Image1

Berjuang Melawan Kolonialisme Digital (Refleksi HUT RI Ke-73

BERJUANG MELAWAN KOLONIALISME DIGITAL
(Refleksi HUT RI Ke-73)

Oleh : Ujang Kusnadi, S. Pd.I*

Sebentar lagi Indonesia akan memasuki usianya yang ke-73, usia yang sudah cukup tua jika diukur dengan usia kita. Usia yang seharusnya sudah memiliki ketenangan lahir dan batin, “Gemah ripah repeh rapih” yaitu subur makmur cukup sandang pangan, rukun damai dan aman sentosa. Namun apakah pada usia yang ke 73 ini bangsa kita sudah makmur, damai aman dan sentosa? Apakah sila ke lima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sudah terwujud dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia?
Kenaikan BBM, harga telur naik, bahan pokok naik, rupiah melemah, hoax ada di mana-mana, muncul  Islam Nusantara,  Koruptor merajalela, Penjara Seperti Istana, saling hina menjelang pilkada, Kambing hitam banyak dicari di mana-mana,  inilah sebagian wajah Negara kita saat ini setelah 73 tahun Merdeka.




Jika demikian berarti selama 73 tahun Indonesia merdeka bangsa ini sesungguhnya belum menikmati hasil kemerdekaannya.  Merdeka hanya berarti karena bisa menjadi Negara sendiri, bebas dari penjajahan Jepang dan Belanda,  selebihnya itu masih butuh waktu entah sampai usia kemerdekaan yang ke berapa rakyat Indonesia bisa menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya.

Pendidikan dan Kemerdekaan
Pendidikan sebagai pengemban amanah dalam mengisi kemerdekaan Negara RI yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa merupakan bagian yang harus dievaluasi atas kegagalan bangsa menikmati kemerdekaannya.
Menurut Tokoh pemikir pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959), makna kemerdekaan dibedakan menjadi dua ranah yaitu ranah lahir dan ranah bathin. Kemerdekaan lahir dapat diperoleh melalui proses pengajaran, sedangkan kemerdekaan bathin hanya akan dapat diperoleh dengan pendidikan.
Pengajaran pada umumnya untuk “memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.” Dengan kata lain, pengajaran bersangkut paut dengan kemerdekaan lahiriah manusia, sedangkan untuk meraih kemerdekaan batiniah merupakan domain pendidikan.
Dari perbedaan ranah makna kemerdekaan tersebut dapat disimpulkan bahwa bisa jadi apa yang kita sebut pendidikan selama ini sesungguhnya dalam prakteknya adalah masih pengajaran sehingga kemerdekaan ini baru dirasakan secara lahiriah saja.
Jika benar demikian, lantas dimanakah pendidikan selama ini? Jawabannya adalah ada pada pemerintah kepala sekolah, guru dan masyarakat.  Pemerintah setiap ganti presiden paling rajin merubah dan mengotak-atik kurikulum dengan dalih memperbaiki system pendidikan.  Kepala sekolah, guru dan masyarakat  selalu berusaha memperbaiki tatanan pendidikan dengan berbagai pendekatan, strategi dan teknik. Namun hal yang menjadi  titik persoalan dalam proses pendidikan kita selama ini adalah munculnya penjajahan gaya baru atau disebut penjajahan zaman now yang membunuh karakter-karakter kebangsaan, kepahlawanan dan sebagainya.

