TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
DAN KONSEP NAFKAH DALAM KELUARGA
A. Pengertian
Perceraian dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian
Perceraian
Perceraian berasal dari kata dasar
cerai, yang berarti pisah dan talak.[1] Menurut arti bahasa talak
diambil dari kata الاطلاقyang
berarti الارسال melepaskan
atau الترك meninggalkan.
Dengan demikian, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau berakhirnya
hubungan perkawinan. Secara syar’i talak
berarti:
حل رابطة الزواج وانهاء العلاقة
الزوجية [2]
Sedangkan menurut hukum Islam talak
berarti:
a. Menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatannya dengan menggunakan ucapan
tertentu
b. Melepaskan
ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
c. Melepaskan
ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengannya [3].
Kamus
istilah agama juga memberikan arti talak yaitu: "melepaskan
ikatan, maksudnya perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela, ucapan talak
kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas atau sarih ataupun
dengan kata-kata sindiran atau kinayah".[4]
Dalam
konteks pengertian perceraian yang berlaku di Indonesia, definisi perceraian
ialah “putusnya suatu perkawinan yang syah di depan Pengadilan berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa
sebab-sebab putusnya perkawinan adalah karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Karena
putusan Pengadilan
Begitu juga dalam Pasal 113
Kompilasi Hukum Islam perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas
Putusan Pengadilan
Selanjutnya
dalam peraturan di Indonesia dalam hal perceraian dikenal adanya cerai talak
dan cerai gugat. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif
pihak suami, sedang cerai gugat adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif
pihak istri. Dengan demikian jelaslah bahwa makna perceraian di sini adalah
perceraian yang terjadi atas inisiatif istri.
Dalam
cerai gugat, istri tidak punya hak untuk menceraikan suami. Oleh sebab itu, ia
harus mengajukan gugatan untuk bercerai serta hakim yang akan memutuskan perkawinan
dengan kekuasaannya.[5]
Dengan
demikian yang dimaksud dengan cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan
oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan
dan perceraian itu terjadi dengan suatu Putusan Pengadilan.[6]
Menurut
hukum Islam, berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak
istri dapat terjadi melalui khulu' dan dapat terjadi melalui rafa' (pengaduan)
atau fasakh.[7]
Lafaz khulu' berasal
dari kata خلع yang artinya
menanggalkan, seperti kata خلع الثوب yang
artinya menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki dan
laki-laki pun sebagai pakaian perempuan. sebagaimana firman Allah SWT:
Khulu' bukanlah talak dalam arti
yang khusus atau fasakh atau semacam sumpah, tetapi khulu' adalah
semacam perceraian yang mempunyai unsur-unsur talak, fasakh dan
sumpah.[9]
Khulu' dikatakan mempunyai
unsur-unsur talak karena suamilah yang menentukan jatuh atau
tidak jatuhnya khulu'. Istri hanyalah orang yang mengajukan
permohonan kepada suaminya agar suaminya itu mengkhulu'nya. Sebagaimana
halnya talak, maka suami adalah pihak yang kuat dalam
menentukan terjadi atau tidaknya khulu'; berdasarkan kepada adanya
kehendak dan pilihan suami.
Unsur fasakh di
dalam khulu' ialah sebagaimana halnya dengan fasakh maka
permohonan khulu' dari istri kepada suami adalah disebabkan
timbulnya rasa kurang senang, tidak suka atau benci yang timbul terhadap istri
terhadap suaminya. Disamping itu apabila terjadi khulu', maka
suami tidak mempunyai hak untuk merujuki bekas istrinya itu. Perkawinan yang
baru haruslah dengan akad dan mahar yang baru dan didasarkan
atas persetujuan dan kerelaan masing-masing pihak yang telah bercerai.
2. Dasar
Hukum Perceraian
Kehidupan
suami istri akan berlangsung dengan baik, aman, damai dan diliputi oleh rasa
cinta-mencintai dan kasih sayang apabila masing-masing hak
menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, sebagaimana yang telah
digariskan oleh agama.[10]
Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa hubungan suami istri tidak akan selamanya dapat
dipelihara secara harmonis. Kadang-kadang suami istri tersebut gagal dalam
mendirikan rumah tangganya karena menemui beberapa masalah yang tidak dapat
diatasi. Ini disebabkan adakalanya suami atau istri yang tidak menunaikan
kewajibannya.[11]
Apabila
salah satu pihak dari suami istri atau kedua-duanya tidak melaksanakan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban mereka, akan timbullah kesalahpahaman, perselisihan,
pertengkaran dan kebencian di antara mereka.
