Konsep ulul albab dalam al quran | konsep ulul albab sebagai sosok intelektual | konsep ulul albab dalam pendidikan
KONSEP ULŪ AL-ALBĀB DALAM AL-QUR'ĀN
DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
(PENDEKATAN TAFSĪR MAUḌŪ‘IY-FILOSOFIS-CRITICAL PEDAGOGY)
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan aktivitas yang sengaja dilakukan untuk mengaktualisasikan segala
potensi yang ada pada diri peserta didik, baik yang menyangkut ranah afektif (ruhiyah),
kognitif (‘aqliyah) maupun psikomotorik (jasadiyah). Pendidikan yang
merupakan usaha sadar untuk mengembangkan individu secara penuh tersebut, sarat
akan norma dan nilai-nilai. Oleh karena itu, norma dan nilai-nilai menjadi
penting dalam semua perencanaan pendidikan; baik itu norma sekularis, humanis,
marxis maupun religius. Islam memberikan
sebuah norma obyektif untuk semua pelaksana pendidikan.[1] Pendidikan dalam Islam yang memberikan norma obyektif tersebut
bersumber pada al-Qur'ān dan al-Ḥadīṡ.
Al-Qur'ān sebagai sumber pedoman bagi umat Islam
mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia. Begitu pula dengan nilai yang
berkaitan dengan pendidikan, hampir dua pertiga ayat-ayat dalam al-Qur'ān
mengandung motivasi kependidikan bagi umat manusia.[2] Salah satu hal yang disebutkan dalam
al-Qur'ān adalah tentang tujuan pendidikan Islam.
Tujuan akhir
dari pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam, sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur'ān surat
Al-Anbiyā' (21) ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ (107)
yang artinya: “Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[3]
Ayat tersebut mengandung hakikat tentang misi Islam, yaitu membawa
kesejahteraan manusia di dunia maupun di akhirat. Jika ayat tersebut dikaitkan
dengan pendidikan, maka dapat dipahami bahwa pendidikan berorientasi untuk
melahirkan generasi yang mampu melaksanakan misi raḥmatan li al-‘ālamīn
dan menjadi agen perubahan sosial (agent of social change).
Kalau kita
cermati bahwa salah satu ciri dari pendidikan Islam yaitu perubahan sikap dan
tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, maka dengan kata lain, pendidikan
Islam itu merupakan upaya sadar dalam rangka pembentukan kepribadian muslim.[4]
Di sini dapat dipahami bahwa tugas pendidikan pada umumnya termasuk pendidikan
Islam pada khususnya adalah untuk membantu peserta didik agar memiliki
sifat-sifat kepribadian yang unggul dan kemampuan untuk mewujudkan diri menjadi
sosok yang sampai pada puncak pramid manusia. Sosok manusia tersebut unggul
dalam kehidupan material, sosial dan unggul pula dalam kehidupan spiritual
berdasarkan ajaran agama Islam. Ketiga keunggulan tersebut bersifat saling
menunjang, sehingga mampu mewujudkan kehidupan yang selamat, bahagia dan
sejahtera dunia dan akhirat.[5]
Dengan demikian, output ideal yang seharusnya dicapai oleh lembaga
pendidikan adalah manusia-manusia yang mempunyai kesiapan untuk mencapai
karakteristik cendekiawan atau intelektual.
Akan
tetapi, realita yang terjadi saat ini, ternyata kejahatan dan pelanggaran
terhadap nilai-nilai, justru banyak dilakukan oleh penjahat kerah putih (white
collar crime), yaitu kaum atau golongan yang notabenenya adalah kaum yang seharusnya
memberikan teladan kepada masyarakat luas. Tindakan yang merugikan masyarakat
luas ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh golongan yang terpelajar,
terdidik, para pengusaha, para pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Bahkan kejahatan kerah putih ini lebih berbahaya daripada yang dilakukan oleh
kaum kerah biru (blue collar crime), yang merupakan golongan yang
menempati strata rendah, kaum kurang terdididik, kurang terpelajar.[6]
Hal ini menunjukkan salah satu kegagalan pendidikan dalam menghasilkan output
dan outcome yang berkualitas.
