Image1

Asuransi Menurut Islam Sikap dan Pandangan Para Ulama

Gokasima.com | Asuransi Menurut Islam |  SIKAP PARA AHLI HUKUM ISLAM TERHADAP ASURANSI |  Makalah Asuransi Syari'ah |Asuransi telah berkembang luas dengan keragaman proses-proses dan dokumentnya yang bermacam-macam serta berbagai bentuknya yang dipraktekkan. Ia telah menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi bagi semua negara. Sebagaimana juga ia telah mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung terhadap kehidupan keseharian semua individu. Ketika asuransi—dengan bentuknya yang berkembang—mencerminkan satu jenis kreasi dalam bidang transaksi-transaksi yang tidak dikenal pada periode awal Islam, karena tidak ada teks yang jelas di dalam Al-Qur’an atau sunnah nabi yang menjelaskan proses-prosesnya, sebagaimana juga tidak pernah dipaparkan oleh satu orang ahli hukum Islam generasi awal.



Ada beberapa ahli hukum yang telah berupaya untuk menjelaskan status hukum menurut syariat Islam yang melakukan kajian terhadap jenis transaksi ini dengan tujuan untuk sampai kepada penetapan mengenai ciri-ciri syariatnya. Sekalipun banyak kajian atau studi terhadap tema ini dan banyak dilakukan simposium-simposium yang membahasnya dan telah didiskusikan dalam sejumlah kajian-kajian, akan tetapi tetap ada perdebatan seputar status hukum dari akad asuransi dan hingga sekarang belum sampai kepada pandangan yang pasti. 

Pertama, Pandangan Muhammad bin ‘Âbidîn

Muhammad Amîn bin ‘Âbidîn (1198-1252H/1784-1836M) dianggap sebagai orang pertama yang berupaya untuk menetapkan hukum berdasarkan syariat Islam terhadap asuransi. Pandangan beliau mengenai asuransi terdapat di dalam catatan pinggir dari kitab “Radd Al-Muhtar ‘Ala Ad-Dur Al-Mukhtar” ketika membicarakan mengenai jaminan keamanan kafir harbi pada bab “jaminan keamanan orang kafir”. Ibnu ‘Abidin terbatas hanya mendeskripsikan akad asuransi kelautan (pengguna jasa laut) yang pada waktu itu dikenal dengan istilah “As-Saukarah”. Yang demikian itu karena berkembang luasnya akad seperti ini pada waktu itu dan banyak orang yang mempertanyakannya. Ibnu Abidin melihat bahwa saukarah adalah akad kontrak yang tidak seharusnya dijadikan jaminan karena akad tersebut mengharuskan apa yang tidak diharuskan secara syar’i. Ibnu ‘Abidin melanjutkan bahwa jika akad tersebut dilaksanakan di daerah Islam maka orang Islam tidak boleh mengambil ganti. Sedangkan jika akadnya bukan di daerah Islam maka hal tersebut tidak status hukumnya dan orang muslim boleh mengambil gantinya berdasarkan kerelaan dan bukan berdasarkan keputusan hukum.

Kedua, Fatwa Asy-Syeikh Muhammad Abduh

Asuransi modern diperkenalkan di mesir pada akhir abad 19 melalui cabang-cabang dan perwakilan perusahaan asuransi Italia dan Inggris. Setelah melewati beberapa tahun, pasar asuransi Mesir dimasuki oleh sejumlah perusahaan asuransi asing lain. Para pengelola cabang dan perwakilan asuransi asing sangat menyadari bahwa penduduk Mesir sangat dipengaruhi oleh agama dalam segala perilakunya dan mereka melihat keuntungan besar yang akan mereka dapatkan dari proses asuransi jika dikuatkan oleh para ahli hukum Islam (fuqaha’). Terutama sekali dari mereka yang menjadi panutan dan mempunyai posisi yang tinggi secara keagamaan bagi proses asuransi. 