Dalam
hal istri yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, maka suami harus
menempuh jalan sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT. sebagai
berikut:
...والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى
المضاجع واضربوهن فان اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا ان الله كان عليا كبير[12]
Sedangkan
bila nusyuz itu terjadi dari pihak suami, al-Qur'an memberi
petunjuk kepada istri agar terdapat kedamaian dan ketenangan yang dibolehkan
oleh syariat, serta tidak menyimpang akhlak dan kesucian agama.[13] Ini diatur dalam al-Qur'an, yaitu:
Ayat
ini menerangkan bahwa apabila suami nusyuz atau tidak
melaksanakan kewajibannya, maka suami istri hendaknya mengambil langkah
perdamaian. Inilah jalan yang lebih baik untuk mereka. Demikian pula hendaklah
istri harus waspada, agar perselisihan yang terjadi antara suami istri tidak
bertumpuk-tumpuk, hendaklah mengambil cara-cara yang baik yang dapat
menimbulkan kesan mengembalikan kejernihan hati dan mentautkan kembali kalbu
sanubari antara suami istri.[15]
Apabila
telah diusahakan perdamaian, tetapi perselisihan dan perpecahan terus memuncak
dan masing-masing suami istri itu tetap berada pada pendirian yang berbeda,
maka usaha selanjutnya adalah memanggil seorang hakam sebagai
juru pendamai. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
وان
خفتم شقاق بينهما فبعثوا حكما من اهله وحكما من اهلها...[16]
Kemudian
ayat diatas ditafsirkan oleh Muhammad Ali as-Sayyis bahwa perintah dalam ayat
ini adalah untuk para hakim. Sesungguhnya Allah ketika menyebutkan mengenai
kedurhakaan istri, maka suami berhak mengajarinya dan memisahkan diri dari
tempat tidur dan memukulnya. Allah mengatakan tidak ada jalan lain lagi sesudah
memukulnya kecuali ke Pengadilan.[17]
Dengan
pengertian bahwa hakim pengadilan mengutus dua hakam (juru
pendamai), seseorang dari keluarga suami dan seseorang dari keluarga istri
untuk menyelesaikan perselisihan dan percekcokan antara suami istri. Jika usaha
kedua juru pendamai itu juga belum berhasil, langkah yang harus ditempuh adalah
proses perkaranya diteruskan di Pengadilan. Dalam hal ini Islam membuka
kemungkinan adanya penyelesaian lewat perceraian yang diajukan ke Pengadilan
Agama, baik permohonan perceraian maupun gugatan perceraian. Gugatan perceraian
yang diajukan oleh istri itu dapat berbentuk khulu' dan rafa'
atau fasakh.
Dasar
hukum dibolehkannya khulu' telah disebutkan dalam firman
Allah:
ولا يحل لكم ان تا خدو مما اتيتمو هن
شيا الا ان يخا الا يقيما حدودالله فلا جناح عليهما فيما افتدت به...[18]
Dalam sebuah hadiś disebutkan
pula:
عن ابن عباس قال: جاءت امراة ثابت
ابن قيس الى رسول الله ص.م فقالت: يارسول الله ثابت ابن قيس ما اعيب عليه فى خلق
ولادين ولكن اكره الكفرفى الاسلام.فقال رسول الله : اتريدين عليه حديقته؟ فقالت
:نعم, فقال رسول الله : اقبل الحديقة وطلقها تطليقة [19]
Sedangkan
dasar hukum dibolehkannya rafa' (fasakh) adalah firman
Allah SWT. yang
berbunyi:
...فامسكوهن بمعروف او سرحوهن بمعروف ولا
تمسكوهن ضرارا لتعتدوا...[20]
Dalam
sebuah hadiś disebutkan pula:
لاضرارا
ولا ضرارا [21]
Berdasarkan
firman Allah dan hadis di atas, para fuqaha> menetapkan bahwa jika
dalam kehidupan suami istri terjadi keadaan sifat atau sikap yang menimbulkan
kemadlaratan kepada istri, maka istri dapat mengambil inisiatif (gugatan) untuk
memutuskan perkawinan. Kemudian hakim memfasakhkan perkawinan atas dasar
pengaduan pihak istri tersebut.[22]
Akan
tetapi meskipun dibolehkan dalam Islam, Allah sangat membenci jalan keluar
melalui perceraian. Dalam sebuah hadiś disebutkan:
Dalam
hadis disebutkan juga bahwa istri yang meminta cerai kepada suaminya tanpa
sebab dan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara' adalah merupakan perbuatan
yang tercela.
ايما امراة سالت زوجها طلاقا من غير
باس فحرام عليها رائحةالجنة [24]
Salah
satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran agama
Islam ialah mempersulit terjadinya perceraian, karena perceraian berarti
gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera. Lain hal terjadinya putus perkawinan karena kematian yang merupakan
takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia.[25]
Sesuai
dengan prinsip mempersulit terjadinya perceraian pada Pasal 39 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan bahwa perceraian
hanya dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Sedangkan Pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri.[26]
Walaupun
perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak
salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari
pemerintah, namun demi menghindari timbulnya kesewenang-wenangan terutama dari
pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui
saluran lembaga pengadilan.[27]
Adapun
lembaga pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam dan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) bagi selain yang beragama
Islam sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 63 ayat (1) dan (2).[28]
Kemudian
mengenai tatacara gugatan cerai diatur dalam Pasal 40 UU No.1 Tahun 1974, Pasal
20-36 PP No.9 Tahun 1975 , Pasal 73-88 UU No.7 Tahun 1989 dan Pasal 113-148
Kompilasi Hukum Islam.[29]
B. Alasan-Alasan
Perceraian
Menurut
hukum Islam, hakim adalah pelindung kaum yang teraniaya serta kaum lemah yang
memerlukan perlindungan. Hakim dituntut untuk membalas serta menegakkan
keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim adalah tempat mengadukan segala
keluhan dan hal ihwal istri yang teraniaya atau menderita lahir batin dalam
rumah tangganya, baik atas tindakan sewenang- wenang yang dilakukan oleh
suaminya maupun oleh sebab yang lain.[30]
Jika
istri merasa haknya teraniaya, atau disengsarakan hidupnya atau diterlantarkan
maka sudah sewajarnya istri itu mengadukan haknya kepada hakim setelah melalui
jalan perdamaian secara kekeluargaan tidak dapat diatasi, guna memperoleh
keadilan dan penyelesaian yang sebaik-baiknya. Sedangkan untuk mengajukan
gugatan perceraian ke Pengadilan harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2.
Perceraian
dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dengan proses
peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang kelangsungan perkawinan
atau terjadinya perceraian. Karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini
haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap dan alat-alat bukti yang dapat
menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya. Keputusan hakim didasarkan
kepada kebenaran alat-alat bukti tersebut.[31] Hal ini sesuai dengan hadis
Rasulullah :
البينة
على المدعى واليمين على من انكر [32]
Tentang
alasan-alasan yang diperbolehkan oleh syara', bagi istri untuk
mengajukan permohonan fasakh tersebut, terdapat berbagai
pendapat fuqaha, khususnya dalam hal keabsahan hakim
mengabulkannya, adapun beberapa alasan yang dimaksud antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Terdapatnya
cacat atau aib pada suami.
