Islam Sasak | Penduduk asli pulau Lombok adalah suku
Sasak. Mereka berperawakan seperti layaknya orang Indonesia , berkulit sawo matang
(kalaupun sedikit gelap itu karena pengaruh sinar matahari). Penduduk Sasak
Asli masih banyak ditemukan di pelosok-pelosok pulau Lombok ,
khususnya di kaki-kaki Gunung Rinjani sebelah utara yang rimbun.
Selain suku Sasak, penduduk Bali yang
tinggal di Lombok juga sering mengunjungi
Gunung rinjani. Memakai segala atribut upacara adat, mereka berduyung-duyung
naik ke Danau Segara Anak dan melepaskan sesajen bagi putri Anjani, penunggu
Gunung Rinjani. Sesajen itu biasanya berupa emas, kerbau, dan makanan yang
dibuang di Danau Segara Anak.
Sejarah Lombok mencatat, bahwa dahulu, ada sebuah kerajaan yang besar di
Lombok hingga ke Sumbawa, yaitu Kerajaan Lombok - dikenal pula dengan nama
Kerajaan Selaparang - yang sejak lama telah menjalin perdagangan dengan
Palembang, Banten, Gresik dan Sulawesi.Selain Selaparang, ada juga kerajaan
lain, yaitu: Langko, Pejanggik, Cilinaya, dan Sandubaya, Sokong dan beberapa
kerajaan kecil seperti: Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, Pujut dan
Ketawang yang pada masa awalnya merupakan wilayah penaklukan kerajaan
Majapahit.
Pendidik di perkampungan Sasak ini masih tergolong sangat minim. Sebagian
besar anak menolak untuk sekolah di lembaga pendidikan formil. Hal ini mungkin
disebabkan oleh jauhnya letak Sekolah dari perkampungan mereka. Dalam hal
penerangan, beberapa dari mereka sudah menggunakan listrik, walau sebagian
besar masih memilih minyak tanah sebagai sumber energi penerangan. Penggunaan
listrik ini telah memberikan bencana bagi mereka beberapa kali. Akibat korslet
yang terjadi beberapa waktu yang lalu, telah terjadi kebakaran yang melahap
hampir seluruh rumah penduduk yang hanya terbuat dari bambu, kayu dan jerami.
Tak sedikit penduduk yang terluka akibatnya. Selain itu, akibat cuaca yang
terik pada musim kemarau, sering terjadi kebakaran hutan. Pada saat terjadi hal
tersebut, sang pemangku agama di haruskan untuk naik. Dalan hal berpakaian,
mereka masih berpegang pada pakaian tradisional walaupun pemuda-pemudi dan
anak-anak sebagian besar sudah memakai baju moderen
Agama yang dianaut oleh suku Sasak adalah agama Islam. Walaupun berdasar
pada agama Islam, Agama Islam di Lombok , setelah berakulturasi dengan
kebudayaan setempat, terpecah menjadi 2, yaitu Agama lima dan Agama Waktu Telu. Dalam agama lima , orang bersembahyang
menurut kemauannya sendiri. Dalam agama Waktu Telu, sesuai dengan sebutannya
yang berarti 'tiga waktu', hanya beribadah 3 kali sehari, beda dengan Islam
asli yang menunaikan shalat 5 kali sehari. Agama Waktu Telu ini hanya melakukan
shalat pada waktu shubuh, dhuzur dan maghrib. Setiap perkampungan mempunyai
seorang Hamaloka, pemangku yang memimpin segala kegiatan keagamaan kampung.
Jabatan Hamaloka ini diperoleh secara turun-temurun. Hamaloka ini jugalah yang
memimpin musyawarah-musyawarah penduduk seperti musyawarah acara penebangan
kayu..Suku sasak juga mempunyai beberapa pantangan, seperti misalnya sorang
pemuda dilarang unutk menaiki gunung Rinjani sebelum mereka mendapat 'Sembe'
dari sang pemuka agama. Sembe ini sendiri berupa pewarna sirih yang ditotokan
di dahi pemuda diiringi dengan doa-doaan. Tidak ada kriteria tertentu atas
pemberian sembe ini. Selain itu, penduduk Sasak secara rutin tipa tahunnya
mengunjungi Danau Segara Anak untuk upacara berobat. Dipercaya air Danau dapat
menyembuhkan penyakit.