Kegagalan lain
yang menimpa dunia pendidikan saat ini adalah persoalan inkonsistensi,
irasionalitas, pragmatisme, suka mencari jalan pintas dan serba instant
merupakan persoalan budaya dan mentalitas yang ditimbulkan oleh kesalahan
mendidik, mendidik yang menindas murid; maka dari itu, produk pendidikan selama
ini juga sering melakukan manipulasi, korupsi, dan menindas sesama.[7] Adanya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pun
menunjukkan sikap yang tidak toleran, saling mencurigai, terjadi pelecehan
hokum dan masyarakat kehilangan rasa persatuan dan toleransi. Hal ini mencoreng
wajah dunia pendidikan yang ternyata mengisolasikan manusia dari sesamanya,
dari masyarakatnya; sehingga, menghasilkan output dan outcome
yang tidak bertanggung jawab dan tidak berbudaya (not civilized).[8]
Bertolak
dari realita tersebut, maka pendidikan secara umum dan khususnya pendidikan Islam
seharusnya mampu menghasilkan output dan outcome yang mampu
mengemban misi raḥmatan li al-‘ālamīn; mempunyai kesadaran transendental. Karakteristik
cendekiwan muslim yang dianggap kompeten membangun masyarakat yang berperadaban
tersebut dalam al-Qur'ān disebut sebagai ulū al-albāb. Menurut Dawam
Rahardjo, kata yang paling tepat untuk dirujuk dalam konteks makna dan tugas
cendekiwan muslim dewasa ini adalah ulū al-albāb, sebab dalam kata ulū
al-albāb itulah kombinasi antara ulamā` dan pemikir itu terlihat dengan
jelas. Kata ulū al-albāb
merupakan sebuah konsep yang penting dalam al-Qur'ān berkaitan dengan hakikat
sosial keberagamaan Islam.[9] Kata
ini disebutkan sebanyak 16 kali di dalam al-Qur'ān.[10] Ulū
al-albāb inilah yang nantinya menjadi sebuah tawaran output sekaligus
outcome pendidikan, mengingat kegagalan-kegagalan pendidikan yang telah
disebutkan di atas.
Ulū al-albāb sementara ini dipahami sebagai seorang muslim
yang beriman, memiliki wawasan keilmuan, mengamalkan ilmunya dan memperjuangkan
gagasan-gagasannya sampai terwujud suatu tata sosial yang diridloi Allāh Swt.[11]
Batasan ini nampak terlalu ideal, tetapi karakteristiik ulū al-albāb
yang diharapkan menjadi output dan outcome ideal pendidikan
memang demikianlah seharusnya. Secara sekilas, karakter ulū al-albāb ini
dapat dipahami melalui ayat-ayat al-Qur'ān, antara lain QS. Ali ‘Imrān (3) ayat
190-191. Kemudian wawasan keilmuan yang dimaksud di sini sudah barang tentu
yang Islami dan yang harus dicari secara berkesinambungan sambil diamalkan dan
diperjuangkan, sehingga secara keseluruhan memiliki kesadaran sami’nā wa aṭa’nā kepada Allāh Swt. dalam proses tugas
kecendekiawanannya. Jadi, target ideal yang harus dicapai oleh lembaga
pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang mempunyai kesiapan
untuk mencapai karakteristik ulū al-albāb seperti yang dimaksud. Output
dan outcome pendidikan seperti inilah yang merupakan arah yang harus
dituju agar kelak mampu mewujudkan
peradaban Islam alternatif.[12]
Menurut Samuel P. Huntington, modernisasi dan
perkembangan moral manusia merupakan
hasil dari tingginya tingkat modernisasi dan perkembangan moral manusia merupakan hasil dari tingginya
tingkat pendidikan, kesadaran dan pemahaman manusia terhadap dirinya sendiri dan alam yang
menggerakan suatu peradaban pada tingkatan yang lebih tinggi. Ketika suatu
peradaban berkembang, ia semakin kokoh dan mampu mengembangkan berbagai
teknologi dan keahlian yang menjadikannya semakin berperadaban (civilized).[13]
Dengan demikian, idealnya keluaran pendidikan itu mampu menciptakan sebuah budaya dan tradisi menuju terwujudnya masyarakat
berperadaban (civilized society).
Apabila dicermati,
gambaran output dan outcome pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qur'ān,
yang diharapkan mampu memunculkan peradaban Islām alternatif tersebut, selaras dengan apa yang
telah dicanangkan oleh UNESCO tentang empat pilar pendidikan yaitu learning
to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk
mengerjakan), learning to be (belajar untuk menjadi) dan learning
to live together (belajar untuk bisa hidup bersama dalam masyarakat).
