misi pendidikan tidak terlaksana optimal maka yang pertama disalahkan adalah sekolah. Sebenarnya tidak dapat dipungkiri kalau kegagalan pendidikan tidak hanya disebabkan karena faktor sekolah ansich, tapi juga banyak faktor-faktor lain yang turut berperan dalam menambah kegagalan pendidikan. Di antaranya juga karena faktor keluarga, lingkungan, media massa dan sebagainya.
Sekolah sampai saat ini masih dipercaya sebagai agen pendidikan yang bisa membuat masa depan cerah. Sehingga tidak heran, kalau para orang tua rela berkorban apa saja demi menyekolahkan anaknya. Sekolah bisa dianalogikan sebagai tumpuan harapan orang tua bahkan tumpuan harapan bangsa. Namun ironisnya sekolah telah gagal mewujudkan harapan besar mereka. Produk yang dihasilkan sekolah (anak didik) masih sangat mengecewakan. Anak didik setelah lulus dari sekolah ternyata tidak punya keahilan apa-apa dan masih gagap dalam berinteraksi dengan masyarakat dan kebudayaannya. Ini hanya sebagian kecil kegagalan sekolah dalam mengemban misi pendidikan. Ada apa sebenarnya dibalik kegagalan sekolah dalam mengemban misi besamya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kiranya perlu langkah-langkah pembaharuan dalam bidang pendidikan kita di sekolah. Berbicara mengenai pembaharuan pendidikan, perhatian kita biasanya akan langsung tertuju pada perubahan kurikulum. Hal ini memang tidak terlalu berlebihan karena dalam rumusan kurikulum mencakup masalah materi pembelajaran, tujuan, metode dan semua kegiatan pembelajaran yang sangat berpengaruh pada warna dan arah pendidikan selanjutnya.
Oleh karena itulah saya di sini ingin sedikit mencoba membahas permasalahan-permasalahan yang dihadapi kurikulum serta menawarkan jawaban yang mungkin kiranya bisa dijadikan solusi altematif dalam membenahi bangunan pendidikan kita.
Dalam makalah ini sengaja menggunakan pendekatan perspektif progressivisme. Karena tidak lepas dari penilaian subyektif saya, aliran ini yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan
Sebelum kita membahas lebih lanjut permasalahan-permasalahan kurikulum, maka mungkin akan akan timbul pertanyaan tentang makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan bisa diartikan sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam ma syarakat dan kebudayaan (Djumberansyah Indar, 1994: 16). Dari pengertian tadi terlihat jelas bahwa tujuan pendidikan adalah pengembangan potensi menjadi kemampuan real yang bisa dimanfaatkan untuk inelestarikan kehidupan manusia.
Sedangkan kurikulum, lazimnya diartikan sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah/lembaga formal pendidikan (S. Nasution, 1989: 5).
Dalam rancangan kurikulum mencakup juga di antaranya tujuan pembelajaran, materi, metoe dan semua aktifitas yang menyangkut pendidikan di sekolah. Rancangan kurikulum ini tentu saja kemudian sangat menentukan arah pendidikan pada masa selanjutnya. OIeh karena itulah maka wajar bila setiap orang yang membicarakan pembaharuan pendidikan perhatiannya lebib ditujukan pada perubahan kurikulum.
Kurikulum yang ideal selalu didasarkan pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai (baik tujuan pendidikan nasional maupun sekolah itu sendiri), filsafat pendidikan yang dianut serta situasi kongkrit pada negara atau sekolah tersebut. Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional diungkapkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa’ dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, berkepribadian mantap, mandiri serta bertanggung jawab (Paul Saparno, BASIS, 2000: 49).
Dalam makalah ini tidak akan dijelaskan secara terperinci konsep-konsep kurikulum yang ideal dan konsep-konsep kurikulum yang diterapkan di Indonesia. Makalah ini hanya akan sedikit mencoba menganalisa konsep kurikulum dan kelemahannya serta menawarkan sesuatu yang mungkin bisa dijadikan solusi untuk mengatasi hal tersebut rnelalui pendekatan perspektif progressivisme.