Yang
dimaksud dengan “cacat” adalah cacat jasmani dan rohani yang tidak dapat
dihilangkan, atau dapat dihilangkan tetapi dalam waktu yang lama. Cacat itu
mungkin berupa penyakit jasmani, penyakit rohani atau kedua suami istri merasa
bahwa mereka tidak akan dapat mencapai tujuan perkawinannya karena aib
tersebut.[33]
Para
ahli fiqh berbeda pendapat tentang menjadikan cacat sebagai
alasan untuk memfasakh perkawinan.[34] Imam Ibnu Hazm berpendapat tidak
membolehkan cacat sebagai alasan untuk memfasakh perkawinan. Sedang Imam Malik
dan as-Syafi'i membolehkan untuk menjadikan cacat yang dijadikan alasan
perceraian itu.[35] Imam as-Syafi'i dan Maliki
bersepakat bahwa ada empat (4) cacat yang dapat dijadikan alasan untuk
memfasakh perkawinan, yaitu lepra, gila, gatal dan penyakit pada alat kelamin
yang menyebabkan tidak bisa jima'.[36]
Menurut
peraturan perundang-undangan bahwa apabila aib itu datangnya setelah akad nikah
dan telah diketahui oleh pihak yang lain, maka aib itu dapat dijadikan sebagai
alasan untuk bercerai. Bila aib itu telah ada setelah akad nikah dan pihak lain
telah mengetahui pula sedang ia tidak mengajukan gugatan kepada hakim, maka
dapat dianggap bahwa diamnya itu merupakan tanda persetujuan dan kerelaan
daripadanya.[37]
2. Suami
Tidak Mampu Memberi Nafkah
Apabila
suami tidak sanggup memberi nafkah istrinya, tentu istri tidak menerima haknya.
Selama dia merelakannya ini tidak menjadi persoalan. Tetapi, bila istri tidak
rela dengan keadaan suaminya, terdapat perbedaan pendapat antara ulama fiqh,
yaitu apakah istri berhak menuntut fasakh atau tidak dan apakah hakim boleh
memfasakh perkawinannya atau tidak.
Dalam
hal suami tidak mampu memberi nafkah, terdapat dua kelompok golongan imam
mazhab, Imam Malik, asy-Syafi'i dan imam Ahmad berpendapat bahwa boleh
difasakhkan perkawinan dengan alasan suami tidak mampu memberi nafkah.[38]
Alasan-alasan
bagi pendapat mereka tersebut adalah sebagai berikut:
a. Suami
berkewajiban memelihara istrinya dengan baik atau menceraikannya dengan cara
yang baik. firman Allah menyatakan :
...فامساك
بمعروف او تسريح باحسان...[39]
Sudah tidak diragukan lagi bahwa
tidak memberi nafkah berarti bertentangan dengan perintah-perintah perihal
dengan baik
b. Firman
Allah
...ولاتمسكوهن
ضرارا لتعتدوا ومن يفعل ذلك فقدظلم نفسه...[40]
Selain itu mereka juga berdasarkan
pada firman Allah:
...ولاتضاروهن...[41]
Ayat ini mengandung pengertian
bahwa menahan istri dengan tidak sanggup menafkahinya berarti menyusahkan
istrinya sendiri. Sedangkan yang demikian itu dilarang oleh Allah. Oleh sebab
itulah boleh difasakhkan pekkawinannya. [42]
c. Sabda
Rasulullah SAW:
لاضرارا
ولاضرارا [43]
Sementara madzhab Hanafi
berpendapat bahwa tidak boleh pengadilan menjatuhkan perceraian karena alasan
nafkah. Adapun dasar pendapat mereka ini adalah firman Allah:
لينفق
دوسعة من سعته ومن قدرعليه رزقه فلينفق مما اته الله لايكلف الله نفس الا
مااتهاسيجعل الله بعد عسر يسرا [44]
Allah
tidak membebani seseorang melainkan sekedar yang telah diberikan Allah
kepadanya. Dengan pengertian kalau suami miskin, sehingga dia tidak sanggup
menafkahi istrinya, Allah tidak mewajibkan membayar lebih dari kesanggupannya.
Di
samping itu mazhab ini juga beralasan kepada peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW; yaitu ketika Aisyah putri Abu Bakar dan Hafsah putri Umar bin
Khattab yang keduanya itu istri rasul. Pada waktu itu Abu Bakar4 dan Umar bin
Khattab memukul anaknya masing-masing, karena mereka meminta kepada suaminya (Rasulullah SAW) nafkah yang tidak bisa
disanggupinya, seperti dijelaskan bahwa:
وقال هن حولى كماترى يسالنى النفقة
فقام ابو بكرالى عائسه يجا عنقها فقام عمر الى حفصة يجا عنقها كلا هما يقول تسالنى
رسول الله ص.م شيا ابدا ليس عنده ثم اعتزلهن سهرا او تسعا وعشرين [45]
Demikian
jika suami miskin, maka tidaklah ia dikatakan berbuat zalim, kalau tidak
memberikan nafkah kepada istrinya. Sebab Allah tidak memaksa seseorang lebih
dari apa yang Allah berikan kepadanya.[46]
3. Meninggalkan
Tempat Kediaman Bersama.