Menurut UNESCO, keluaran dari proses pendidikan
merupakan pribadi utuh dengan keunggulan secara berimbang dalam aspek spiritual, sosial, intelektual,
emosional dan fisikal. Di samping itu, juga pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memperoleh
kebahagiaan hidup secara seimbang antara
kehidupan dunia dan akhirat, antara kehidupan pribadi dengan kehidupan bersama
(sosial).[14]
Akan tetapi, realitanya
jika ditelusuri secara teliti, kiprah ulū
al-albāb (cendekiawan muslim) dewasa ini di berbagai belahan dunia, ideal
cendekiawan tersebut baru terwujud dalam jumlah yang sangat kecil, tidak
sebanding dengan jumlah umat dan lembaga pendidikan Islam yang ada. Biasanya
mereka yang segelintir tersebut, memiliki keprihatinan yang mendalam mengenai
keadaan umat yang semakin tidak menentu ini. Pernyataan terakhir merupakan
pembeda utama eksistensi cendekiawan muslim dengan cendekiawan di luar mereka,
yang cenderung meninggalkan umat karena menjadi pengabsah agung terhadap
politik tertentu, berakrab-akrab dengan budaya barat sampai lebur identitas
kemuslimannya.[15]
Dari uraian di
atas, dapat dipahami bahwa ulū al-albāb merupakan sebuah output/outcome
ideal yang harus dicapai oleh pendidikan Islām. Namun kenyataannya, kian hari
umat Islām semakin tertinggal jauh dari tuntutan zaman. Dengan kata lain,
pendidikan belum berhasil menciptakan output dengan karakteristik ulū
al-albāb, ulamā` dan pemikir, karena kurang adanya kejelasan orientasi/
tujuan pendidikan. Selain itu, keluaran pendidikan dipahami hanya sebagai output,
tidak sampai menyentuh wilayah outcome pendidikan. Padahal, tantangan
pendidikan Islām di era post-modern ini sangatlah berat.
Dengan demikian,
apakah konsep ulū al-albāb yang menjadi tawaran konseptual pendidikan tersebut
perlu mendapatkan penafsiran yang lebih luas dan lebih jelas dalam dunia
pendidikan. Kemudian, apakah ke depan pendidikan mampu mencetak output dan
outcome tersebut; maka dari itu, perangkat seperti apa sajakah yang
diperlukan untuk melahirkan generasi yang mampu melakukan transformasi sosial
dan menciptakan civil society serta melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan yang lain dalam rangka melaksanakan misi raḥmatan li al-‘ālamīn.
Untuk
menjawab berbagai persoalan pendidikan di atas, maka penelitian tentang konsep ulū
al-albāb dalam al-Qur'ān dan implikasinya terhadap pendidikan Islam (pendekatan
tafsīr mauḍū‘iy-filosofis-critical
pedagogy) ini, memfokuskan pembahasan pada pengkajian secara tematik (mauḍū‘iy) terhadap
teks-teks al-Qur'ān yang mengandung kata ulū al-albāb dengan melakukan
penggalian kepada sumber data primer dan data sekunder, untuk mengetahui makna
term ulū al-albāb tersebut sesuai dengan konteks turunnya ayat. Langkah
selanjutnya, dilakukan analisa secara sintetik-analitik terhadap
datum-datum tersebut melalui pendekatan filosofis, yaitu dengan menggunakan
metode hermeneutik untuk melihat teks ayat tersebut dan bagaimana
konteks sekarang. Akhirnya, untuk melihat bagaimana implikasi konsep tersebut
terhadap pendidikan Islām saat ini, pembahasan akan dibingkai dalam kerangka
pendidikan (critical pedagogy). Sehingga diharapkan dari penelitian ini,
akan ditemukan adanya desain format pendidikan Qur'āni yang mampu menghasilkan output
dan outcome pendidikan yang unggul dan berkualitas.
Perlu
dipahami, bahwa konsep adalah rancangan yang telah ada dalam fikiran; ide atau
pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran mental dari
obyek; proses atau apa pun di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain.[16]
Menurut Zamroni, konsep dibangun dari
definisi. Suatu definisi adalah sistem terminologi, seperti kalimat, simbol
atau rumus matematika yang menunjukkan fenomena sebagaimana dimaksud oleh
konsep.[17]
Konsep yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah konsep ulū al-albāb yang digali dari paradigma al-Qur'ān dan
dari konsep tersebut akan didesain format sebuah pendidikan Islam berorientasi ulū
al-albāb.
