makalah sistem hukum islam | makalah sistem hukum islam di indonesia| contoh makalah sistem hukum islam
A.    Pendahuluan 
Pada saat pemerintahan Orde Baru memegang
tampuk kekuasaan, muncul banyak respon, baik positif maupun negatif, dari para
ulama dan intelektual Islam Indonesia ,
terutama menyangkut nasib agama ketika harus berhadapan dengan negara, atau
lebih spesifik lagi  menyangkut relasi
antara hukum Islam (fiqh)  dengan
negara Orde Baru beserta kebijakan ekonomi yang dijalankannya. 
  Munculnya
berbagai  respon dari para ulama intelektual Islam indonesia 
Pertarungan wacana antara  kelompok ini, sepanjang Orde Baru sungguh
menarik untuk dicermati dan diperbincangkan karena berkait dengan nasib hukum
Islam untuk konteks masa depan: dalam arti haruskah hukum Islam diposisikan
sebagai  hukum   negara 
yang   mengabdi   pada  
kepentingan     penguasa   atau sebaliknya, ia diposisikan sebagai
hukum swasta yang mengabdi pada kepentingan 
masyarakat.
B.     Fenomena  Pemikiran  
Hukum   Islam   Di Indonesia            
Dalam perspektif
sejarah, dinamika  pemikiran   hukum Islam di indonesia setidaknya
menunjukkan  satu  fenomena 
transformatif  dan  remedialis, walaupun masih   tampak 
kuat nuansa  paralelisme  di dalamnya 
sehingga  kesan tautologinya   masih 
ada.  Sederet nama telah
mencoba  mengaktualisasikan pemikiran-
pemikiranya    dalam  ranah   
hukum    Islam.  Upaya  
ini      bahkan sebenarnya      telah 
banyak   dimulai    jauh  
sebelum    kemerdekaan[1]     Narasi 
pascakemerdekaan dapat dimulai  
pada dekade 1960-an dengan munculnya 
ide Fiqh Indonesia .  Pada    
perkembangannya    gagasan   ini 
ditindaklanjuti   oleh  Hazairin 
dengan  tema   sentralnya, 
Fiqh  Mazhab  Nasional (Mazhab Indonesia ). Secara  sederhana 
( simplistis ), substansi 
pemikiran ini berusaha 
menyesuaikan 
(mengkompromikan)  spesifikasi
hukum  adat dengan hukum  Islam.                       
Pada  pertengahan 
1975,  Abdurrahman  Wahid 
mengintrodusir   sebuah pemikiran  “ Hukum Islam sebagai  penunjang  
pembangunan “,[2]  yang   
secara umum  mengarahkan  pembicaraannya pada peran dan fungsi  hukum islam untuk menunjang  perkembangan 
tata  hukum positif  di indonesia.                                                                                                          Lahirnya  Kompilasi 
Hukum  Islam  ( KHI ), 
yang  penyebarluasannya    disebutkan  
dalam   Intruksi  Presiden  
Nomor  1  tahun  
1991,  ternyata     tidak membuat    mati  
munculnya  berbagai  pemikiran    hukum
Islam individual yang inovatif.  Ini  merupakan fenomena  menarik  
sehubungan  dengan
kedudukannya  yang sering   dianggap sebagai  ijma’ 
Ulama  Indonesia  dalam 
hukum   keluarga  Islam. 
Banyak asumsi yang bisa diajukan berkaitan dengan fenomena tersebut, di
antaranya adalah   adanya prakinsepsi
bahwa bagian-bagian tertentu dari pasalnya dinilai tidak sesuai dengan  ajaran Islam, dan proses  kodifikasinya syarat  muatan politik.[3]   Terlepas apa yang diasumsikan, hal ini
semakin menguatkan tesis   yang
mengatakan   bahwa  formalisasi 
hukum Islam  melalui  konstitusi 
negara  hanya mempersempit    ruang  
gerak dan  manfaat    hukum  
Islam    itu   sendiri,  
dan mengantarkannya pada satu 
sifat emaskulasi hukum ini.       