Ada
dua macam pengertian gaibnya suami. Pertama, ketidakberadaannya
tidak terputus hubungan dengan istri sama sekali, dimana laki-laki tersebut
masih diketahui tempatnya dan masih pula diterima kabarnya. Dalam hal seperti
ini, menurut kesepakatan para imam mazhab, istrinya tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain. Kedua, tidak ada faktor beritanya dan tidak
pula diketahui di mana tempatnya. Tentang yang kedua ini, terdapat perbedaan
pendapat para ulama mazhab dalam kaitannya dengan istri.[47]
Para
ahli fiqh berbeda pendapat mengenai pihak istri yang mengajukan tuntutan
perceraian kepada hakim dengan alasan suaminya meninggalkan tempat kediaman
bersama yang berakibat menimbulkan kemadlaratan baginya.
Menurut
ulama Hanafiah dan ulama Syafi'iah bahwa tindakan suami meninggalkan tempat
kediaman bersama itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian
kepada hakim karena tidak mempunyai alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.[48]
Sedangkan
ulama Malikyyah dan Hanabillah membolehkan untuk menjadikan tindakan suami
meninggalkan istri sebagai alasan untuk bercerai, sekalipun suami meninggalkan
harta yang dapat dijadikan nafkah oleh istrinya.[49] Alasannya ialah karena kepergian
suami dalam waktu yang lama akan menimbulkan kemadlaratan bagi pihak istri.
Meskipun
telah terjadi kesepakatan pendapat dikalangan ulama Malikiyyah dan Hanabilah,
tetapi masih terdapat perbedaan mengenai macam kepergian suami, masa kepergian
suami, yang dapat dituntut dan status perceraian karena alasan tersebut.
Ulama
Malikiyyah tidak membuat perbedaan antara kepergian suami meninggalkan istrinya
dengan alasan atau tanpa alasan. Sementara ulama Hanabilah menyatakan bahwa
suami istri tidak boleh diceraikan kecuali bila kepergiannya itu tanpa alasan
yang jelas.[50]
Sedangkan
mengenai masa kepergian suami meninggalkan istri yang bisa dijadikan alasan
perceraian, menurut ulama Malikiyyah menetapkan 1(satu) tahun atau lebih
(menurut pendapat lain) adalah 3 (tiga) tahun. Sementara ulama Hanabilah
menetapkan 6 (enam) bulan atau lebih.[51]
Adapun
status perceraian karena alasan ini menurut ulama Hanabilah adalah fasakh,
sedangkan ulama Malikiyyah adalah talak bain.[52]
4. Adanya
Kemadlaratan Bagi Istri.
Imam
Malik berpendapat, istri berhak menuntut kepada pengadilan agar menjatuhkan
talak, jika ia beranggapan suaminya berbuat membahayakan dirinya sehingga tidak
sanggup lagi untuk melangsungkan hubungan suami istri. Tindakan yang
membahayakan, seperti suka memukul atau menyakiti atau memaki atau memaksa dia
mengucapkan atau berbuat mungkar.
Imam
Ahmad sependapat dengan pendirian ini, sedangkan imam Hanafi dan asy-Syafi'i
menyatakan bahwa tidak dapat dijadikan talak karena alasan membahayakan, sebab
perbuatan membahayakan bisa diberi hukuman ta'zir.[53]
5. Suami
di Penjara
Imam
Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa suami di penjara dapat dijadikan sebagai
alasan perceraian, karena suami yang di penjara akan mengakibatkan istri
menderita. Bila suami diputus hukuman penjara 3 (tiga) tahun atau lebih dan
putusannya sudah mendapat kekuatan hukum yang tetap dan diberlakukan kepada
suami, lalu berjalan setahun atau lebih sejak dari diputuskannya, maka istri
berhak menggugat cerai kepada Pengadilan.[54]
Sedangkan
jumhur fuqaha selain imam Malik tidak membolehkan alasan suami
di penjara dan dijadikan sebagai alasan perceraian karena tidak adanya
dalil syar'i yang menjelaskan hal tersebut.[55]
Demikian
beberapa alasan yang bisa dijadikan hakim untuk mengajukan gugatan perceraian,
sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) tahun 1975, yang pada dasarnya
adalah sebagai berikut:
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2(dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan dalam Pasal 116 KHI
ditambah dua (2) alasan lagi, yaitu:
a. Suami
melanggar taklik-talak.
b. Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.
Penambahan
ini tidak bertentangan dengan ketentuan penjelasan Pasal 39 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 serta Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975.
Sebagaimana
diketahui bahwa dari delapan alasan yang dapat diajukan sebagai alasan
perceraian, terdapat salah satu bunyi Pasal “Antara suami istri terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga”.
Persyaratan
yang penting dalam hal terjadinya perselisihan antara suami dan istri i’tikadnya adalah perselisihan tersebut terjadi secara
terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangganya.
Ketentuan
bunyi Pasal 19 (b) Undang-undang No.9 Tahun 1975 hampir senada dengan salah
satu bunyi Pasal 116 (g) KHI yaitu suami melanggar taklik-talak.
Taklik-talak
menurut pengertian hukum Indonesia adalah semacam ikrar, yang dengan ikrar itu
suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas istrinya apabila ternyata
terjadi dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang telah
diikrarkannya itu.
Dalam
Undang-undang Indonesia taklik-talak merupakan ikrar suami terhadap istri yang
dinyatakan setelah terjadinya akad nikah. Pernyataan ikrar suami bukan sebagai
peringatan atau pengajaran dari suami terhadap istrinya yang nusyuz.
Sighat
taklik talak yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990
berbunyi sebagai berikut:
“ Sesudah akad nikah,
saya…..bin….berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban
saya sebagai suami dan akan saya pergauli istri saya bernama…..binti…..dengan
baik (Mu’asyarah bil Ma’fuf)
menurut ajaran syari’at Islam.”
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
1. Meninggalkan
istri saya dua tahun berturut-turut.
2. Atau
saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau
saya menyakiti badan jasmani istri saya itu.