Ketiga, Kecenderungan Para Ahli Hukum Islam dalam Menetapkan Hukum Asuransi

Banyak para ahli hukum Islam modern yang berupaya untuk menjelaskan hukum berdasarkan syariat Islam mengenai asuransi, sebagaimana secara umum para profesor yang mempunyai spesifikasi dalam bidang hukum dan ilmu ekonomi juga mendiskripsikan mengenai masalah asuransi ini. Yang harus ditekankan sejak awal adalah bahwa sebagian besar pandangan-pandangan yang diajukan oleh para ahli hukum Islam terpusat pada akad asuransi komersil yang banyak dipraktek di pasar dan mereka dituntut untuk memberikan fatwa terhadapnya. Adapun asuransi kooperatif (yang tujuan saling membantu) para ulama Islam—sepengetahuan penulis—tidak ada yang memberikan fatwa mengenai ketidakbolehannnya. Yang demikian itu secara alamiah kembali kepada bentuk tolong menolong yang mendasari praktek-prakteksnya dan yang disepakati secara utuh dengan tujuan-tujuan syariat. Adapun asuransi-asuransi sosial, di lain pihak, para ulama membolehkkannya berdasarkan pertimbangan bahwa ia mencerminkan pengaturan sosial yang dilaksanakan oleh negara yang bersumber dari kenyataan yang berupa keharusan untuk menjaga rakyat. 

Mereka yang menganggap haram akad asuransi yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan asuransi komersial bersandar kepada justifikasi-justifikasi berikut:
  1. Karena ia mengandung ketidaktahuan dan penipuan yang termasuk hal yang di larang.
  2. Di dalamnya terdapat spekulasi atau minimal mendekati spekulasi.
  3. Di dalamnya terdapat riba
  4. Mengandung persyaratan-persyaratan yang tidak dibenarkan oleh agama.
  5. Di dalamnya terdapat komitment yang tidak seharusnya
  6. Di dalamnya terdapat unsur memakan harta orang lain secara bathil.
  7. Tidak ada kondisi darurat yang mengharuskannya.
  8.  Akad-akad yang diperbolehkan dalam Islam sangat terbatas dan di antara ke semua itu tidak termasuk asuransi.
  9. Di dalam asuransi ada pengingkaran dan penolakan terhadap qadla’ dan qadar dan bisa menghilangkan tawakkal kepada Allah.
Adapun kecenderungan kedua yang mengatakan kebolehannya secara mutlak, dalam menetapkan hukumnya berpegang kepada hal-hal sebagai berikut:

  1. Asuransi adalah akad baru yang tidak ada nashnya khusus dan tidak ada nash yang jelas-jelas melarangnya dan hukum asal dalam akad dan syarat adalah boleh (ibahah).
  2. Kebutuhan terhadapnya yang mendekati kepada kondisi darurat.
  3. Ia bisa dianalogikan dengan akad-akad atau sistem-sistem yang dikenal di dalam fiqh Islam.

Keempat, Asuransi dalam Komperensi-Komperensi Islam

Diskusi mengenai masalah asuransi telah dilakukan di berbagai komperensi Islam. Dan tidak diragukan lagi bahwa komperensi-komperensi seperti ini telah memberikan kesempatan bagi para ulama Islam untuk saling bertukar pandangan dan perspektif terhadap masalah-masalah yang menjadi perhatian umat Islam, terutama sekali yang terkait dengan transaksi-transaksi yang relatif masih baru. Oleh sebab itu maka ketetapan-ketetapan yang dihasilkan dari komperensi-komperensi seperti ini tidak hanya mencerminkan pandangan personal atau individual semata akan tetapi juga merupakan hasil dari pandangan-pandangan beberapa individu yang diajukan setelah diperkaya dengan diskusi dan tukar pendapat yang berlangsung. Berikut ini akan diajukan bagaimana rekomendasi dari komperensi-komperensi Hukum Islam yang memperkaya tema mengenai masalah asuransi dan keputusan-keputusan yang diambil oleh komperensi-komperensi ini.

a. Usbu’ Al-Fiqh Al-Islami Ast-Stani (Komprensi Tujuh Hari Hukum Islam ke II)