Signifikasi lain
dari berbagai tema pemikiran ini adalah ia mampu menstimulasi  lahirnya beberapa forum  kajian hukum Islam,  pencarian wacana baru bagi pengembangan hukum
Islam  dan yang terpenting mampu
mengajarkan pada sejarah bahwa “ bagaimanapun perjalanan pemikiran ( ijtihad
)  hukum Islam harus diteruskan”.  Dalam semangat pembangunan berbangsa dan
bernegara, serta pencarian relasi ideal agama—negara, setidaknya bisa diasumsikan dalam
dua kerangka umum, yaitu partisipatif  
dan   pembebasan (emansipasi  sosial). Perspektif pertama menghadirkan
hukum Islam sebagai alat rekayasa sosial ( Law  as 
a  tool  of 
social  engineering )[4]  dengan negara (penguasa)  sebagai 
aktor perumusnya. Sementara perspektif 
kedua  mematrik hukum Islam
sebagai medium kritik sosial ( counter-discourse ) dengan rakyat (ulama
)  sebagai pemerannya.                                                                          
      
Pada          
perspektif  yang   pertama, 
sering  kali terjadi proses  deviasi, 
reduksi, dan sublemasi  yang  hebat 
terhadap apa  yang sering disebut
sebagai “otentisitas”  ajaran agama.  Ia diramu sedemikian  rupa 
hingga  bisa  disebut “hukum Islam “,  namun esensinya menjadi kering.  Ia telah diperas dari dimensi empati
sosialnya.  Hukum  Islam dalam konteks ini adalah hukum negara,
mengabdi untuk kepentingan dan melanggengkan kekuasaan negara (penguasa).[5] Realitas ini berbeda secara diametral dengan cita pendekatan kedua
yang titik berangkatnya dari dan untuk masyarakat (rakyat). Nuansa populis  dan terkadang hadir dengan warna “oposan
“  atas berbagai kebijakan negara menjadi
trade mark-nya. Sebagai sarana advokasi, pendekatan kedua ini
memungkinkan hukum Islam untuk menjangkau kepentinga umum ( mashlahah al-
ammah ),  serta dalam dataran ekstrim
akan membayangi legilasi dan kuasa negara atas rakyat.
C.    Kerangka Teoritik
Dalam  Hukum  Islam                                                 
Teori yang akan
digunakan untuk menjawab berbagai 
persoalan  seperti diatas adalah
teori adaptabilitas hukum Islam,  dengan
asumsi bahwa lahirnya 
pemikiran-pemikiran ini adalah dalam kerangka menjembatani dilema antara
hukum Islam  dengan dinamika sosial,  dan lebih spesifik lagi  adalah menjembatani hubungan Islam  ( hukum Islam )  dengan modernitas dan teori pembangunanya
Seperti
diketahui, upaya untuk membangun dan merumuskan (ijtihad ) atas berbagai
ketetapan hukum Islam selalu  berhadapan
dengan  kondisi dan situasi tertentu
sehingga nuansa rekayasa dan sublimasi akan selalu tampak didalamnya.
Secara  umum, sebagaimana  diungkapkan oleh Joachim Wach, pengalaman dan
pemikiran keagamaan yang terjadi tidak bisa dilepaskan  dari konteks yang melingkupinya, yang
meliputi: [1]  konteks waktu, [2]  konteks ruang, [3] konteks sejarah [4]
konteks sosial, [5] konteks budaya, [6] konteks psikologi, dan  [7] konteks agama.[6]  Dan 
hukum Islam adalah hasil  olah
pikir diri yang sedikit banyak merefleksikan dimensi ruang dan waktu.                                                    
Perdebatan dan
teoritisasi mengenai pergumulan hukum Islam dan perubahan sosial yang merupakan
salah satu problem  fundamental.
Polarisasi masalah   setidaknya mengarah
pada dua kutub pandangan ekstrim.  Pertama,
hukum Islam dianggap tidak mempunyai hikmah dan illat ( ratio
legit ) di balik formula legal formalnya, sebab ia adalah kehendak  Tuhan. 
Kedua, hukum Islam dianggap memiliki  illat, hikmah,  dan 
tujuan.  Sebab, jika tidak maka
tuhan menciptakan sesuatu yang 
sia-sia,  sesuatu  yang 
mustahil ada pada zat Tuhan. 
Konsekuensinya,  hukum Islam
terikat  dengan dan harus dipahami
menurut latar belakang   sosio  kultural yang mengelilinginya.  Bahwa secara filosofis, pemikiran hukum Islam
yang pernah   dan sedang berkembang    di indonesia  menampakkan kecendrungan
yang kedua.                                                                Yang patut dicatat dari
perjuangan mempertahankan keberadaaan 
hukum islam  pada pascakemerdekaan
ini  adalah banyaknya teori yang
bermunculan, sebagai counter theory 
terhadap teori Receptie 
yang lahir pada masa kolonial Belanda. Selain teori Receptie,
paling tidak ada teori lain yang muncul kemudian, yaitu: pertama
teori  Receptiee Exit, yang
dikemukakan oleh Hazarin. Teori menyatakan bahwa teori Receptie
harus   Exit ( keluar )  dari teori hukum Islam indonesia, karena  bertentangan dengan UUD  1945 
serta Al-Qur’an   dan al- hadits. Kedua,
teori Receptie  a  Contrario 
yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib. Teori ini menyatakan bahwa
hukum  yang berlaku  bagi rakyat indonesia  adalah hukum agamanya,
hukum adat hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama.  Ketiga teori Existensi, yang
dikemukakan oleh Ictijanto.  Teori ini
hanya  sebenarnya  hanya mempertegas teori  Receptio a Contrario  dalam hubungannya dengan  hukum Nasional.  Menurut teori 
Existensi   ini,  hukum Islam 
mempunyai spesiifikasi: [a] telah ada 
dalam arti  sebagai bagian
integral dari hukum nasional; [b] telah ada dalam arti dengan kemandirian dan
kekuatan wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional  serta 
diberi status sebagai hukum nasional; [c]telah ada dalam arti  norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring
bahan- bahan hukum nasional, dan 
[d]  telah ada dalam arti sebagai
bahan utama  dan sumber utama hukum
nasional.[7]         
D.    Tipologi Tema-Tema   Pemikiran 
Hukum  Islam Di Indonesia  
Upaya 
taksonomi atau tipologisasi  dalam
berbagai aspek pemikiran berimplikasi  pada
penyederhanaan ( simplification) 
terhadap berbagai persoalan yang komplek.  Dialetika pemikiran hukum Islam pada dasarnya
dapat dilihat  dari berbagai sudut
pandang yang masing-masing memepunyai tipologi sendiri-sendiri: pertama,
sisi sumber pemikiran. Pemikiran hukum Islam selain bisa dilihat dari sisi
idiologi berbangsa dan bernegara, kondisi sosial kultural yang berkembang,  serta tuntutan perubahan sosial  yang dihadapi. Kedua, sisi  paradigma atau dasar pemikiran. Selain
menggunakan paradigma normatif dan juga adaptif (adaptabilitas hukum)  pemikiran hukum Islam juga bisa menggunakan
paradigma-paradigma kontemporer dan alternatif lainnya seperti liberalisme  hukum Islam. Ketiga, sisi pendekatan
seperti pendekatan doktriner-normatif-deduktif. 