Mencari Jejak-jejak Kolonialisme Digital
Menurut penulis salah satu faktor kegagalan pendidikan dalam memerdekakan batiniyah bangsa dewasa ini adalah munculnya  sistem penjajahan gaya baru berupa teknologi dan musuh-musuh digital. Di satu sisi teknologi dapat membantu mempermudah dan mempercepat tugas manusia, di sisi lain hilangnya karakter kerja keras dan kesabaran manusia. 
Orang  tua dulu kalau mau makan itu perlu kerja keras dan kesabaran, dari mulai mempersiapkan kayu bakar yang diambilnya dari kebun, menyalakan tungku, menjaganya agar tetap menyala dengan cara ditiup. Untuk merubah padi menjadi beras saja membutuhkan kerja keras yaitu dengan cara ditumbuk.
Zaman dulu hidup itu susah, tapi dibalik kesusahan itu terbentuk mental dan pribadi yang tangguh,. Zaman dulu hidup serba kekurangan tapi penuh kesabaran. Zaman dulu hidup banyak menderita tapi penuh dengan nilai-nilai perjuangan. 
Bagi yang lahir tahun 80 an mungkin sempat merasakan nikmatnya makan Oyek, Gaplek, dan sempat mengalami kalau kita punya telur ayam ditukar sama ikan asin. Beruntunglah kalau yang sempat merasakannya. karena mungkin kita adalah edisi terakhir (limited edition).
Hadirnya teknologi melahirkan budaya-budaya instan yang secara tidak langsung mengikis nilai-nilai karakter bangsa. Kids zaman now mau makan apa saja serba mudah, semua menu makanan dapat tersaji dengan cepat. Hidup zaman now memang  serba mudah, tapi dibalik kemudahan itu terbentuk mental yang lemah, pribadi yang cengeng suka mengeluh dan putus asa. Zaman now hidup serba ada tapi sepi dari nilai-nilai perjuangan. Zaman now hidup terlihat banyak bahagianya tapi sedikit kejujurannya.
Realitas efek dari budaya-budaya instan yang terjadi sekarang ini adalah lemahnya kerja keras dan semangat juang kids zaman now.  Di antara karakter kids zaman now yaitu tidak mau repot, tidak mau susah, tidak mau bekerja keras, ada kesulitan cepat mengeluh dan putus asa.
Bagi guru di sekolah pasti merasakan  banyak murid yang tidak  mau diberi tugas, tidak mengerjakan, ngeyel, bahkan kalau diperingatkan hukuman eh malah nawarin lebih baik dihukum dari pada harus mengerjakan tugas. Bagi guru mengaji pernah merasakan ketika turun hujan rintik-rintik saja kids zaman now pengajian libur karena tidak ada yang datang,  bak kerupuk yang ketika kedinginan langsung menciut.
Melemahnya karakter bangsa ini diperparah dengan munculnya era digital seperti hp, gadget dan sebagainya  yang semakin meninabobokan generasi penerus bangsa dari nilai-nilai perjuangan.  Mereka lebih  nyaman dengan kehidupan sendiri dan lebih banyak hidup di dunia maya daripada dunia nyata.
Lahirnya era medsos telah merobah gaya hidup dari sebuah panggung yang dapat ditonton secara langsung penuh kebersamaan menjadi sarang lebah yang disekat-sekat, satu sama lain bisa berhubungan tapi tidak ada kebersamaan.  Game menjadi hiburan dan tempat bermain kids zaman now. Medsos menjadi tempat  bersosialisasi , berkenalan, tegur sapa, curhat dan sebagainya yang semakin mereka terasing dari dunia nyata.  
Mereka tidak sadar jika hidup di media sosial itu sesungguhnya adalah hidup individual. Ingat ketika kita meninggal, tidak cukup orang berkomentar di medsos atas kematian kita, tapi butuh orang nyata yang mau memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan kita.  

Melawan Musuh-musuh Digital
Setelah kita menemukan jejak-jejak musuh digital langkah selanjutnya adalah mengatur strategi bagaimana melawan musuh-musuh tersebut agar kita mampu merebut  kemerdekaan lahir dan batin. Agar generasi penerus bangsa kita tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berkarakter kebangsaan yaitu jujur, disipilin, kerja keras, tanggungjawab, kreatif, mandiri dan lain-lain. Strategi yang dapat dilakukan menurut opini penulis adalah sebagai berikut :

1.      Ajarkan anak hidup susah tapi bahagia,  agar mereka siap berjuang  dan pandai bersyukur
2.      Ajarkan anak kesulitan agar dia tahu cara bagaimana keluar dari kesulitan itu. Pahamkanlah bahwa masalah itu bukan  menyebabkan kita menjadi lemah melainkan agar kita menjadi lebih kuat
3.      Kenalkanlah permainan-permainan tempo deoloe atau tradisional pada kids zaman now seperti kalau di sunda ada permainan pecle, jajangkungan, guguikan,  bancakan dan lain-lain yang memiliki nilai kebersamaan dan kerja keras.
4.      Sekolahkan Anak Ke Pondok Pesantren, karena pendidikan karakter hanya ada di pondok pesantren.
5.      Setiap lembaga pendidikan harus berusaha keras untuk membentuk karakter kebangsaan dengan aturan yang ketat seperti menanamkan kedisiplinan dan tanggungjawab yang tegas jangan takut terhadap  HAM kalau memang itu untuk kebaikan dan tetap dalam batas kewajaran..

Melawan musuh digital membutuhkan waktu yang cukup lama,membutuhkan konsistensi dan kesabaran, memerlukan strategi yang tersusun dan terorganisir dari semua pihak, karena musuh yang kita lawan tidak nampak di depan mata sehingga tidak bisa dilawan dengan bambu runcing seperti dahulu kala. Musuh kita adalah budaya instan, yang membuat anak tidak memiliki semangat juang.  Musuh kita adalah kolonialisme digital yang membawa putra putri kita malas, bermanja-manja,  tidak mandiri dan cepat putus asa.
Karena itu melalui moment Dirgahayu RI yang ke-73 ini mari sama-sama kita lawan musuh-musuh kolonialisme digital, kita rebut kemerdekaan batiniyah untuk masa depan bangsa yang lebih baik. (Wallohu A’lam)

Merdeka!!!
Dirgahayu Republik Indonesia ke-73

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Berjuang Melawan Kolonialisme Digital (Refleksi HUT RI Ke-73"

Post a Comment