4. Atau
saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian
istri saya tidak rela dan mengadukan haknya kepada Pengadilan Agama atau
Petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya membayar
uang sebesar Rp. 1000-, (seribu rupiah) sebagai iwad (pengganti)
kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau
petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwad (pengganti)
itu dan memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
C. Konsep
Nafkah Keluarga Dalam Islam
1. Pengertian
Nafkah Keluarga dan Dasar Hukumnya
a. Pengertian
Nafkah Keluarga
Nafkah
memiliki arti belanja untuk hidup, pendapatan (uang), belanja yang diberikan
pada istri, bekal hidup sehari-hari. Juga dapat berarti perbelanjaan dan
pengeluaran.
Makna
nafkah ialah memberi atau memenuhi kebutuhan makan, kediaman, perawatan
kesehatan, pakaian dan pembantu rumah tangga (jika suami kaya), kepada istri
dan anaknya. Menurut Zakiyah, nafkah ialah sesuatu yang diberikan oleh sesuatu
pada istri, kerabat dan sesuatu yang dimiliki sebagai keperluan pokok bagi
mereka, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Ditinjau
dari aspek orang-orang yang berhak menerima nafkah, maka nafkah terbagi menjadi
tiga (3) macam, yaitu:
1) Nafkah
istri
2) Nafkah
kerabat
3) Nafkah
barang atau sesuatu yang dimiliki
Pembahasan
pada bagian ini hanya memfokuskan pada masalah nafkah istri (keluarga).
b. Dasar
Hukum Nafkah Keluarga
Terdapat
dalam firman Allah SWT dan hadis Rasulallah SAW yang menjadi dasar hukum dalam
masalah nafkah keluarga. Yaitu sebagai berikut:
وعلى
المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف لاتكلف نفس الاوسعها... [56]
اسكنو هن من
حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقواعليهن...[57]
Beberapa
ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa suami berkewajiban memberi istrinya
makanan dan menyediakan tempat tinggal dengan cara yang ma’ruf, yang pelaksanaan kewajibannya itu sesuai
dengan kesanggupannya. Dalam hal ini para ahli fiqh berpendapat bahwa wajib
suami memberi nafkah kepada istri mereka menurut yang patut, dan tidak seorang
pun diantara mereka mengingkarinya.[58] Pemberian nafkah secara ma’ruf (باالمعروف) ditafsirkan
bahwa penunaian nafkah dilakukan sesuai dengan apa yang telah digariskan syara’ dan dikenal masyarakat umum, dengan tidak berlebih-lebihan
dan juga tidak kekurangan.[59] Selain itu nafkah diberikan sesuai
dengan (untuk) kecukupan kebutuhan hidup istri dengan perbedaan dalam hal jenis
maupun ukurannya, dilihat dari kesulitan dan kemudahan suami dalam
menunaikannya.[60] Sedangkan Rasyid Rida menafsirkan
ma’ruf dari sisi nilai dan cara
pemberian nafkah. Bahwa nafkah yang ditunaikan tidak berupa jenis nafkah dengan
nilai yang rendah dan tidak pula diberikan dengan cara yang merendahkan pihak
penerima (istri).[61]
Ketika
melaksanakan haji wada’ (haji
terakhir), Rasulallah meninggalkan pesan dalam kaitannya dengan urusan
perempuan (istri), pesan tersebut yaitu :
فا
اتقوالله فى النساء فانكم اخدتموهن بامان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم
عليهن لايوطئن فرشكم احدا تكرمونه فان فعلن دلك فضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم
رزقهن وكسوتهن باالمعروف [62]
Pesan
penting dalam hadis ini adalah mutlaknya ditegakkan moralitas dalam hubungan
suami istri (keluarga), dengan kerangka taqwa kepada Allah SWT. Bagi suami,
salah satu perwujudan kewajiban moral ialah memberikan nafkah kepada istrinya
dengan cara yang ma’ruf.
Suami
yang memiliki kemampuan menunaikan nafkah namun enggan atau berat hati
(kikir/pelit) untuk memberikan kepada istrinya terdapat ketentuan hadis dalam
menyikapinya. Dalam suatu riwayat, Hindun binti ‘Utbah
menghadap Rasulallah untuk meminta petunjuk Rasul mengenai kekikiran suaminya
dalam memberi nafkah:
ان هندن بنت عتبه قالت يارسول الله
ان ابا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي الامااخدت منه وهو لايعلم فقال
خدي مايكفيك وولد [63]
Kebolehan
mengambil secara diam-diam harta suami yang kikir dilakukan untuk mencukupi
kebutuhan nafkah dirinya (istri) dan anaknya, dengan tidak berlebih-lebihan.
2. Tanggung
Jawab Pemenuhan Nafkah Keluarga
Seorang
wanita muslim apabila telah menjadi istri tetap memiliki hak asasinya sebagai
seorang manusia. Perkawinan Islam merupakan penggabungan dan bukanlah peleburan
hak istri kepada suami dan begitu juga sebaliknya.[64] Perkawinan Islam telah
menghilangkan hak-hak dasar yang dimiliki masing-masing pihak
(suami/istri), justru sebaliknya harus tetap dijaga dan dihargai
keberlangsungannya, diarahkan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
kehidupan rumah tangga. Salah satu hak istri adalah hak untuk mendapatkan
nafkah dari suami.
Nafkah
merupakan hak istri untuk mendapatkan makan, pakaian dan kediaman, pembantu
rumah tangga dan pengobatan. Bahkan sekalipun istri adalah seorang wanita yang
kaya.[65] memberi belanja hukumnya wajib
menurut al-Qur’an , sunnah dan ijma’.[66]Al-Qur’an telah
meletakkan diatas pundak suami kewajiban memenuhi kebutuhan hidupnya serta
istri dan anak-anaknya.[67]
Tanggung
jawab yang diemban untuk memenuhi nafkah keluarga membawa konsekuensi bagi
suami untuk berusaha sekuat tenaga agar dapat memenuhi nafkah keluarga secara
halal dan memperoleh dengan cara yang diridloi Allah SWT.