Di Damaskus pada bulan Syawwal 1380 H/April 1961 M. dilaksanakan komperensi tujuh hari hukum Islam kedua pada festival Imam Ibnu Taimiyah. Akad asuransi adalah salah satu dari empat tema yang di bahas dalam komperensi. Selama pelaksana komperensi tersebut, diajukan enam kajian dan diskusi masalah asuransi. Di antara para peserta terdapat perbedaan pendapat dimana ada tiga di antaranya membolehkan semua bentuk asuransi sedangkan dua yang lain sebaliknya tidak membolehkannya. Di antara pandangan panelis ke enam adalah, menghindari asuransi komersil dan berupaya untuk melakukan inovasi bagi sistem asuransi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Ikut dalam diskusi ini adalah Profesor Muhammad Abu Zahrah yang di antara pandangan beliau adalah bahwa akad asuransi selain yang didasarkan atas prinsip kooperatif adalah makruh atau tidak boleh. Komperensi ini tidak sampai kepada hasil atau kesimpulan yang spesifik dari tema-tema yang didiskusikan. 

b. Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah (Klub Kajian Islamiah).

Konferensi II Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah yang dilaksanakan di Kairo pada bulan Mei 1965 mengajukan kajian mengenai asuransi yang sampai kepada kesimpulan mengenai bolehnya semua jenis asuransi. Panitia Kajian Fiqh mengajukan pandangannya dalam komperensi dan membuat keputusan mengenai masalah asuransi kepada peserta komperensi. Para peserta berhasil menetapkan keputusan-keputusan sebagai berikut :
  1. Asuransi yang dilaksanakan oleh perkumpulan-perkumpulan kerjasama yang semua anggota-anggotanya bersama-sama untuk memberikan apa yang dibutuhkan anggota-anggotanya yang berupa bantuan dan pelayanan. Yang demikian itu adalah masalah yang disyariatkan dan termasuk bentuk kerjasama dalam kebaikan.
  2. Sistem pensiunan pegawai negeri dan sistem jaminan sosial yang sejenis dengannya yang banyak diikuti oleh sebagai negara dan sistem asuransi sosial yang diikuti pada negara-negara yang lain semua termasuk praktek-praktek yang dibolehkan.
  3. Adapun asuransi-asuransi yang dilaksanakan dengan perusahaan bagaimanapun kondisinya, adalah seperti jaminan khusus bagi tanggung jawab orang yang melakukan asuransi, jaminan khusus terhadap apa yang terjadi pada orang yang melakukan asuransi yang bersumber dari luar dirinya, dan jaminan khusus terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak berada dalam tanggung jawabnya serta jaminan terhadap kehidupan dengan segala yang berada di dalamnya. Komperensi menetapkan kontinuitas kajian melalui panitia yang terdiri dari gabungan para ulama syari’ah dan penasehat ekonomi dan sosial dengan mempertimbangkan—sebelum mengajukan pandangan mereka—pandangan-pandangan para ulama muslim di semua daerah Islam sesuai kemampuan.
Dengan tersebarnya perusahaan-perusahaan asuransi komersial di semua daerah Islam dan obsesinya terhadap dimensi paling besar dari proses asuransi di pasar-pasar negara-negara ini, maka komprensi ini melihat ada kebutuhan yang mendesak untuk menunjukkan pandangan-pandangan para ulama Islam di negara-negara Islam mengenai karakteristik asuransi-asuransi sebelum menetapkan status hukumnya. Komprensi ini telah mengirim mandat umum komperensi yang berupa permintaan fatwa kepada para ulama muslim di Mesir dan di luarnya untuk menjelaskan masalah-masalah dengan asuransi melalui studi dan kajian. Rekomendasi itu dapat di ringkas sebagai berikut:
  1. Boleh tidaknya mengadakan akad yang tidak pernah dikenal pada periode awal Islam?
  2. Bisakah diterapkan ketentuan-ketentuan jaminan terhadap asuransi atau tidak?
  3. Hukum dari ketidaktahuan, penipuan, judi dan pemberian jaminan yang ada di dalamnya.
  4. Apakah dalam asuransi adalah termasuk memakan harta orang lain secara batil atau tidak?
  5. Apakah dalam sebagian jenis asuransi terdapat riba atau yang serupa dengan riba ataukah di dalam asuransi tidak ada yang demikian itu.
  6. Apakah dimungkinkan untuk menerapkan hukum-hukum akad distribusi terhadap asuransi?
  7.  Apakah di dalamnya terdapat upaya untuk membantu perusahaan-perusahaan dalam melakukan eksploitasi yang diharamkan atau tidak? Jika di dalamnya terdapat yang demikian itu apakah itu bathal secara syari’ dan apakah di dalamnya ada ketidakadilan yang tidak dibenarkan atau tidak?
  8. Apakah dalam pembolehannya terhadap orang-orang Islam terdapat penyimpangan terhadap nilai-nilai dan karakteristik-karakteristik keagamaan mereka tanpa ada kebutuhan yang menuntutnya, ataukah di dalamnya semua itu tidak ada.
  9. Apakah dalam membolehkan asuransi, boleh atau tidak dengan bersandar kepada kebiasaan atau keterdesakan sosial?