Keempat, sisi metode penemuan (pengembangan hukum), selain  masih 
terikat dengan  pola pemikiran
mazhab, pemikiran hukum Islam bisa jadi juga memakai metode-metode baru
yang  dikembangkannya sendiri. Kelima,
sisi wilayah aplikasi pemikiran, selain dalam wilayah sosial kemasyarakatan,
pemikiran hukum Islam bisa jadi menembus 
wilayah sosial politik kenegaraan; selain mengulas persoalan-persoalan
dalam  domain lokal, ia juga bisa
menjangkau dan berlaku secara universal.                                                                                                             
E.    
Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan uraian yang
telah dikemukakan di depan maka  dapat
ditarik   beberapa kesimpulan sebagaimana
berikut. Pertama dilihat dari latar belakang 
dan kandungan maknanya, kerangka dasar dan metode yang dipakainnya, serta
sejumlah aplikasi pemikiran yang ada 
didalamnya. Kedua,  untuk
mempertahankan keberadaan hukum Islam 
maka,  banyak teori  yang bermunculan   seperti, teori   Receptie 
yang  lahir pada masa kolonial
belanda. Ketiga, secara subtansif 
kandungan   makna zahir   tema-tema 
pemikiran hukum Islam  tersebut
cukup menunjukkan sisi-sisi    teori  perubahan sosial   yang dipratikkan aparatus negara.  Hukum Islam akan semakin eksis dan
berkembang  apabila dibiarkan hidup dan
berkembang dalam masyarakat, dengan wujudnya yang beragam  serta berkembang  bebas 
di masyarakat, menjadi etika, sarana kontrol dan pembebasan, serta
imansipasi sosial, bukan menjadi hukum positif negara. Mungkin hanya  itu 
kesimpulan   dari saya   semoga bisa 
memberi wawasan bagi kita   dan  
membuka pikiran kita untuk 
selalu  menegakkan  keadilan hukum Islam yang  ada di indonesia 
DAFTAR  PUSTAKA
Abdurrahman Wahid.  1975. ” Hukum
Islam  Sebagai Penunjang Pembangunan”.  Prisma 
No. 4                                                                                     
Amir Syarifuddin. 1990.  Pembaharuan
Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang 
Soetandyo   Wignjosubroto.
1995.  Dari   Hukum 
Kolonial  ke  Hukum 
Nasional: Dinamika Sosial – Politik 
dalam Perkembangan   Hukum  di Indonesia. Jakarta 
Joachim Wach.   Ilmu  Perbandingan 
Agama,  terjem. Jam’annuri.   Jakarta 
Muchtar   Kusumaatmaja,  “ The 
Role of  Law in  Development. Paper for  Special Congress Session dalam  28th  International Congress  of   Orientalists1973.                                                            
Nuruddin  ar-Raniri,   melalui karyanya Shirath   al- Mustaqim.
[2]  Lihat artikel
Abdurrahman  Wahid, “ Hukum Islam
Sebagai Penunjang  Pembangunan
“,  dalam prisma   No 
4,  Agustus   1975
[3]  Amir  Syarifuddin., 
Pembaharuan  Pemikiran
dalam  Hukum  Islam 
( Padang: Angkasa Raya,       1990
).  Hlm. 
139 
[4]  Muchtar  Kusumaatmaja ,”The  Role 
of  law  in 
Development”  Papers  for special congress  session 
dalam 28th 
international  congressof  orientalis 1973. 
[5] Dalam catatan Soetandyo Wignjosubroto,  hingga akhir abad  XX 
hukum, di indonesia 
[7]  Abdul  Halim., Peradilan  Agama dalam 
Politik Hukum Islam  di  Indonesia, ( Jakarta 
 
 
0 Response to "Contoh Makalah Sistem Hukum Islam di Indonesia, Corak dan Pemikirannya"
Post a Comment