B. Rumusan Masalah
Berpijak
pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan yang akan
dibahas. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:
1. Bagaimana konsep ulū
al-albāb dalam al-Qur'ān?
2. Bagaimana implikasi
konsep ulū al-albāb terhadap pendidikan Islam?
C. Kajian Pustaka (Prior
Reseach on Topic)
Kajian pustaka
memuat dua bagian pokok, yaitu mengkaji hasil penelitian yang relevan dan
landasan teori.
1. Penelitian terdahulu (Prior
Research on Topic)
Pembahasan
tentang ulū al-albāb dipandang sangat perlu dan relevan untuk
mempersiapkan generasi berkualitas dan menghasilkan output pendidikan
yang mampu melakukan sebuah transformasi sosial. Tetapi cukup disayangkan,
penelitian ilmiah tentang masalah ini belum
banyak dilakukan. Beberapa kajian yang telah terdahulu, dirasakan
peneliti masih kurang begitu mendalam, apalagi tidak sampai menyentuh pada wilayah
implikasi kependidikan.
Setelah
mengadakan penelitian kepustakaan, sejauh pengamatan dan penelusuran penyusun
terhadap karya-karya ilmiah baik skripsi maupun tesis di perpustakaan UIN Sunan
Kalijaga, judul “Konsep Ulū al-Albāb dalam Al-Qur'ān dan Implikasinya terhadap
Pendidikan Islam (Pendekatan Tafsīr
Mauḍū‘iy - Filosofis – Critical Pedagogy)” belum ada. Meskipun
demikian, penulis menemukan beberapa tulisan yang telah membahas tentang ulū
al-albāb ataupun tentang intelektual
muslim dalam al-Qur'ān .
Adapun
judul buku yang membahas tentang ulū al-albāb, sebatas yang penulis ketahui antara lain:
a. Buku karya M. Quraish
Shihab yang berjudul "Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat" (2003), pada bagian kedua, bab IV membahas tentang peran dan tanggung jawab
intelektual muslim. Dalam bab IV buku tersebut, dibahas tentang siapakakah
intelektual muslim yang dibahas dalam QS. Alī-‘Imrān ayat 190-195, bagaimana
peran dan tanggung jawabnya dari sisi ketahanan di bidang ideologi, ketahanan
di bidang politik, ketahanan di bidang ekonomi serta ketahanan di bidang
budaya. Menurut Quraish Shihab, Ulū al-albāb didefinisikan dengan orang yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[18]
1) Berdzikir atau mengingat
Allāh Swt. dalam segala situasi dan kondisi,
2) Memikirkan atau memperhatikan
fenomena alam raya, yang pada saatnya memberi manfaat ganda,
3) Berusaha dan berkreasi
dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasil-hasil yang diperoleh dari
pemikiran dan perhatian tersebut.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat
disimpulkan bahwa peran ulū al-albāb tidak hanya sebatas pada perumusan
dan pengarahan kepada tujuan-tujuan, tetapi sekaligus harus memberikan contoh
pelaksanaan serta sosialisasinya di tengah masyarakat.
Akan tetapi, ada
yang terasa kurang, yaitu tulisan tersebut tidak menyebutkan dan membahas semua
ayat tentang ulū al-albāb, hanya beberapa ayat saja yang dikaji.
Sehingga, dalam pembahasan tersebut analisanya dianggap kurang menyeluruh dan
kurang mencakup makna "intelektual muslim" yang dimaksudkan oleh
al-Qur'ān. Di samping itu, tampaknya Quraish Shihab juga tidak menggunakan al-Ḥadīṡ untuk
menjelaskan ayat tentang ulū al-albāb.
b. Ensiklopedi Al-Qur'an
karya M. Dawam Rahardjo, yang berjudul: "Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir
Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci" (1996), dalam entri ulū
al-albāb. Dalam entri tersebut, Dawam Rahardjo menelusuri makna kata ulū
al-albāb dengan sepenuhnya merujuk kepada al-Qur'ān dan tinjauan
sosiologis..
Dawam Rahardjo
mengutip pendapatnya Hanna E. Kassis dalam a Concordance of the Qur'an
(1993), menyebutkan arti kata ulū al-albāb sebagai:
1) Orang yang mempunyai
pemikiran (mind) yang luas atau mendalam,
2) Orang yang mempunyai
perasaan (heart) yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya,
3) Orang yang memiliki daya
pikir (intellect) yang tajam atau kuat,
4) Orang yang memiliki
pandangan dalam atau wawasan (insight) yang luas, dan mendalam,
5) Orang yang memiliki
pengertian (understanding) yang akurat, tepat atau luas, dan
6) Orang yang memiliki
kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran, dengan
pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil.