Nafkah
menjadi hak istri terhadap istri sebagai akibat telah terjadinya akad nikah
yang sah. seorang suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya.
Karena suami merupakan bagi istrinya, sekaligus yang bertanggung jawab memenuhi
nafkah keluarganya. Allah SWT berfirman :
الرجال قوامون علىالنساء بمافضل الله
بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم [68]
Ayat
ini menjelaskan, peranan suami sebagai pemimpin bagi istri merupakan hak
normatif yang diatur oleh Islam. Sebagai pemimpin, sikap suami kepada istri
bukanlah penguasaan atau dominasi yang cenderung memaksa, tetapi mendukung dan
mengayomi. Hal ini sesuai dengan prinsip mu’asyarah
bil ma’ruf (an-Nisa>’ (4):19) dan prinsip saling melindungi.[69]
3. Bentuk
dan Ukuran Pemenuhan Nafkah Keluarga
Nafkah
keluarga yang harus dipenuhi suami selaku kepala rumah tangga, terbagi menjadi
beberapa macam[70], yaitu:
a. Sandang
dan pangan
Kebutuhan
sandang dan pangan rumah tangga, merupakan tanggung jawab suami untuk
memenuhinya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
...وعلى
المولودله رزقهن وكسوتهن ب المعروف لا تكلف نفس الا وسعها...[71]
Makanan
menjadi kebutuhan pokok manusia yang mesti terpenuhi. Manusia bisa bekerja,
beribadah, melakukan berbagai aktifitas manusiawi dengan baik, jika kebutuhan
terhadap makanan tercukupi. Begitu juga dengan pakaian, ia menjadi penutup
aurat, pelindung tubuh dan pelengkap dalam ibadah.
b. Papan
(tempat tinggal)
Suami
bertanggung jawab bagi tersedianya rumah bagi keluarganya. Allah berfirman :
اسكنو هن من حيث سكنتم من وجدكم ولا
تصاروهن لتضيقوا عليهن...[72]
Tempat
tinggal menjadi sarana mutlak untuk wadah bagi segala proses kehidupan rumah
tangga; tempat pergaulan suami istri, orang tua dan anak, tempat peristirahatan
dan mengasuh/mendidik anak-anak. Rumah yang disediakan patut menjadi tempat
tinggal dengan perabot yang memadai, menjamin keamanan jiwa dan harta serta
keselamatan keluarga.[73]
c. Pendidikan
anak
Termasuk
nafkah keluarga yang harus dipenuhi oleh suami (ayah). Biaya ini diperlukan
agar anak-anak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan memiliki
bekal pengetahuan agar kualitas kehidupannya terjaga. Pendidikan adalah upaya
melindungi keluarga dari ha-hal yang dapat menyengsarakan keluarga di dunia dan
di akhirat.[74] Allah SWT berfirman :
يايهاالدين
امنوقوا انفسكم واهليكم نارا...[75]
d. Biaya
Pengobatan
Memelihara
dan menjaga kesehatan, serta memberikan biaya pengobatan atas sakit yang
diderita istri menjadi salah satu bentuk perlindungan dan pemeliharaan dari
pihak suami.
Pemberian
nafkah ini disesuaikan dengan tingkat kedudukan sosial suami istri dan selaras
dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat mereka tinggal. Perincian hal-hal
yang harus diberikan sebagai nafkah disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar
selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan mereka.[76]
Al
Qur'an dan hadis menyatakan dengan terperinci kadar nafkah yang wajib diberikan
itu, hanya menerangkan secara umum, yaitu menurut kesanggupan suami. Hal ini berdasarkan
pada firman Allah SWT:
اسكنو هن من حيث سكنتم من وجدكم ولا
تضا رو هن لتضيقوا عليهن...(6) لينفق دو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما
ا ته الله لايكلف الله نفسا الا ما ا تها سيجعل الله بعد عسر يسرا [77]
Pada
kedua ayat di atas terdapat gambaran umum tentang pemberian nafkah, yaitu
nafkah diberikan kepada istri menurut yang patut, dalam arti cukup untuk
keperluan istri dan sesuai pula dengan kemampuan suami. Pemberian nafkah
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan suami, apalagi menimbulkan
madlarat baginya.
Ketentuan
al-Qur'an ini sesuai dengan sifat hubungan suami istri yang hidup saling
mencintai, kebersamaan dalam membangun rumah tangga yang antara keduanya saling
memiliki pihak yang lain dalam hal rohani, jasmani dan materi. Adanya ketentuan
yang tegas dalam hal nafkah dapat mengarungi suasana kehidupan suami istri
tersebut.[78] Yang terbaik adalah musyawarah
antara suami istri itu sendiri, karena merekalah yang akan membina keluarga
dengan baik.[79]
Abu
Hanifah berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami
memberikan nafkah kepada istrinya, segala kebutuhan yang diperlukan sehari-hari
sesuai dengan tepat (ruang), jaman (waktu) dan situasi (kondisi) setempat.[80]
Jumlah
nafkah ditetapkan dengan kemampuan suami, bukan dengan melihat bagaimana
keadaan istrinya.[81] Dasar hukum yang mereka ambil
adalah al-Qur'an surat at-Talaq (65): 6 di atas.
Berbeda
dengan Hanafiah, Imam Syafi'i mengqiyaskan jumlah nafkah kepada kaffarat.