C. Nadwah At-Tasyri’ Al-Islami (Simposium Perumusan Hukum Islam)

Pada bulan Rabi’ulawwal 1392 H/Mei 1972 M di Universitas Libya dilaksanakan Simposium Perumusan Hukum Islam dengan tema yang didiskusikan adalah “Akad-akad Asuransi dan Hukum-hukumnya Sesuai dengan Fiqh Islam”. Simposium ini menghasilkan rekomendasi-rekomendasi antara lain:
  1. Berupaya untuk memposisikan “asuransi yang didasarkan atas kerjasama” dengan "asuransi komersial” sebagaimana yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan asuransi pemegang saham terhadap seseorang baik secara alamiah ataupun maknawi.
  2. Asuransi terhadap peristiwa-peristiwa tidak terduga atau yang sejenis dengannya dibolehkan untuk sementara karena adanya kebutuhan hingga ditemukan format pengganti yang sesuai dengan syara’.
  3. Asuransi kehidupan dengan bentuknya yang telah dilaksanakan adalah haram karena mengandung riba.
  4. Harus memperluas jaminan sosial hingga semua keluarga menjadi tenang terhadap bencana. Yaitu yang bisa menjamin pendapatannya ketika keluarganya mati atau ketika ia sudah tidak mampu atau ketika dalam kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan terputusnya rizki. Yang demikian tersebut dibolehkan untuk menutupi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan.

D. Al-Muktamar Al-‘Alami Al-Awwal li Al-Iqtishad Al-Islami (Komperensi Internasional Ekonomi Islam II)

Pada bulan Pebruari 1976 di Makkah dilaksanakan Komprensi Internasional Ekonomi Islam II. Yang datang ke Komprensi tersebut adalah sejumlah peneliti yang membahas asuransi dengan hukum-hukum syariat Islam yang ada di dalamnya. Kencenderungan umum dari para pengkaji ini adalah mengharamkan asuransi komersil karena di dalamnya terdapat banyak penipuan dan kesamaran dengan riba serta syarat-syarat akad yang salah yang ada di dalamnya. Para peserta komperensi menetapkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Peserta komperensi melihat bahwa asuransi komersil yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan asuransi saat ini tidak sejalan dengan syariat yang menekankan prinsip tolong menolong dan saling menjamin karena ia tidak memenuhi syarat-syarat syari’ yang menuntut kehalalannya.
  2. Peserta komperensi mengusulkan penyusunan panitia yang terdiri dari para spesialis dari kalangan ulama dan ahli ekonomi Islam untuk mengusahakan bentuk asuransi yang tidak mengandung riba, tipu daya dan dapat menerapkan prinsip kerjasama sebagai pengganti dari asuransi komersil.

E. Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Kongres Fiqh Islam) yang dilaksanakan di Makkah Al-Mukkaramah.