Kesimpulan Dawam
Rahardjo, Ulū al-albāb adalah seorang yang mempunyai otak yang
berlapis-lapis dan sekaligus, memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya. Kata
“cendekiawan” adalah padanan katanya, yaitu sekelompok orang yang memiliki misi
dan komitmen terhadap prubahan sosial dan mempunyai keberanian moral untuk
membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan.
Dalam
ensiklopedi tersebut telah banyak dibahas ayat-ayat yang berkaitan dengan ulū
al-albāb. Ulū al-albāb telah dikupas dan diulas dengan tajam. Namun
demikian, tidak semua ayat yang
mengandung kata itu diulasnya, hanya sebagian besar saja. Di samping itu, dalam
uraiannya, Dawam Rahardjo tidak menggunakan satu ḥadiṡ pun untuk memperjelas konsep ulū al-albāb
itu sendiri. Pembahasan pun masih terkesan singkat serta belum ada pembahasan dari sisi implikasi
konsep tersebut terhadap pendidikan
Islam.
Berpijak dari
uraian di atas, maka penelitian ini lebih memfokuskan pembahasan pada implikasi
konsep ulū al-albāb terhadap pendidikan Islam dengan sebelumnya mengkaji
konsep ulū al-albāb dalam al-Qur'ān
dengan metode mauḍū‘iy.
Adapun perbedaan
penelitian ini dengan penelitian dan pengkajian terdahulu (prior research on
topic) tentang konsep ulū al-albāb ini adalah: pertama,
dalam penelitian ini metode mauḍū‘iy yang diterapkan, menggunakan al-ḥadiṡ untuk menemukan
makna ulū al-albāb; berbeda dengan penelitian terdahulu di atas. Maka
dari itu, diharapkan makna konsep yang ditemukan lebih utuh dan luas. Kedua,
dalam menganalisa data hasil penelitian, digunakanlah pola berpikir sintetik-analitik
(konteks à teks à konteks). Ketiga, pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi mauḍū‘iy
(tematik), filosofis dan critical pedagogis,
sehingga pembahasannya sampai menyentuh pada wilayah implikasi kependidikan.
Ketiga hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu.
Asumsi yang dibangun, dengan adanya ketiga perbedaan ini, akan sangat
memperjelas hasil penelitian ini dan membedakan dengan hasil penelitian
terdahulu (clear and distinc).
2. Landasan Teori dan Konsep
Pada bagian
ini, diuraikan tentang teori-teori yang dianggap relevan dengan konsep ulū
al-albāb dan implikasi konsep tersebut terhadap pendidikan. Landasan teori di
sini dijadikan sebagai alat untuk menganalisis data yang ditemukan. Setelah mengetahui
kesimpulan sementara dari para peneliti terdahulu tentang konsep ulū
al-albāb, maka beberapa teori dalam kerangka pendidikan yang dapat digunakan untuk menganalisa konsep
ulū al-albāb dalam penelitian ini antara lain:
a. Teori Multiple
Intelligence
Dr. Howard Gardner
dalam bukunya Frames of Mind, tahun 1983, menampilkan Theory of
Multiple Intelligence yang terdiri atas tujuh kecerdasan yang meliputi:[19]
1) Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik), merupakan kemampuan
untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan
dan menghargai makna yang kompleks.
2) Logical-mathematical
intelligence (kecerdasan
logika-matematika), merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan
mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi
matematis.
3) Spatial intelligence (kecerdasan spasial), membangkitkan kapasitas
untuk berfikir dalam tiga cara dimensi. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang
untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah,
atau memodifikasi bayangan.
4) Bodily-kinesthetic
intelligence (kecerdasan
kinestetik-tubuh), memungkinkan seseorang untuk menggerakkan objek dan
ketrampilan-ketrampilan fisik yang halus.
5) Musical Intelligence (kecerdasan musik), jelas kelihatan pada
seseorang yang memiliki sensitivitas pada pola titinada, ritme, melodi dan
nada.
6) Interpersonal Intelligence
(kecerdasan interpersonal)
merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara
efektif.
