Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 11 – 12
menurut tafsir al-Maragi
Nilai
adalah suatu penetapan atau suatu kualitas obyek yang menyangkut suatu jenis
apresiasi atau minat.[1]
Dalam arti lain, nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia
atau masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap baik, benar, dan hal-hal yang
dianggap buruk dan salah.[2]
Contoh; nilai budaya, maksudnya konsep abstrak mengenai masalah dasar yang
sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia, atau nilai keagamaan.
Dengan kata lain adalah sebuah konsep mengenai penghargaan yang diberikan oleh
warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan beragama yang
bersifat suci, sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga
masyarakat yang bersangkutan.
Di samping
itu nilai juga bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca
indera, sedangkan yang dapat disentuh hanyalah barang atau tingkah laku yang
mengandung nilai tersebut. Nilai juga bukan fakta yang berbentuk kenyataan dan
konkrit. Oleh karena itu masalah nilai bukan soal benar dan salah, tetapi soal
dikehendaki atau tidak, sehingga bersifat subyektif.[3]
Nilai tidak mungkin diuji, dan ukurannya pun terletak pada orang yang menilai.
1)
Nilai Ilahi
Nilai Ilahi merupakan nilai yang dititahkan Allah melalui
para Rasul-Nya, yang berbentuk taqwa, iman, adil yang diabadikan dalam wahyu
Ilahi. Nilai ini bersifat statis dan kebenarannya mutlak. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 2
yang berbunyi;
ذلِكَ
الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: Kitab
(al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.[4]
Nilai-nilai Ilahi selamanya tidak mengalami perubahan.
Nilai-nilai Ilahi yang fundamental mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia
selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta tidak berkecenderungan
untuk berubah mengikuti selera hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan perubahan sosial, dan tuntutan individual. Konfigurasi dari
nilai-nilai Ilahi mungkin dapat mengalami perubahan, namun secara intrinsik
tetap tak berubah. Hal ini dikarenakan bila intrinsik nilai tersebut berubah,
maka nilai kewahyuan (Revillatif) dari sumber nilai yang berupa kitab suci
al-Qur’an akan mengalami kerusakan.[5]
Pada nilai Ilahi, tugas manusia adalah menginterpretasikan nilai-nilai itu,
dengan interpretasi tersebut manusia akan mampu menghadapi ajaran agama yang
dianut.
2)
Nilai Insani.
Yaitu sebuah nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia
serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis,
sedang keberlakuan dan kebenarannya relatif (nisbi) yang dibatasi oleh ruang
dan waktu. Firman Allah dalam surat
Yunus ayat 36 yang berbunyi:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ
ظَنَّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
بِمَا يَفْعَلُوْنَ
Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.[6]
Pada nilai Insani, fungsi tafsir adalah lebih memperoleh
konsep nilai itu sendiri atau lebih memperkaya isi konsep atau juga untuk
memodifikasi bahkan mengganti dengan konsep baru. Nilai-nilai Insani yang
kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan tata nilai, kenyataan
ikatan-ikatan tradisional sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan
kemajuan manusia. Disini terjadi kontradiksi antara kepercayaan yang diperlukan
sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia. Akan tetapi nilai-nilai
itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, yang justru merugikan
peradaban. Dari situlah perkembangan peradaban menginginkan sikap meninggalkan
bentuk kepercayaan dan nilai-nilai yang sungguh-sungguh merupakan suatu
kebenaran.[7]
a.
Nilai akhlak
Nilai akhlak adalah sesuatu yang berasal dari Allah, bukan
buatan manusia. Yang dari-nya akan terlahir perbuatan yang baik dan terpuji
menurut rasio dan syari’at. Karena Allah telah mewahyukan al-Qur’an yang berisi
nilai-nilai akhlak yang mulia kepada Nabi SAW; untuk kemudian membiarkan
penjelasan detailnya pada sunnah Nabi SAW, yang berbicara dengan hawa nafsu.