B.  Problematika Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Seperti telah dijelaskan di atas, pembaharuan pendidikan tidak akan terlepas dari perubahan kurikulum. Dalam perjalanannya sampai saat ini banyak permasalahan-permasalahan pendidikan yang disebabkan kurang matangnya rancangan kurikulum. Banyak problematika yang terjadi akibat kekurangan atau kelemahan dalam rancangan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Permasalahan yang perlu diperhatikan di antaranya adalah bahwa konten kurikulum yang diajarkan lebih bersifat teoritis abstrak. Sedangkan kenyataan kehidupan menuntut keterlibatan langsung dalam berbagai perkara.
Bagi guru dan dosen memang lebih rnudah memaparkan fakta atau teori tertentu yang dianggap sebagai suatu pengetahuan dan kemudian siswa disuruh menghafalnya. Siswa tidak dituntut untuk mengaitkannya dalam pengalaman empiris yang akan diamatinya untuk diinterpretasikan dan disimpulkan sebagai suatu pemikiran yang bersifat hipotesis. Padahal setelah lulus pendidikan tertentu, pelajar diharapkan dapat rnenerapkan perolehan pendidikan ke dalam pekerjaan untuk diimplementasikan. Dalam hal ini diperlukan guru yang dapat menjelaskan pengetahuan tidak hanya menyampaikan informasi tentang teori atau hukum tertentu saja, di sini juga diperlukan pendidikan yang tidak hanya menyampaikan informasi tentang teori atau hukum tertentu saja, di sini juga diperlukan pendidikan yang tidak hanya bersifat teoritis tapi juga praktis agar suatu pengetahuan dapat diimplementasikan.
Dalam lingkungan pendidikan di Indonesia agaknya masih sangat dominan guru yang memainkan peranan sebagai operator kurikulum. Ciri khas seorang operator adalah following direction (mengikuti perintah) dan ini terjadi dalam konteks pembelajaran di sekolah. Peranan guru sebagai operator kurikulum ini akan berdampak bagi perkembangan potensi siswa. Siswa menjadi tidak terbiasa menganalisa pengetahuan yang didapatnya, siswa hanya mampu menyimpan informasi dari guru dan mengeluarkannya pada saat ujian tiba.
Di samping itu juga siswa tidak terbiasa dengan pola belajar aktif dan kritis. Siswa tidak dilatih mengenali dan menguasai kemampuan bernalar. Mungkin hal ini disebabkan karena faktor peranan besar politik dalam menentukan kebijakan pendidikan.
Hal di atas merupakan point keberuntungan bagi penguasa yang ingin menerapkan pola pemerintahan otoriter yang hanya membutuhkan massa mengambang untuk memenangkan suara dalam pemilu karena rakyat dibiarkan dalam ketidaktahuannya dan menutup kemungkinan rakyat akan kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang timpang.
Efek guru sebagai operator kurikulum juga akan mengakibatkan guru hanya sebagai penyampai pokok bahasan dalam kurikulum. Guru tidak dituntut untuk menambah pengetahuan yang menunjang proses pembelajaran. Guru tidak lebih sebagai penyampai isi buku. Akibatnya guru seringkali tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa. Sehingga untuk menutupi ketidaktahuan dan kekurangannya guru akan bersikap lebih otoriter dan menutup peluang pertanyaan-pertanyaan kritis yang tidak bisa dijawabnya.
Di samping hal di atas, buruknya kinerja guru juga disebabkan oleh keputusan penugasan yang salah. Misalnya guru olah raga juga dibebankan memegang mata kuliah agama atau juga dosen ushul fiqh yang merangkap dosen filsafat. Keadaan ini bukan hanya berakibat buruk untuk perkembangan belajar siswa tapi juga tidak baik untuk guru itu sendiri. Karena keadaaan ini guru kurang memiliki kesempatan untuk menguasai (menjadi ahli) di bidang disiplin ilmu tertentu.