7) Intrapersonal
Intelligence (kecerdasan
intrapersonal), merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang
diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan
mengarahkan kehidupan seseorang.
b. Teori Sosial Kritis (Mazhab
Frankfurt)
Merupakan teori
yang mempengaruhi dan mempunyai kesamaan orientasi dengan pedagogik kritis. Menurut
para pemikir kritis, krisis masyarakat yang disebabkan oleh rasionalisme dan
positivisme, hanya dapat diatasi melalui proses kesadaran (self conscious)
terhadap peranan akal. Kesadaran diri (self consciousness) melahirkan
dua bentuk sikap, yaitu sikap kritis dan kemauan manusia untuk bertindak
mengubah keadaan. Menurut Mazhab Frankfurt, rasio bukan lagi digunakan untuk
melakukan berpikir kritis, tetapi rasio dijadikan sebagai pusat berpikir dan
berbuat dalam rangka pemerdekaan masyarakat. [20]
Salah satu
tokoh teori kritis sosial ini adalah Jurgen Habermas. Menurutnya ada tiga
wawasan atau domain kelanggengan hidup, yaitu reproduksi budaya, integrasi
sosial, dan proses sosialisasi.[21]
Masing-masing domain tersebut mempunyai strukturnya.
c. Konsep Critical
Pedagogy Paulo Freire
Hal ini berawal
dari filsafat pendidikan Freire, yaitu keadaan keadaan manusia menjadi sangat
penting untuk mengubah realitas sosial. Konsepnya tentang pedagogik yaitu:
pertama, pedagogik yang dikemukakan haruslah bersifat pendidikan yang
membebaskan. Kedua, pedagogik yang otentik adalah tindakan kultural yang
politis. Ketiga, pendidikan tradisional menerapkan metode bank. Keempat,
pendidikan dialogis adalah pendidikan yang menantang masalah-masalah. Dengan
demikian, pendidikan haruslah memberikan kesadaran atau membangkitkan
konsiensia.[22] Prinsip-prinsip
pendidikan kritis yaitu: pertama, manusia di dalam keberadaannya selalu
berdialog dengan subyek yang laindan dengan dunianya. Kedua, pengetahuan
yang diperoleh dalam lingkungan sekolah selalu terikat dengan suatu interest,
ilmu adalah konstruksi sosial. Ketiga, adanya kelas-kelas sosial
membatasi individual. Keempat, pemaksaan kebudayaan melalui kekuasaan
telah membatasi kemerdekaan dan perkembangan individual untuk mengambil
keputusan-keputusannya. Kelima, hegemoni atau sistem kekuasaan tidak dapat
dilepaskan dari ideology. Keenam, pendidikan kritis yang menghasilkan
tindakan dan pengetahuan haruslah diarahkan mengeliminasi penindasan, tetapi
dalam keadaan yang sama dalam mencapai keadilan dan kemerdekaan. Ketujuh,
adanya kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kedelapan,
lembaga sosial yang berkaitan dengan struktur kekuasaan cenderung merupakan lembaga
untuk reproduksi sosial; apabila lembaga sekolah telah berfungsi sebagai
lembaga yang mematikan kesadaran dan kebebasan manusia, maka tidak mengkin
diharapkan sekolah menjadi agen perubahan.[23]
[2] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam:
Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner
(Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 33.
[3] Departemen Agama
RI, Al-Qur'ān dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000),
hal. 264.
[6] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 409-411.
[8] H.A.R. Tilaar,
Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia
(Jakarta :
Grasindo, 2002), hal. xxxvi.
[9] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur'ān: Tafsīr Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 550.
[10] Muhammad Fuad Abdul
Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1981), hal. 644.
[11] Muslih Usa, (ed),
Pendidikan Islam di Indonesia: antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991), hal 111.
[13] Samuel P.
Huntington, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia,
penerjemah: M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2003), hal. 621.
[14] Abdul Madjid
& Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan
Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal 1-2.
[18] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung :
Mizan, 2004), hal. 389.
[19] Linda Campbell, dkk., Multiple Intelligences: Metode Terbaru
Melesatkan Kecerdasan, penerjemah: Tim Inisiasi (Jakarta : Inisiasi Press, 2002), hal. 2-3.
[20] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan….., hal.245-246.
[21] Ibid, hal. 221-224.
[22] Ibid, hal. 235-236.
[23] Ibid, 236-242.
0 Response to "Konsep Ulul Albab dalam al Quran sebagai Sosok Intelektual dalam Pendidikan"
Post a Comment