Hubungan masyarakat Lombok dengan leluhurnya, apalagi
yang memiliki karomah, dan berjasa terhadap pengembangan Islam, begitu kuat.
Implementasi tersebut tampak dari kunjungan mereka ke makam keramat, atau
tempat berdiri terakhir tokoh panutan yang diberi karomah. Tidak kurang ribuan
warga masih memiliki keterikatan emosional dan spiritual seperti itu, sehingga
kadangkala berbagai upaya dilakukan untuk menjalankan niat dan keinginannya
pada makam keramat. Bagaimana sejarah Islam di Lombok sehingga makam keramat
menjadi sesuatu yang begitu mengikat masyarakat Sasak.
Kelompok wali ini hanya menyebarkan tiga saja, yakni mengucpkan kalimat
syahadat, salat dan puasa. Kemudian yang terakhir abad ke-16 datang pemantapan
Islam yakni ulama besar dari Goa , Minangkabau,
bernama Datok Ring Padang. Ia mengajarkan semua rukun Islam. Rukun yang lima itu setelah Belanda
datang dinamakan dengan waktu lima
sehingga lahirlah Islam waktu tiga dan waktu lima .
Hampir semua
dari kelompok itu punya ikatan kuat dengan leluhur. Di dalam kepercayaan roh
leluhur itu tidak mati. Jasad mati, tetapi roh itu masih ada. Dengan
kepercayaan kuat seperti itu, orang Sasak percaya suatu saat roh leluhur itu
bisa datang. Sehingga ada istilah rowah. Rowah itu berasal dari kata roh.
Kenduri untuk menghubungkan silaturahmi bernama rowah. Dalam rowah ada sajian
khusus yang disebut dulang rowah. Ini sekadar mengikat bahwa ada sesuatu yang
mengikat pada yang diundang. Rowah itu bisa dilakukan di rumah, bisa di masjid,
di mushala, kemudian di langgar. Tempat lain digunakan rowah adalah di makam
leluhur atau tempat keramat lainnya. Di makam itu bukan hanya di kubur. Bisa
saja di suatu tempat yang tidak ada jenazah, misal tempat orang yang dianggap
alim dibuat tanda sebagai maqomnya. Contoh di Loang Baloq. Secara fisik tak ada
jasadnya
Selain makanan ada piranti khusus yang dinamakan air kumkuman, yakni air
bunga menggunakan sarana khusus berupa piring dari kuningan atau tembaga. Air
kumkuman setelah selesai diupacara diambil untuk cuci muka dengan diambil
niatnya supaya yang diupacarai diberi keselamatan. Biasanya dikaitkan dengan
upacara ngurisang, khitanan dan cuci perut. Nah, rowah dikaitkan dengan segala
macam.
Kalau kita melihat makam di pinggir pantai terutama adalah maqom satu
orang, mulai dari Jeranjang di Pantai Induk, terus Bintaro dan Batulayar. Itu
ada yang berkeyakinan hanya maqom satu orang, yakni Gaos Abdurrazak. Itu yang
punya tempat bernilai sejarah. Tetapi ada kepercayaan lain di Batulayar itu
makam Sayid Duhri Al Haddad Al Habrami, seorang penyebar Islam. Mereka dibuatkan
makam karena dianggap berjasa dalam penyebaran Islam.
Kalau ziarah kubur dikaitkan dengan upacara selain membayar kaul, juga
serakalan untuk nguris. Kalau dalam kaitan ziarah makam sudah biasa. Namun
tempat yang digunakan rowah ziarah kubur seperti makam Bintaro, sebab ada dari
keturunan Melayu dan Banjar yang dimakamkan di sana . Jadi makam Bintaro khusus untuk
penyebar Islam keturunan Banjar dan Melayu. Kemudian Batulayar, Syech Hadrami.