Permasalahan kurikulum juga terletak padà materi kurikulum. Materi kurikulum yang ada dirasa kurang efektif dan kurang relevan dengan perkembangan masyarakat. Misalnya bagaimana pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan berulangkali mulai SD. SMP, SMU bahkan mungkin PT hanya seputar tentang tentang arti imbuhan, fungsi imbuhan dan hal-hal yang menyangkut gramatika bahasa sehingga pelajaran bahasa Indonesia hanya mempermasalahkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu pelajaran PMP atau PPKN hanya menekankan siswa menghapal Pancasila dan butir-butinya serta pasal-pasal dalam UUD 1945 (yang sekarang ramai akan diamandemen) Materi-materi tersebut kiranya kurang penting dan hanya membuang waktu saja. Sedangkan materi-materi lainnya yang lebih penting yang menyangkut penalaran kurang diperhatikan.
Permasalahan lainnya yang perlu dibenahi kurikulum yang menyangkut masalah pembelajaran siswa. Selama ini yang terjadi adalah pembelajaran yang lebih menekankan aspek kognisi atau dengan kata lain lebih memfungsikan otak kiri. Sehingga siswa tidak dirangsang untuk lebih kreatif dan bisa mengimplementasikan apa yang didapatinya.
Pembelajaran di sekolah kurang memperhatikan aspek afeksi atau fungsi otak kanan, maka wajar bila siswa tidak bisa kreatif dan hanya menyimpan pengetahuan tanpa ditekankan untuk melaksanakannya, dan yang terjadi kemudian adalah degradasi moral yang bukan hanya menimpa para pelajar atau remaja tapi juga orang dewasa pada umumnya. Degradasi moral ini salah satunya disebabkan kurikulum pendidikan yang hanya berbasis kognisi dan memarginalkan aspek afeksi serta psikomotor.
Sebenarnya masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang menyangkut kurikulum pendidikan dan di atas mungkin hanya sebagian kecil saja. Pada dasamya bisa disimpulkan bahwa tujuan kurikulum pendidikan tidak terlaksana secara optimal. Tujuan kurikulum yang meliputi pengembangan potensi individu, potensi keilmuwan dan ketrarnpilan serta potensi sosial belum ada yang benar-benar menunjukkan hasil yang sesuai harapan. Oleh karena itu perlu adanya reorientasi kurikulum untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada.  Dengan reorientasi kurikulum tersebut maka diharapkan gagasan-gagasan mengenai perbaikan pendidikan tidak bersifat partial (sepotong-potong) sekedar tambal sularn atau dengan menambah, mengurangi atau merubah tampilan materi kurikulum.
C.  Reorientasi Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia dalam perjalanannya masih banyak diintervensi dan dikendalikan oleh  political will (Slamet Imam Santoso, BASIS: 1998). Artinya seluruh system pendidikan mengacu pada kecenderungan politis. Penguasa terlalu banyak mengintervensi sistem pendidikan di Indonesia sehingga semangat filsafat pendidikan hampir tidak terefleksikan dalam setiap tindakan.
Saya rnenerapkan pendekatan progressivisme karena secara subyektif saya lebih menyukai aliran ini dan dirasa aliran ini lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat pada masa sekarang.
Aliran proessivisme dengan John Dewey sebagai Tokoh utamanya merupakan aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh. Usaha-usaha pembaharuan pendidikan pada umumnya termotivasi oleh semangat filsafat progressivisme ini. Dalam makalah ini tidak akan dijelaskan secara terperinci dan mendetail mengenai aliran progressivisme ini memiliki ciri-ciri utama yang membedakannya dengan aliran lain. Ciri utama tersebut adalah :
1. Bersifat Negatif
Dalam arti progressivisme menolak adanya otoritarisme dan absolutism dalam segala bentuk. Sehingga progressivisme sering dihubungkan dengan pandangan liberal, dalam artian tidak bersifat kaku (fleksibel) toleran dan bersifat terbuka (open minded).