Nilai juga berarti sesuatu yang bermanfaat bagi manusia jika mereka berpegang
dengannya, dalam memperbaiki agama mereka di dunia dan akhirat. Tanpa itu
mereka akan merasakan derita di dunia
dan rugi di akherat. Karena nilai akhlak manapun tak dapat menggantikan nilai
ini, dan tak dapat pula menggantikan fungsinya sama sekali.[8]
Dalam Islam, nilai akhlak mempunyai ciri-ciri yang
membedakan dari seluruh nilai-nilai selainnya. Bahkan pendidikan akhlak Islam
seluruhnya memiliki ciri-ciri ini. Diantara ciri-ciri tersebut adalah sebagai
berikut:
1)
Nilai akhlak atau pendidikan
akhlak bagi muslim berdiri, karena ada rasa tanggung jawab terhadap perkataan dan
perbuatan yang telah dilakukan. Hal ini tumbuh dalam dirinya, bukan karena
syarat dan bukan pula karena rasa takut yang menggerakkannya, sebagaimana di
seluruh nilai-nilai akhlak.[9]
Perasaan tanggung jawab ini ditujukan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Firman Allah dalam surat
al-Isra’ ayat 36, yang berbunyi:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلٌّ أُوْلئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُوْلاً
Artinya: Janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung
jawabannya.[10]
2)
Mengajak kepada ilmu dan
pengetahuan, mendorong untuk mendapatkan ilmu, bahkan menuntut ilmu agama yang
pokok dinilai sebagai kewajiban pribadi oleh Islam. Sementara seluruh ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan urusan dunia dinilai sebagai kewajiban kifa’i (jama’ah). Sebagaimana firman
Allah yang pertama diturunkan kepada Nabi SAW; yaitu surat al-‘Alaq ayat 3-5 yang berbunyi:
إِقْرَأْ
وَرَبُّكَ اْلأَكُرَمُ. اَلَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ
Artinya: Bacalah,
dan Tuhanmu lah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.[11]
3)
Memilih kebenaran dan kebaikan,
serta saling memberi nasehat, bersabar, beramal dengan kandungannya, bersama
diri sendiri, orang disekitar dan seluruh manusia; sebagaimana Nabi SAW diutus
oleh Allah SWT, adalah dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan
memberi peringatan.[12]
b.
Nilai pendidikan akhlak.
Akhlak secara etimologis merupakan bentuk jamak (plural)
dari kata khalaqa, yang diartikan sebagai perangai, atau budi pekerti,
gambaran batin atau tabiat.[13]
Sedang secara terminologis ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari
perilaku yang konstan (tetap) yang meresap ke dalam jiwa, dari padanya
tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan
pertimbangan.[14]
Para
ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran
bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan
rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang
tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas
dan jujur. Sebagaimana tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah
mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa,[15]
yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita,
jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi,
tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu
membedakan buruk dengan baik, memilih suatu fadhilah, karena cinta fadhilah,
menghindari suatu perbuatan yang tercela karena ia tercela, dan mengingat Tuhan
dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.[16]
Dengan
akhlak dapat dilihat corak dan hakikat manusia sebenarnya. Sebagaimana sabda
Nabi SAW:
إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا
صَلُحَتْ صَلُحَتْ سَائِرُ الْجَسَدِ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتْ سَائِرُ الْجَسَدِ
إِلاَّ وَهِيَ الْقَلْبُ (رواه البخارى)
Artinya:
Sesungguhnya di dalam tubuh (jasad) seseorang terdapat segumpal darah/daging,
apabila daging tadi baik maka baiklah semua tubuh (tingkah laku) dan apabila
daging itu tidak baik, maka semua tubuh (tingkah laku) akan menjadi tidak baik,
daging itulah yang disebut hati
(qolbun). (H. R. Bukhori).[17]
Sementara itu M. Quraish Shihab dalam bukunya "Wawasan
Al-Qur'an", berpendapat bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat
disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama
manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriyah. Menurutnya,
akhlak lebih luas lamanya dari pada yang telah dikemukakan di atas serta
mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah. Misalnya yang
berkaitan dengan sikap batin dan pikiran. Akhlak diniyah (agama)
mencakup berbagai aspek dimulai dari akhlak kepada Allah, Malaikat, Rasul
hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan
benda-benda tak bernyawa).[18]
Berikut pemaparan sekilas tentang beberapa sasaran nilai pendidikan akhlak :
1)
Akhlak kepada Allah SWT
Titik tolak akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah.[19]
Dia memiliki sifat-sifat terpuji;
demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu
menjangkau hakikat-Nya. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur'an mengajarkan kepada
manusia untuk memuji-Nya, wa qul alhamdulillah (katakan"
Alhamdullillah"). Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat An-Naml ayat 93,
secara tegas dinyatakan-Nya bahwa:
وَقُلِ الْحَمْدُ ِللهِ سَيُرِيْكُمْ
آيتِهِ فَتَعْرِفُوْنَهَا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah,
dia akan memperlihatkan padamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan
mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.[20]
Semua itu menunjukkan bahwa semua makhluk tidak dapat
mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah SWT.
