MENELUSURI JEJAK SEMESTA DALAM TIGA
DIMENSI
(SAINS, AGAMA DAN FILSAFAT)[1]
oleh: Siti Jamilah
Pengantar
Filsafat tak ubahnya sebuah barang yang selalu barang yang selalu
diminati oleh peminatnya, semakin hangat dan menarik tidak hanya dibicarakan
tetapi dikaji hingga merambah dalam berbagai disiplin ilmu. Barangkali ini
pulalah yang membuat filsafat selalu menarik untuk diminati dan selalu saja ada
ruang untuk membicarakannya bahkan tak pernah usang meskipun telah melewati
sekian abad. Terlebih di era modern hingga kontemporer, filsafat bahkan semakin
dituntut untuk menunjukkan relevansinya dalam seluruh lini kehidupan berbagai
kritikan pula muncul karena filsafat dianggap tidak mampu untuk memasuki era positivistik karena
seolah tidak lagi ada ruang untuk filsafat. Belum lagi membicarakan agama dan
ini akan menambah kompleks lagi pemahaman kita terhadap (alam semesta) karena
di sinilah sebenarnya pertarungan tiga dimensi ini terjadi dalam rangka
memahami realitas.
Realitas alam telah menjadi teka-teki mendasar sepanjang sejarah manusia
dalam upaya mencari jejak semesta, manusia berusaha mencari basis tertinggi
realitas semesta. Dan upaya tersebut berujung pada dua sisi pengetahuan manusia
agama dan sains. Kedua sisi ini merupakan sistem pengetahuan yang dapat
mempengaruhi kehidupan secara luas. Masalah mendasar yang dihadapi keduanya
menjadi masalah permanen dalam agama dan sains. Dalam tradisi agama kita
mengetahui bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, sementara sains memandang bahwa
alam adalah hasil dari proses sekaligus fenomena alam yang didasarkan pada
kerangka metodologi ilmiah dan mengarah pada ke arah teoritisasi. Konsepsi alam
merupakan hasil dari observasi dan penyelidikan sehingga tidak terkait dengan
istilah penciptaan, tetapi berkaitan dengan masalah proses kejadian alam.
Sejauh mana hasil dari dua sistem tersebut dan adakah titik temu dua paradigma
yang berbeda ini dan mencari jawabannya tentu saja tidaklah mudah.
Perspektif
Agama Terhadap Semesta
Dalam mencari jejak alam, manusia dihadapkan pada masalah penyebab utama
bagi terwujudnya alam semesta, dan mulai dari asumsi para filosof bahwa asal
segala sesuatu berasal dari air (baca: thales), aniximines menganggap
bahwa substansi itu adalah udara serta masih banyak lagi anggapan-anggapan para
filosof antara yang satu dengan yang lain yang berbeda-beda tentang alam
semesta ini dengan didasari oleh landasan yang ilmiah.
Dalam tradisi agama-agama beranggapan bahwa alam merupakan hasil karya
agung dari Sang Pencipta (baca: Islam = Allah). Meskipun asal-usul dan
proses terwujudnya alam masih menjadi perdebatan di kalangan internal agama itu
sendiri dengan dibarengi oleh berbagai penafsiran tentang proses penciptaan
alam semesta. Dan untuk menelusuri bagaimana proses terciptanya alam, dengan
cerdiknya para filosof muslim meminjam teori emanasi dalam konsep tasawuf
ketika mencoba menformulasikan teori penciptaan. Hal ini dapat kita lihat dalam
konsep filosof muslim seperti Ibnu Sina yang mencoba mendasarkan ide-ide
tentang Ilahi pada gagasan Aristoteles tentang cause efisien pertama.
Dan dalam buku ini pula al-Gazali
menolak teori emanasi dalam penciptaan alam semesta dan ini bisa dilihat dalam Tah}a>fut al-Fala>sifah.
Meskipun demikian, al-Gazali sendiri tidak bisa terlepas dari teri emanasi itu
sendiri terlihat ketika mencoba menjelaskan tentang cahaya.