Kaffarat yang terbanyak adalah dua mud ( + 2 x 2 1/2 kg beras)
sehari, yaitu kaffarat karena merusak atau menyakiti diwaktu mengerjakan ibadah
haji. Sedangkan kaffarat yang terendah adalah satu mud sehari.[82] Adapun bila keadaan suami "sedang",
maka ia dikenakan kewajiban nafkah sebesar satu setengah mud saja. Penentuan
kadar nafkah keluarga tersebut ialah dengan kewajiban umum.[83]
Demikian
pula halnya nafkah yang berhubungan dengan sandang dan tempat tinggal: suami
diwajibkan memberi istrinya sandang dan menyediakan tempat tinggal sesuai
dengan kemampuannya. Suami hendaknya dihindari dari diberatkan / dibebani
dengan hal-hal yang berada di luar kemampuannya. [84]
4. Posisi
Nafkah Keluarga Dalam Islam
Kebahagiaan
keluarga sulit tercapai tanpa tecukupinya nafkah. Nafkah merupakan sarana
memenuhi kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga. Kebahagiaan keluarga tidak
mudah dicapai tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan.[85] Nafkah keluarga memang bukanlah
satu-satunya faktor bagi terwujudnya kebahagiaan dalam kehidupan keluarga,
namun tetap memiliki pengaruh yang sangat berarti dalam kehidupan rumah tangga.
Di dalam rumah tangga, nafkah menjadi salah satu sarana untuk memelihara
kelanggengan keluarga dan mewujudkan kebahagiaan di dalamnya.
Meskipun
demikian, seorang suami yang beriman hendaknya selalu menyadari, bahwa nafkah
yang halal itu menjadi pangkal kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Berdasarkan kesadaran inilah maka suami berusaha mencari nafkah untuk
keluarganya melalui cara-cara yang benar dan halal.
Allah
SWT berfirman dalam surat al-Maidah (5): 88.
وكلوا
مما رزقكم الله حللا طيبا وا تقواالله ا لدي انتم به مؤ منون[86]
Juga firman Allah SWT yang
menjadikan agar orang beriman hanya makan dari rizki yang baik dan bersyukur
kepada Allah terhadap segala karunia-Nya. Allah berfirman:
يا ايها ا لذين ا منوا كلوا من طيبت
ما رزقنكم وا شكروا لله ان كنتم اياه تعبدون [87]
Banyak
cara dan jalan kerja yang dapat ditempuh untuk mencari rizki. Setiap muslim
dituntut mencari nafkah dengan jalan yang halal dan diridlai Allah.
Kehati-hatian dalam mencari nafkah menjadi suatu kemestian moral karena pada
hari kiamat akan ditanyakan bagaimana cara mencari harta dan bagaimana
membelanjakannya, Rasulallah bersabda:
لاتزول قدما ابن ادم يوم القيامة من
عند ربه حتى يسئال عن خمسى: عن عمره فيما افناه, وعن شبابه فيما ابلاه وعن ماله من
اين اكتسبه وفيماعفقه وما دا عمل فيماعلم[88]
Suami
yang baik akan memberikan nafkah kepada keluarga dengan lembaran perasaan tulus
ikhlas, pemberian yang ikhlas akan membawa rasa lega dan bahagia bagi istri selaku
penerima nafkah.[89] Sikap memberi dengan tulus ikhlas
ini dapat dikategorikan sebagai cara memberikan nafkah yang ma'ruf selain
pengertian ma'ruf yang lainnya, sebagaimana yang sudah dibahas pada bagian
sebelumnya. Nafkah diberikan suami dengan ikhlas semata untuk keridlaan Allah
SWT selaku pemberi rizki. Rasulullah SAW menjelaskan, bahwa nafkah keluarga
yang diberikan kepada keluarganya secara tulus dan ikhlas adalah termasuk amal
sedekah. Hal ini diungkapkan beliau dalam hadiś:
عن النبي ص. م قال ادا نفق المسلم
نفقة على اهله زهويحتسبهت كانت له صدقة [90]
Mengenai
pembelanjaan harta, Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta: pertama untuk
kebutuhan diri sendiri, lalu kebutuhan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya,
kemudian memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan untuk diri sendiri dan
keluarga meliputi kebutuhan pokok yang fungsional, yang dipenuhi dengan cara
yang wajar (sedang), tidak kurang dari yang diperlukan dan melebihi kadar yang
dibutuhkan. Dalam membelanjakan harta, nafkah keluarga adalah yang paling utama
dan menempati prioritas pertama. Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya
bersabda:
دينار انفقته في سبيل الله ودينار
تصدقت به على مسكين ودينار انفقته على اهلك اعظها اجرا ا لدي انفقته على اهلك [91]
Sikap
terbaik sehubungan dengan pembelanjaan harta adalah secara sederhana atau
sedang-sedang atau dalam sikap pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan juga
tidak terlalu kikir. Sikap demikian merupakan salah satu sifat hamba-hamba
Allah yang memperoleh kemuliaan. Allah SWT berfirman:
والدين
ادا انفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكا ن ذا لك قوا ما[92].
Bertolak
belakang dengan sifat mulia tersebut, sikap kikir berlebihan (boros) merupakan
sifat tercela dalam Islam. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وات داالقربى حقه وا لمسكين وا بن
السبيل ولا تبدرتبدير.ان المبدرين كانوالشيطيني وكان ا لشيطن لربه كفورا [93]
Perekonomian
rumah tangga muslim, dalam pembelanjaan harta benda atau nafkah keluarga,
memegang prinsip lebih mengutamakan kebutuhan primer dari pada kebutuhan
sekunder, apalagi dari sekedar kebutuhan pelengkap. Mengeluarkan untuk
kebutuhan primer yang dimaksud adalah pembelanjaan untuk memelihara jiwa (untuk
makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan), menjaga agama (untuk
beribadah dan dakwah Islam), dan untuk memelihara harta (kas tabungan).
[1] Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet. ke-2 (Yogyakarta:
Liberty, 1986), hlm. 81-83.
[3] Zahri Hamid, Pokok-pokok
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Indonesia (Yogyakarta:
Bina Cipta, 1976), hlm. 73.
[7] Zahri Hamid, Pokok-pokok
Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta:
Bina Cipta, 1976), hlm.73.