Kemudian makam Loang Baloq Gaos Abdurrazak, makam Baturiti Mambalan, Loteng
makam Datok Lopang, kemudian ada satu makam tokoh Hindu yang masuk Islam di
sebelah Ponpes Bodak, dan ada makam Wali Nyatok. Kalau makam Pejanggik Srewa
dianggap sebagai makam raja-raja Pejanggik. Untuk Lotim ada makam TGH Ali Batu
Sakra, Selaparang.
Semua hal tersebut memang ada hubungan dengan silaturahmi keluarga.
Tetapi yang sering terjadi ada yang tidak memahami seolah roh dianggap bisa
berkomunikasi secara fisik. Jadi kekuatan roh leluhur masih dipercaya. Makanya
seorang peneliti dari Swedia mengatakan kepercayaan itu sebagai bentuk kekuatan
leluhur. Apalagi pada kelompok waktu telu. Karena itu ada istilah mujur atau
nyampang atau sewaktu-waktu leluhur bisa pulang. Kalau orang baru meninggal
dibuatkan sajian dalam talam lengkap dengan lauk-pauk dan jajannya karena
diyakini pulang. Itu dilakukan karena dianggap roh bisa kumpul bersama
keluarga. Makanya keyakinan bahwa roh leluhur masih dapat diajak komunikasi
kuat sekali. Misalnya saja hampir wajib bagi orang yang mau naik haji pergi
dulu ke makam tokoh agama yang kharomah. Dan, itu dilakukan tidak hanya oleh
mereka yang baru belajar agama sekadarnya. Cuma sekarang telah dialihkan
sedikit demi sedikit, bahwa mereka hanya memohon kepada Tuhan supaya menyambung
silaturahmi untuk mendapatkan spirit agar bisa sampai hajat dan niatnya.
Pertama, yang bayar kaul -- mengharapkan sesuatu berkah dari Tuhan.
Kemudian yang memohon kemudahan-kemudahan seperti jodoh dan lain-lain. Kelompok
tarekat cuma menguatkan spirit. Bagaimana hubungan batiniah yang kuat antara
dia dan tokoh spiritual seperti Syech Abdul Kadir Jaelani. Yang sampai hari ini
sulit dihilangkan ketika orang-orang ngurisang jarang mau di rumah kecuali di
makam. Itu jelas supaya berkah dari acara lebih kuat. Bahkan ada yang bejarik,
yakni menginap di sana
supaya apa yang diinginkan terkabul. Itu bisa sampai mingguan. Umpama ada obat
yang dibuat, sering ditanam di sana
dan diberi amal-amalan tertentu. Jika dipersentasekan, jumlah yang melakukan
masih ada dalam jumlah besar.
Perbedaan dengan
di Jawa tidak terlalu tajam. Karena kenyataan yang ada di Lombok
itu berasal dari orang Jawa. Karena wali kita dari Jawa. Justru di Jawa ketika
saya di makam Demak, mereka wiridnya lebih panjang dan dilakukan laki-laki dan
perempuan. Kalau di sini cuma dilakukan laki-laki. Dzikir di sana (Jawa-red) bisa berjam-jam. Pun di makam
Sunan Ampel, itu bisa berminggu-minggu. Namun intinya dalam hubungan dengan
makam pasti ada rowah. Di sini ikatan batiniah kuat, karena itu makam terutama
di Indonesia
ada gundukan dan diberi tanam. Keyakinannya terhadap leluhur masih punya makna.
Ini akan berubah dengan sendirinya kalau orang lebih banyak memahami agama
dengan akal yang rasional. Hal tersebut adalah sebuah fenomena yang terdapat di
seluruh dunia. Seperti apa yang si sebutkan dalam buku injil dan penyembahan
nenek moyang, di katakana bahwa fenomena tersebut merupakan gejala umum yang
ditemukan di berbagai belahan dunia. Penyembahan tersebut bukan saja ditemukan
pada kalangan primitif, melainkan juga terdapat pada berbagai kelas dan tingkat
pendididkan.