Majlis komperensi yang berkumpul di gedung pusat Rabithah Alam Islami di Makkah Al-Mukkaramh dalam simposium pertama yang dilaksanakan pada bulan Sya’ban 1398 H/Juli 1978 M, dengan kesepakatan para anggota, selain dari Syeikh Musthafa Az-Zarqa, mengharamkan asuransi komersil dengan segala bentuknya baik yang berupa asuransi jiwa, harta benda, atau yang lainnya berdasarkan dalil-dalil berikut:
  1. Akad asuransi komersil termasuk akad kontrak harta benda yang bersifat spekulatif dan mengandung tipu daya, sebab orang yang melakukan asuransi tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang ia berikan dan yang akan ia terima.
  2. Akad asuransi komersil adalah salah satu bentuk spekulasi karena di dalamnya terdapat kerawanan dalam kontrak harta benda dan kerugian tanpa ada kejahatan atau sebabnya dan termasuk harta tanpa imbalan atau imbalan yang tidak seimbang. Orang yang melakukan asuransi menyerahkan setengah dari asuransi lalu jika terjadi kecelakaan maka orang yang memberikan asuransi mengambil semua yang diasuransikannya. Dan jika memang tidak ada kecelakaan maka orang yang memberikan asuransi mengambil sebagian besar asuransi tanpa ada imbalan. Jika ditetapkan berdasarkan ketidaktahuan maka itu adalah termasuk spekulasi dan termasuk dalam larangan terhadap perjudian.
  3. Akad asuransi mengandung riba fadl atau riba nasa’. Sebuah perusahaan jika menyerahkan kepada orang yang berasuransi atau kepada ahli warisnya atau kepada orang yang ingin mengambil manfaat lebih dari uang yang diserahkan maka itu termasuk riba fadl atau orang yang memberikan asuransi menyerahkan yang demikian itu setelah beberapa waktu sehingga termasuk riba nasi’ah’.

Catatan Akhir Pengarang:

Telah diketahui bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara para pakar Muslim mengenai status hukum dari asuransi sebagai pemikiran, teori dan sistem yang mengupayakan terwujudnya kerjasama dan solidaritas di antara para anggota. Pada saat yang sama, seseorang akan melihat tidak adanya ketetapan yang pasti dari para ahli hukum Islam modern dalam satu pandangan yang bulat dalam menjelaskan status hukum dari asuransi komersil. Sekalipun demikian, di sini dapat disimpulkan beberapa pendapat mereka mengenai praktek asuransi dalam poin-poin berikut ini;
  1. Ada konsensus tentang bolehnya asuransi kerjasama karena dianggap praktek yang saling menguntungkan yang bertujuan untuk saling membantu sesama anggota, kalau demikian maka asuransi semacam itu adalah asuransi yang dilegalkan oleh syariat Islam dan mewujudkan segala tujuan dengan cara yang benar-benar terbebas dari yang syubhat.
  2. Tidak ada perbedaan pendapat para pakar hukum Islam tentang sistem asuransi sosial yang diselenggarakan oleh suatu negara untuk kebaikan seluruh warga negaranya, atau untuk kelompok-kelompok tertentu, selama mereka menerima apa ketentuan hukum yang harus diindahkan oleh negara demi kemaslahatan warga negaranya dan mewujudkan kebaikan mereka.
  3. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai asuransi komersial yang dijalankan oleh perusahaan yang mengupayakan untung rugi.
Pendapat-pendapat mereka tentang teknis operasional pengelolaan asuransi dapat dirangkum menjadi tiga kategori:
a) Mayoritas para fuqaha’ mengharamkan sistem asuransi dalam segala bentuknya.
b) Kalangan minoritas membolehkan sistem asuransi dalam bentuk apapun.
c) Kelompok yang ketiga hanya membolehkan sebagian dari peraktek asuransi tidak membolehkan yang lainnya.
4- Sekalipun demikian, beberapa penjelasan yang ada dari penelitian-penelitian dan studi yang telah dilakukan oleh para pakar asuransi bisnis dan dari diskusi-diskusi yang memperbincangkan seputar asuransi, akan tetapi perbedaan pendapat mengenainya masih tetap ada dan perdebatan seputar masalah tersebut tidak pernah berhenti. Yang demikian itu menunjukkan ketidakmungkinan untuk sampai kepada ketetapan kolektif dengan segala karakteristiknya minimal untuk masa sekarang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Asuransi Menurut Islam Sikap dan Pandangan Para Ulama"

Post a Comment