[9] Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan
Bintang,, 1993), hlm. 182.
[19] Al-Bukhārî, Sahîh
al-Bukhorî, bab al-Khulŭ (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), VI: 170. Hadiś
Shahih, riwayat Bukhori dari Ibnu Abbas.
[21] Ibnu Mājah, Sunan Ibnu
Mājah, “Kitab al-Ahkām bab Man Buniya fî Haqqihi Mā Yadurru bijārihi” (Beirut:
Dār al-Fikr, t.t.), 11: 57, hadiś No. 2739.
[23] Abu Dāwud, Sunan Abî Dāwud, Kitāb
aţ-Ţalāq, bab Karāhiyah aţ-Ţalāq (Beirut: Dār
al-Fikr,t.t.), 11: 225, hadiś No. 22178.
[24] Ibnu Mājah, Sunan Ibnu
Mājah, Kitāb aţ-Ţalāq, Bab Karāhiyah al-Khulu’ Lil
Mar’ah (Beirut: Dār al-Fikr,
t.t.), 1: 632, Hadiś No. 2081.
[32] As-San’ani, Subul
as-Salām, Kitāb al-Qadā, Bab al-Da’awā wal
Bayyināt (Mesir: Mustafa al-Bābi al-Halabi wa Aulāduh, 1950), IV: 132.
[43] Abu Abdullah Muhammad Ibn
Yazid Ibn Majah, Kitab Ahkam Sunan Ibnu Majah Bab Man Bana Fi Haqih Ma
Yaduruh bi Jarih, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1.1), II: 784 Hadis No.
2340. Ibn Majah meriwayatkan dari Abd Rabbih Ibn Khalid an-Numayriy.
[45] Muslim, Shahih
Muslim, Kitab At} T}ala>q, Bab Bayanu An Takhayyara,
Imraatin la> yaku>nu T}ala>qan ila> bi anniyatui, (Beirut
Da>r al-Fikr, 1972), VII: 86.
[47] Muhammad Jawad
Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Affif Muhammad, Cet.
1 (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm. 204.
[59] Mustafa al-Khusairi
al-Mansuri, al-Muqtatifa min Uyun at-Tafassir, Jilid 2 (Kairo: Dār
as-Salām, 1996), hlm. 249.
[60] Abdul Karim al-Khattib, at-Tafsir
al-Qur’an li al-Qur’an,
Jilid 2 (Beirut: Dār al-Fikr, 1970), hlm. 277.
[61] Muhammad Rasyid Rida, Tafsir
al-Qur’an al-Hakim: as-Sahîr bi Tafsir
al-Manār (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), II, hlm. 412.
[62] Muslim diriwayatkan
dari Abu Bakkar bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukharî (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), VI: 193, diriwayatkan dari
Muhammad bin Musannah, dari Yahya dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah. al-Jami’u as-Sahîh, Kitab al-Hajj, bab Sifat: Hijjatin
Nabiyyi SAW, IV, hlm. 41,
[63] Al-Imam Abi Abdillah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizhbah al-Bukhari,
Al-Ja'fi. Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), VI:
193. Diriwayatkan dari Muhammad bin Mutsanna dari Yahya dari Hisyam, dari
ayahnya dari Aisyah.
[64] Nasruddin Thaha, Pedoman
Perkawinan Perkawinan Umat Islam: Nikah, Rujuk, Cet.2 (Jakarta: Bulan
bintang, 1975), hlm. 93.
[66] Abdul Rahman al-Jaziri, Kitab
al-Fiqh 'ala al-mazàhibal-Arba'ah (Beirut: Dàr al-Fkr, 1996), IV, hlm.
482-483.
[67] M. Quraisy Syihab, Untaian
Permata Buat Anakku,Pesan al-Qur'an Untuk Mempelai (Jakarta: Darul
Ulum Press, 1994), hlm. 118.
[69] Zaitunah Subhan, Tafsir
Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur'an, Cet. 1 (L KiS,
1999), hlm. 106-108.
[70] Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing
Istri Mendampingi Suami, Cet. IV (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999),
hlm. 81-83.
[76] A. Rahman, Karakter
Hukum Islam, alih bahasa Zainuddin dan Rusydi Sulaiman (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 369.
[80] Al-Imam al-Qadi Abu al-Walid
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayatu
al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtasid (Beirut: Dàr al-Fikr, t.t.), II,
hlm. 41.
[88] Imam al-Hàfiz Abu 'Isa
Muhammad bin 'Isa bin Surauh at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi wa
Huwa al-Jami'u as-Sahihi (Beirut: Dàr al-Fikr, 1978) Bab Majà fi
Sya'ni al-Hisab wa al-Qisas, IV, hlm35. Diriwayatkan dari Humaid bin
Mas'adah, dari Husain bin Numair Abu Muhsan, dari Husain bin Qais ar-Rahabi
dari 'Ata' bin Abu Rabah dari Ibnn 'Umar dari Ibnu Mas'ud
[90] Al-Imam Abi Abdillah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim, bin Al-Mughirah, bin Barbizbah al-Bukhari
al-Ja'fi, Shahih Al-Bukhari, Kitab an-nafaqa>t (Beirut: Da>r
al-Fikr, ttp, 1981), VI: 189. Diriwayatkan dari Adam bin Abi Iyas dari Syu'bah
dari Ali Bin Tsabit dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, dari Abi Mas'ud
Al-Anshari.
[91] Muslim, Al-Jami'u As} Sahi>h……,
kitab az-Zakat Bab Fardu Annafaqah, ala> al-'iyyal Wa
al-Mamluk, III: 78. HR. Muslim dari Abu Bakar dari Waki' dari Sufyan
dari Muzahim bin Jufar dari Mujahid, dari Abi Hurairah.
0 Response to "Pengertian, Alasan dan Hukum Perceraian dalam Islam"
Post a Comment