Selain
penghormatan terhadap leluhur, keberadaan wayang Sasak di Pulau Lombok pada
masa lalu mempunyai misi islamisasi, karena dijadikan sebagai media dakwah
untuk menyebarkan agama Islam oleh para pembawa dan penyebar agama Islam
seperti Sunan Prapen, Pangeran Sangupati, dan Wali Nyoto. Wayang Sasak mencapai
puncak perkembangannya pada jaman sebelum Perang Dunia kedua (1930an) sampai
tahun 1965-an, yaitu pada masa kejayaan Islam Waktu Telu, sebab Islam Waktu
Telu merupakan pendukung utamanya, sehingga wayang Sasak identik dengan
kebudayaan Islam Waktu Telu. Namun setelah meletus G 30 S/PKI, wayang Sasak
tidak berkembang lagi, karena sebagian besar orang Islam Waktu Telu dianggap
terlibat G 30 S/PKI. Orang yang menanggap wayang Sasak pada waktu itu dianggap
PKI atau dianggap kafir, sehingga banyak orang yang tidak berani menanggap
wayang Sasak.
Keberadaan
wayang Sasak pada saat ini dan pada saat yang akan datang tidak bisa berkembang
dengan baik, karena masyarakat jarang yang menanggap pertunjukan wayang Sasak,
masih ada sebagian masyarakat di Lombok yang mengharamkan wayang Sasak, semakin
berkembangnya kebudayaan populer, kurang perhatian dan pembinaan dari
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, kondisi seniman dalang dan pendukungnya,
seperti pengabih, sekaha, dan pengrajin wayang Sasak sangat memprihatinkan,
kaderisasi dalang tidak ada, karena generasi mudah banyak yang tidak berminat
menjadi profesi dalang sebab tidak bisa menjanjikan masa depan yang baik,
sarana dan prasarana pendukung wayang sudah banyak yang rusak dan usang,
organisasi atau group wayang Sasak yang ada saat ini banyak yang tidak aktif
lagi, dan pihak pemerintah serta tokoh-tokoh elit desa di Lombok saat ini
kurang berperan aktif sebagai pembina, pendukung, dan pengayom wayang Sasak.
Strategi pembinaan wayang Sasak yang dilakukan pemerintah sifatnya hanya
insidental, sehingga dirasakan oleh para dalang sangat kurang. Dana yang
diberikan pada group-group kesenian sifatnya insidental sesuai dengan dana
proyek yang ada, sehingga bila tidak ada proyek, juga tidak ada dana bantuan.
Oleh sebab itu, para pembina group kesenian, khususnya group wayang Sasak tidak
mampu mengadakan perbaikan peralatan yang sudah rusak dan usang, apalagi
membeli peralatan yang baru.
Fungsi wayang Sasak dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat di Lombok, sehingga seorang dalang
harus mampu membaca situasi dan kondisi yang berkembang di dalam masyarakat,
agar tetap mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat di
Lombok pada khususnya dan masyarakat di Indonesia pada umumnya. Fungsi wayang
Sasak sebagai media dakwah, media hiburan, media penyampaian informasi
program-program pembangunan dan keberhasilan pembangunan, media untuk
meningkatkan aktifitas dan apresiasi masyarakat, media promosi perusahaan,
media mencari dana, media mempromosikan industri pariwisata di Lombok pada
khususnya dan di Nusa Tenggara Barat pada umumnya, media menyembuhkan penyakit
pepedam, dan media kampanye Golkar.
Petunjukan wayang Sasak dapat mempengaruhi masyarakat di Lombok melalui
isi cerita, nama tokoh, watak tokoh, dan kelakuan tokoh, karena masyarakat di
Lombok Bering menjadikan kelakuan dan watak tokoh wayang Sasak sebagai pola
anutan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat pun dapat
mempengaruhi pertunjukan wayang Sasak, karena berbagai fenomena sosial yang ada
dalam masyarakat di Lombok pada khususnya dan
masyarakat Indonesia
pada umumnya sering diangkat ke dalam pertunjukan wayang Sasak.