Itu sebabnya mereka-sebelum memuji-Nya- bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya.
Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau
Al-Qur'an memerintahkan kepada manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena
segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
2)
Akhlak kepada Rasulullah SAW
Setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tentulah
harus beriman bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasulullah yang terakhir,
penutup sekalian Nabi dan Rasul; tidak ada lagi Nabi, apalagi Rasul sesudah
beliau, sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 40. Beliau diutus oleh Allah SWT untuk
seluruh ummat manusia sampai hari kiamat nanti (Q.S. Saba': 28), kedatangan
beliau sebagai utusan Allah merupakan rahmat bagi alam semesta (Q. S.
Al-Anbiya': 107).[21]
3)
Akhlak kepada Sesama Manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur'an berkaitan
dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya
dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif, seperti membunuh, menyakiti
badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai
kepada menyakiti hati dengan cara menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar
atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.[22]
Dan tidaklah wajar bila seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok lain,
tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan
seseorang dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan yang buruk. Firman Allah
dalam Al-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 263 yang berbunyi:
قَوْلٌ
مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرُةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذَى
Artinya: Ucapan
yang wajar lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan si penerima).[23]
4)
Akhlak kepada Lingkungan
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda
tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak diajarkan al-Qur'an terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya
interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam.
Kekhalifahan mengandung arti pengayoman,
pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan
penciptaannya.[24]
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah yang belum atau memetik bunga yang belum mekar, karena hal ini
tidak memberikan kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses yang sedang
berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian
mengantarkan manusia bertanggungjawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan,
bahkan dengan kata lain, "setiap perusakan terhadap lingkungan harus
dinilai sebagai perusakan kepada diri manusia sendiri".
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan Allah SWT dan menjadi milik-Nya, Serta semua memiliki ketergantungan
kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan manusia untuk menyadari bahwa semuanya
adalah " ummat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan
baik. Jika sudah demikian, maka manusia tidak lagi mencari kemenangan, tetapi
keselarasan dengan alam. Keduanya harus tunduk kepada Allah, sehingga mereka
harus dapat bersahabat.
Dari uraian atau paparan di atas dapat diakhiri dengan pernyataan
bahwa "keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya"
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
اَلدِّيْنُ
الْمُعَامَلَةُ
Artinya:
Agama adalah hubungan interaksi yang baik.
Dan sabdanya pula:
مَا مِنْ شَيْئٍ أََثْقَلَ فِىْ
مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
(رواه الترميذي)
(رواه الترميذي)
Artinya: Tidak ada
sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat
melebihi akhlak yang luhur. (H. R. Tirmidzi).[25]
[1] Muhaimin
dan Abdul Mujib, Pemikiran …, hal. 109.
[2] Ibid., hal. 110.
[3] Ibid.
[5] Muhaimin
dan Abdul Mujib, Pemikiran…., hal. 111.
[7] Muhaimin
dan Abdul Mujib, Pemikiran…. hal. 112.
[8] Ali
Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, penrj. Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk, (Jakarta : Gema Insani,
2004), hal. 46 – 47.
[9] Ibid.
[11] Ibid,, hal. 1079.
[12]Ali Abdul
Halim Mahmud, Kuliah…., hal. 53.
[13] Ahmad Warson Munawir,
Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pengadaan
Buku-Buku Ilmiah Keagamaan, P. P. Al-Munawir, 1984), hal. 393.
[14] Zaenuddin, dkk, Seluk
Beluk Pendidikan dari Al-Ghozali, (Jakarta: Bumi Aksara , 1991), hal. 102 .
[15] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 1.
[16] Ibid.
,hal. 103.
[19] Ibid.,
hal. 262.
0 Response to "Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 11 – 12 menurut tafsir al-Maragi"
Post a Comment