Dari beberapa fenomena serta penjelasan singkat dari beberapa filosof
tetap saja masih menyisakan persoalan yang mendasar yang terkait dengan
hubungan absoluditas pencipta dan relativitas penciptaan. Namun al-Farabi
kemudian mencoba memberikan sebagai penjelasan alternatif tentang prinsip
relativitas Ilahi melalui "barzakh" sebagai realitas wujud Tuhan,
dimana alam merupakan pancaran dari eksistensi Tuhan.
Dalam agama, manusia merupakan manifestasi puncak dari seluruh
eksperimentasi kreatifitas Tuhan. Bahkan manusia dianggap paling berhak atas
kedudukannya sebagai khalifah Tuhan di atas alam semesta ini. Sedangkan
asal-usul manusia secara singkat doktrin agama menyebutkan bahwa Adam merupakan
simbol dari spesies manusia. adapun penciptaannya dapat kita temukan secara
terperinci dalam penemuan sains.
Sementara itu dalam sains memandang bahwa spesies manusia berasal dari
proses evolusi makhluk hidup yang membentuk jaringan kehidupan dan seluruh
spesies makhluk hidup berasal dari makhluk tunggal berupa jasad renik atau
bacteria yang berasal dari air. Dan melalui trans genetik inilah tercipta
berbagai spesies yang beragam baik yang ada di darat maupun di air. Spesies
manusia merupakan hasil evolusi paling sempurna dari berbagai spesies makhluk
hidup.
Antara
Sains dan Agama
Dalam memahami realitas alam, baik agama dan sains pada akhirnya
berujung pada masalah penciptaan. Akan tetapi masing-masing kutub memiliki
kelebihan sekaligus kekurangan dalam menjelaskannya. Agama telah berhasil
menjelaskan tentang perbedaan ciptaan dengan pencipta, namun belum mampu
menjelaskan bagaimana proses terjadinya alam semesta fisik dari alam metafisik
secara gamblang dan teknis. Sementara dalam sains telah berhasil menjelaskan
proses terjadinya alam material dari energi, namun belum dapat menjelaskan
asal-usul energi yang sedemikian besar.
Akan tetapi terdapat prinsip dasar yang sama antara sains dan agama,
yaitu dalam memandang realitas alam semesta secara benar. Yaitu prinsip antinomi
dalam menelusuri aspek-aspek alam melalui fenomena kejadian yang dapat
menggambarkan prinsip-prinsip ontologism menuju tatanan metafisik dan prinsip
yang sama juga terjadi dalam agama bahwa eksistensi Tuhan merupakan sebab bagi
penciptaan, dan pola dasar pewahyuan secara langsung dihubungkan pada
bentuk-bentuk natural (alam) sebagai cermin dari manifestasi dan dari Tuhan.
Penutup
Jadi secara tegas, sebenarnya sains sama sekali tidak bertentangan
dengan agama karena teri sains modern juga mendeskripsikan hukum alam dan hal
ini tidak bertentangan dengan ketetapan dan sunatullah dalam ajaran
agama. Bahkan konsekuensi sains modern menyediakan inspirasi bagi para saintis
untuk menembus ruang- waktu dan energi murni, sehingga alam ermpiris tidak
dibutuhkan lagi. Dalam konmdisi ini sains akan menopang dan mendukunng agama
dan filsafat, akan tetapi jiak sains dianggap satu-satunya landasan untuk
pengetahuan yang pasti bahkan sains tidak lagi dipahami sebagai salah satu
bentuk pengetahuan yang mungkin melainkan pengetahuan yang menjamin kebenaran
dan sains justru dianggap sebagai
realitas tertinggi, maka ini adalah sebuah kekaburan, namun jika orang
menemukan jalan pengetah8uan terhadap apa yang sudah diyakininya, sejauh ia
tidak membawa sains melewati batas wilayahnya maka ini adalah wwhal yang
sempurna dan ideal,karena dalam era positivistic ini sains seringkali dianggap
sebagai satu-satunya nilai tertinggi dan seolah bertdiri sendiri padahal, tiga
dimensi ini masing-masing memiliki ruang
yang berbeda dan tidak dapat dipaksakan antara sains,agama dan filsafat.
[1] Tulisan ini di buat guna memenuhi tugas mid
semester dalam mata kuliah Filsafat Umum kelasA dosen pengampu : Yulia Nasrul
Latifi
0 Response to "Makalah Titik Temu Sains, Agama dan Filsafat"
Post a Comment