Golongan Islam Waktu Telu tidak mengharamkan pertunjukan wayang Sasak,
sebab wayang Sasak identik dengan kebudayaan Islam Waktu Teku yang mengandung
unsur-unsur Islam dan sejarah Islam, serta dapat dijadikan media dakwah untuk
menyebarkan agama Islam. Golongan Islam Waktu Lima yang ekstrem yang terdiri
atas tuan guru dan pengikutnya yang pada umumnya pengikut aliran suni dan
tarekat Nagsyabandiyah mengharamkan pertunjukan wayang Sasak, karena dapat
melemahkan iman, terjadinya percampuran antara lakilaki dengan wanita yang
bukan muhrimnya, dalang dan sekaha biasanya minum-minuman keras, menggunakan
gamelan perunggu warisan kebudayaan Hindu, dan bertentangan dengan dasardasar
atau asas-asas tarekat Nagsyabandiyah. Golongan Islam Waktu Lima sudah banyak
mengalami perubahan tentang pandangannya terhadap wayang Sasak, yaitu dari
golongan moderat. Mereka tidak mengharamkan pertunjukan wayang Sasak, karena
tidak ada satu dasar hukum pun yang mengharamkan pertunjukan wayang Sasak, baik
dalam Alquran maupun Hadist. Di samping itu pertunjukan wayang Sasak mengandung
unsurunsur Islam, sejarah Islam, dan dapat dijadikan sebagai media dakwah untuk
menyebarkan agama Islam.
Struktur pertunjukan wayang Sasak lakon Dewi Rengganis dalang H. Lalu
Nasib A.R., setiap pertunjukan selalu berubah baik urutan adegan, jumlah
adegan, dialog, maupun fenomena sosial yang diangkat kedalam pertunjukan wayang
Sasak, karena dalangnya selalu berusaha untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi sosial masyarakat penontonnya di tempat pertunjukan berlangsung.
Dialogdialognya keluar secara sepontanitas, tidak dihafal. Akan tetapi bagian
pangaksama-nya selalu sama karena sudah dihafal dan sudah baku .
Pertunjukan wayang Sasak lakon Dewi Rengganis banyak mengandung nilai
budaya yang dapat dijadikan pedoman hidup dan tuntunan hidup yang baik bagi
masyarakat di Lombok pada khususnya dan masyarakat di Indonesia pada umumnya,
serta dapat berfungsi sebagai pengarah dan pendorong seseorang dalam melakukan
suatu perbuatan. Berbagai nilai budaya tersebut mencakup (1) nilai pendidikan,
(2) nilai religius, (3) nilai kepemimpinan, (4) nilai kepahlawanan, (S) nilai
keberanian, (6) nilai kesederhanaan, (7) nilai gotong-royong atau
tolong-menolong, (8) nilai moral, dan (9) nilai mau berkorban untuk orang lain.
Pertunjukan wayang Sasak lakon Dewi Rengganis mengandung berbagai unsur
simbolik yang mengandung makna tertentu dan erat sekali hubungannya dengan
konteks sosial budaya masyarakat di Lombok . Pertunjukan
wayang Sasak lakon Dewi Rengganis bukan semata-mata peristiwa budaya, tetapi
dapat merupakan daya penggerak untuk mengundang masyarakat luas saling
berinteraksi dan memenuhi kebutuhannya. Pertunjukan tersebut mampu menarik
penonton yang banyak dari berbagai lapisan sosial, baik lapisan sosial prawangsa
maupun lapisan jajar karang, laki-laki maupun wanita, anak-anak, remaja, dewasa
maupun orang tua. Para penonton datang ke
tempat pertunjukan, di samping untuk menonton juga mempunyai niat lain. Bagi
anak-anak hanya untuk bersenang-senang. Bagi remaja untuk mencari pacar atau
berpacaran. Bagi golongan dewasa dan tua untuk menikmati nilai-nilai yang ada
dalam pertunjukan wayang Sasak. Minat masyarakat Lombok
terhadap pertunjukan wayang Sasak lakon Dewi Rengganis sangat tinggi karena
para penonton tertarik pada humor-humor segar dalang H. Lalu Nasib A.R. yang
kadang-kadang mengacu ke hal-hal yang porno dan kritik sosial melalui para
tokoh panakawan.