2. Bersifat Positif
Maksudnya aliran ini menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dan manusia, yaitu kekuatan-kekuatan melawan dan mengatasi kekuatan lain yang mengancam kehidupannya (Zuhairini, 1995: 21).
Dari keterangan di atas, maka untuk mengatasi kegagalan kurikulum pendidikan akan lebih efektif bila didasarkan semangat progressivisme tersebut. Untuk perbaikan kurikulum diperlukan reorientasi kurikulum agar perbaikan kurikulum lebih bersifat menyeluruh.
Reonientasi kurikulum pendidikan dengan menggunakan pendekatan progressivisme akan sangat sejalan dan harmonis dan selanjutnya akan bersama-sama memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan kurikulum pendidikan adalah:
a. Untuk mengembangkan potensi individu
b. Untuk mengembangkan potensi keilmuwan atau intelektualitas
c. Untuk mengembangkan potensi sosial.
Kalau kurikulum pendidikan di Indonesia berpijak berdasarkan tujuan di atas tentu proses pendidikan akan bergerak ke arah tujuan tersebut. Pertama kurikulum pendidikan seharusnya diorientasikan untuk pengembangan potensi individu. Dalam hal ini pendidikan seharusnya mengembangkan potensi siswa sehingga berkembang menjadi kemampuan real yang bisa dijadikan bekal dalam melangsungkan kehidupannya.
Di sini seharusnya sekolah lebih memperhatikan life skills (ketrampilan-ketrampilan untuk hidup), sehingga setelah lulus sekolah siswa tidak akan bingung untuk meneruskan kehidupannya tanpa bergantung dengan orang lain. Jadi siswa bisa lebih mandiri dan mempunyai ketrampilan atau keahlian tertentu yang memang menjadi potensi dasarnya.
Pengembangan potensi individu tidak hanya mempersiapkan keahlian tertentu pada siswa tapi juga juga mengembangkan potensi-potensi alamiah lainnya. Sekolah diharapkan lebih mengusahakan pengembangan potensi-potensi yang ada baik potensi dasar manusia maupun potensi unik individu. Hal ini sejalan dengan filsafat progressivisme yang bersifat positif, yakni memandang bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mengatasi kekuatan lain yang mengancam.
Pendidikan yang berorientasi pengembangan potensi individu juga melahirkan pendidikan yang berbasis afeksi, dalam hal ini kurikulum pendidikan seharusnya lebih mengarahkan siswa bagaimana mengembangkan potensi positifnya seperti beriman kepada Tuhan, berbudi luhur, bertanggung jawab dan potensi positif lainnya. Sehingga dengan ini produk pendidikan bisa meneruskan kehidupannya dengan baik dan bisa menjadi manusia yang bahagia dunia dan akhirat. Karena manusia tidak bisa hidup bahagia hanya dengan mengandalkan keahlian tertentu tapi juga dengan kematangan emosi dan sikap sehingga kemampuannya tidak hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan orientasi ini degradasi moral kiranya bisa dikurangi.
Selanjutnya kurikulum pendidikan juga hendaknya berorientasi pada pengembangan potensi keilmuwan atau intelektualitas. Sekolah diharapkan mampu menghasilkan siswa-siswa yang cerdas yang bisa mengangkat martabat bangsa.
Dengan herpijak pada hal ini hendaknya bisa mengembangkan potensi keilmuwan siswa dan siswa akhirnya akan bisa menganalisa suatu pengetahuan dan bisa mengembangkan pengetahuan tersebut.
Bila kurikulum pendidikan memperhatikan ini maka tidak  ada guru yang hanya berperan sebagai operator kurikulum yang hanya menuntut siswa untuk menghafal apa yang diajarkannya. Siswa akan terbiasa dan dirangsang untuk menganalisa dan mengasah kemampuan intelektualnya. Siswa dilatih untuk belajar kritis dan tidak membenarkan tindakan otoriter guru.
