Image1

Penarikan Kepala PNS di Swasta, sebagai Kriminalisasi Pendidikan

Potret Buram Pendidikan di Indonesia
Oleh : Ujang Kusnadi, S. Pd.I


Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2014 tentang Kepala Madrasah. Bab I terutama Pasal (1) dan (2) PMA Nomor 29 Tahun 2014 tersebut memberikan pembagian dengan pembatasan yang jelas, yaitu:
Kepala Madrasah PNS pada Madrasah yang diselenggarakan oleh pemerintah (diangkat oleh pemerintah pada madrasah yang diselenggarakan pemerintah atau Madrasah Negeri).

Kepala Madrasah Non PNS pada Madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat (diangkat oleh pejabat yang berwenang pada organisasi penyelenggara pendidikan madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat).

Secara singkat, uraian pada pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa Guru PNS hanya bisa menjabat sebagai Kepala Madrasah di Madrasah Negeri. Dan Guru PNS tidak boleh menjabat sebagai Kepala Madrasah di Madrasah Swasta.

Peraturan tersebut, menjadi potret buram bagi dunia pendidikan di Indonesia. Mengapa demikian????? mari kita renungkan..

Lembaga Pendidikan Swasta lahir sebagai penopang tegaknya pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan amanat Undang-Undang 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jumlah Lembaga Pendidikan Swasta lebih banyak dibandingkan sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Dominasi ini seharusnya didukung oleh pemerintah dengan membantu lembaga pendidikan swasta dalam hal kesejahteraan para guru serta operasional sekolah. Keberadaan Kepala Sekolah PNS di Swasta merupakan bentuk dukungan pemerinntah terhadap pendidikan yang sangat membantu bagi sekolah swasta terutama kaitannya dengan kesejahteraan.

Sebagaimana kita maklumi bersama, Lembaga Pendidikan Swasta yang kebanyakan didirikan oleh Yayasan, mayoritas lahir bukan dari kondisi ekonomi yang mapan, melainkan lahir dari kepedulian terhadap Generasi Penerus Bangsa dan membantu pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kondisi Yayasan

Kondisi Yayasan yang berkaitan dengan Ekonomi, mayoritas berada pada tingkat ekonomi rendah. Sehingga guru-guru honorer yang mengajar di Yayasan banyak yang bersifat pengabdian. Tidak sedikit Yayasan yang menggaji guru-gurunya hanya Rp. 100.000/bulan, atau paling tinggi Rp. 500.000/bulan bagi Yayasan yang memiliki sumber ekonomi yang pasti. Coba anda rasakan dan hitung, gaji Rp. 100.000/bln cukup buat apa? Transport saja tidak cukup untuk sebulan..apalagi buat makan. jangankan untuk keluarga, untuk makan sendiri saja pasti tidak cukup..... Kalau kata orang sunda gaji Rp. 100.000 itu UMR (Upah Minimum Ripuh), Wah...wah.... menyedihkan bukan?. Yayasan yang menggaji gurunya hanya Rp. 100.000/bln itu perlu digugat.. sudah melanggar Hak Aasi Manusia... Mengajar harus profesional tapi gaji tidak proporsional....Banyak menuntut kewajiban pada guru tapi haknya tidak diberikan.. itu namanya penindasan.

Ikhlas... kata ini sering dijadikan senjata ampuh untuk meluluhkan hati para guru agar tidak menuntut atau menggugat penindasan itu. Guru banyak yang tidak berani berbicara masalah ini... padahal doktrin ikhlas ini jarang yang bertahan lama... karena yang namanya kebutuhan biologis seperti makan, minum... tidak cukup dengan hati yang ikhlas, melainkan harus terpenuhi setiap hari.

Dampak dari penindasan ini, tidak sedikit guru-guru yang memilih tidak melanjutkan pengabdiannya. Mereka memilih profesi lain atau pindah ke lembaga lain yang dipandang dapat memenuhi haknya.

Tak aneh jika di sekolah swasta di bawah naungan sering terjadi keluar-masuk guru-guru. Hanya guru-guru istiqomah yang benar-benar Lillah tanpa mengenal Lelah yang mampu survival.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penarikan Kepala PNS di Swasta, sebagai Kriminalisasi Pendidikan"

Post a Comment