Pertunjukan
wayang Sasak lakon Dewi Rengganis pada masa lalu mengandung makna sakral,
sehingga minyak labakan bekas pertunjukan menjadi rebutan para penonton, sebab
mereka mempunyai kepercayaan minyak tersebut bila disimpan di rumah dapat
mendatangkan rezeki yang banyak dan penghuni rumahnya akan selamat. Bila minyak
tersebut disimpan di lumbung padi, dapat mengakibatkan berkah. Bila minyak
ditanam di kebun atau di sawah, dapat mengakibatkan tanamannya subur. Makna
sakral tersebut saat ini sudah mengalami perubahan, sudah tidak dianggap sakral
lagi oleh masyarakat di Lombok, karena masyarakat di Lombok sudah semakin luas
pengetahuannya, pemahaman terhadap agama Islam juga semakin baik, dan
kepercayaan terhadap adat istiadat serta benda-benda kuno yang mempunyai nilai
sakral semakin berkurang.
Dalang H. Lalu Nasib A.R. lebih banyak berperan sebagai agen pemerintah
atau sebagai alat kekuasaan yang banyak menyuarakan atau menginformasikan
program-program pembangunan dan keberhasilan pembangunan yang telah
dilaksanakan pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat
sehingga menjadi terkenal. Ia juga sering mendapat cemohan dan hujatan dari
masyarakat yang mengetahui seni pewayangan khususnya para budayawan, karena is
dianggap kurang memperhatikan nilai estetis dan jalan cerita setiap
pertunjukan, sehingga ceritanya tidak utuh lagi. Pertunjukan wayang Sasak telah
dikemas sedemikian rupa dalam rangka memenuhi selera masyarakat penontonnya
yang disajikan secara populer, sehingga semakin menjurus kepada pendangkalan
nilai. Sebagai dalang is mampu membaca situasi dan kondisi masyarakat
penontonnya sehingga setiap penampilannya lebih banyak mengikuti dan menuruti
masyarakat penontonnya dengan menonjolkan segi akrobatik dan humor-humor segar
yang banyak mengacu ke hal-hal yang porno, melalui adegan-adegan tokoh
panakawan, sehingga adegan tokoh panakawan lebih mendominasi setiap pertunjukan
wayang Sasak daripada adegan tokoh utamanya.
Lakon Dewi Rengganis berhubungan dengan kebiasaan kawin-cerai masyarakat
suku bangsa Sasak di Lombok karena kebiasaan
kawin tokoh bangsawan dalam wayang Sasak semakin memperkuat dan mengesahkan
kebiasaan kawin-cerai masyarakat suku bangsa Sasak, khususnya golongan
bangsawan. Semakin tinggi status sosial dan kedudukan sosial masyarakat suku
bangsa Sasak, semakin tinggi frekuensi melakukan kawincerai, karena is mampu
menghidupi istri-istrinya. Semakin tinggi masyarakat suku bangsa Sasak
melakukan kawin-cerai, semakin banyak janda di Lombok
dan semakin mengakibatkan penderitaan serta tingginya angka putus sekolah bagi
anakanak di Lombok , karena kondisi ekonomi
yang sangat memprihatinkan.
Fenomena sosial yang ada dalam masyarakat di Lombok pada khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya terefleksikan ke dalam pertunjukan wayang
Sasak lakon Dewi Rengganis, karena dalangnya selalu berusaha mengangkat
berbagai fenomena sosial yang aktual yang sedang terjadi dalam masyarakat,
sehingga wayang Sasak sebagai keseriian tradisional mampu beradaptasi dengan
kebudayaan modern.
Perubahan sosial
yang ada dalam masyarakat mempengaruhi perubahan pertunjukan wayang Sasak baik
dari segi struktur pertunjukan, fungsi, maupun nilai. Perubahan yang ada dalam
masyarakat merupakan refleksi dari globalisasi dan modernisasi. Perubahan
sosial yang ada dalam masyarakat di Lombok pada khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya terefleksikan ke dalam pertunjukan wayang Sasak lakon
Dewi Rengganis, karena dalangnya selalu berusaha untuk mnyesuaikan dan
mengangkat perubahan sosial yang ada dalam masyarakat ke dalam pertunjukan
wayang Sasak lakon Dewi Rengganis. Ada
hubungan antara fenomena sosial yang ada dalam pertunjukan wayang Sasak lakon
Dewi Rengganis dengan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat.
0 Response to "Mengenal Tradisi Islam Suku Sasak"
Post a Comment