Kurikulum pendidikan juga hendaknya menetapkan evaluasi dengan pendekatan kualitatif tidak hanya mengutamakan pendekatan kuantitatif. Evaluasi dengan pendekatan kualitatif maksudnya bentuk evaluasi yang menekankan bentuk soal subyektif seperti esai, analisa dan interpretasi data, mengarang dan sebagainya. Selama ini memang masih mendominasi evaluasi dengan pendekatan kuantitatif (S. Belen-BASIS, 2000: 69). Bahkan soal EBTANAS dan UMPTN masih memberi porsi lebih banyak soal-soal pilihan ganda daripada esai atau analisa soal.
Kurikulum yang berorientasi pengembangân inteléktual juga menuntut sikap toleran guru dan lebih terbuka, sebaliknya tidak dibenarkan sikap otoritas yang berdampak mematikan kreatifitas. Hal ini sejalan dengan sifat progressivisme yang negatif, yakni menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk.
Di samping kurikulum seharusnya berorientasi pada dua hal di atas, kurikulum juga seharusnya berorientasi mengembangkan potensi sosial. Selama ini seperti disebutkan di atas siswa setelah lulus sekolah ternyata masih gagap dalam berinteraksi dengan masyarakatnya,
Selain itu juga pendidikan yang tidak berorientasi pengembangan potensi sosial mengakibatkan produk pendidikan yang egois yang mengerti nilai-nilai dan norma agama dan masyarakat tapi tidak punya kepekaan sosial dan segera mengimplementasikan pengetahuannya. Maka banyak dijumpai pejabat-pejabat kaum intelektual yang mampu mengembangkan potensi keilmuwan dan individu tetapi tidak bisa mengembangkan potensi sosialnya sehingga yang terjadi kedua potensi tersebut digunakan untuk menipu dan merugikan orang lain.
Sudah seharusnya kurikulum pendidikan menghapuskan materi-materi yang tidak bisa dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan juga pendidikan bisa menyeimbangkan ranah kognisi dan afeksi secara harmonis. Potensi individu seperti beriman kepada Tuhan diselaraskan dengan poténsi sosial sehingga menciptakan manusia yang benar-benar berfi.ingsi sebagai hamba dan khalifah Tuhan di dunia.

BAB III
PENUTUP
Pembahruan pendidikan memang sudah sepatutnya memperhatikan perbaikan mutu kurikulum. Perbaikan kuikulum tidak akan berjalan mulus tanpa dIdasarkan reorientasi kurikulum. Pendidikan di Indonesia telah melupakan point-point yang seharusnya dijadikan orientasi dalam kurikulum. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah saatnya dibenahi dengan berlandaskan orientasi yang jelas. Kurikulum pendidikan seharusnya berorientasi pada 3 hal dalam proses kegiatannya, yaitu:
a. Pengembangan potensi individu
b. Pengembangan potensi keilmuwan / intelektualitas
c. Pengembangan potensi sosial
Dengan berpijak pada 3 hal tersebut di atas, yaitu mengembalikan orientasi kurikulum, maka pendidikan diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.

Daftar Pustaka

1. Dra. Zuhairini dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
2. Drs. H.M. Djumberansyah Indar, M.Ed,, FiisaJàt Pendidikan, Surabaya: Karya Abditama, 1994.
3. Prof. Dr. S. Nasution, M. A., Kurikuhim dan Pengejaran, Jakarta: Bina Aksara, 1989.
4. Paul S. Supamo dkk, Edisi Khuus Pendidikan, Yogyakarta: BASIS, 2000.
5. Prof. H.B. Hamdani All M.A. M.Ed., Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang, 1993.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Meninjau Ulang Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia dengan Pendekatan Progressivisme"

Post a Comment